Oleh: Nor Aniyah, S.Pd (Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi)
Aksi pembakaran Al-Qur’an kembali terjadi di Swedia, kali ini berlangsung di tengah perayaan Idul Adha. Namun tidak semua warga Swedia setuju terhadap aksi tersebut. Beberapa warga yang berada di lokasi unjuk rasa menilai tindakan pria asal Irak yang pindah ke Swedia tersebut sebagai bentuk provokasi (www.bbc.com).
Sebagaimana biasanya, ketika terjadi penistaan simbol Islam akan ada aksi kecaman yang datang dari berbagai negeri Muslim. Namun, ada komentar yang tidak biasa datang dari Indonesia. Dilansir dari Bbc.com, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), sempat ikut merespon aksi pembakaran Al-Qur’an ke sekian kalinya di Swedia ialah dengan menyatakan Al-Qur’an tidak akan hilang dan tetap hidup dalam perjalanan hidup sejarah manusia. Sebagai Muslim yang menjadi inspirasi, menurutnya sebaiknya insiden ini tidak usah direspon dengan marah-marah. Menurutnya pula mereka itu tidak tahu isinya. Sehingga direspon saja dengan prestasi keilmuan dan peradaban. Atau seni sebagimana yang ditunjukkan peserta Muslimah yang mendapat golden buzzer dalam ajang America’s Got Talent ke-18.
Pernyataan bahwa Al-Qur’an tidak akan hilang dan tetap hidup dalam perjalanan sejarah manusia memang benar adanya. Sebab, Allah Ta’ala sendiri yang menjamin akan menjaga Al-Qur’an hingga hari Akhir. “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (QS. Al Hijr: 9).
Namun, jika dengan dalil tersebut lantas ada Muslim yang akhirnya menyerukan untuk tidak marah ketika Al-Qur’an dinista dan malah mengajak untuk melakukan pembelaan dengan model prestasi jelas ini pemikiran keliru dan sesat pikir. Rasulullah Saw mengajarkan kepada umatnya bahwa ada sikap tawakkal dan usaha dalam meraih janji-janji Allah. Beliau memberi teladan untuk menjemput kemenangan harus ada usaha yang optimal agar janji itu terealisasi.
Allah Ta’ala telah menjanjikan kaum Muslimin akan menang melawan musuh-musuh Allah. Maka Rasulullah Saw mengajarkan kaum Muslimin membuat strategi perang untuk melawan, melemahkan, dan memenangkan pertempuran. Rasulullah Saw tidak mengajarkan kaum Muslimin pasrah dan hanya berdoa saja serta melakukan amal yang tidak mendukung perjuangan mendapat kemenangan.
Karena itu, ketika Al-Qur’an sudah dijamin kemurniannya oleh Allah Ta’ala, maka sikap yang benar bagi Muslim adalah berupaya menjaganya dan marah ketika Al-Qur’an dan simbol-simbol Islam lainnya dinista. Sikap demikian adalah wujud keimanan seorang Muslim. Hal inilah yang diajarkan ulama-ulama terdahulu. Seperti pesan Buya Hamka: “Kalau agamamu dinistakan kamu tidak marah, maka gantilah bajumu dengan kain kafan.”
Seharusnya dengan kasus penistaan Al-Qur’an yang berulang di Swedia dan tempat lainnya membuat kaum Muslimin semakin sadar bahwa kasus-kasus tersebut lahir akibat sistem kehidupan yang diterapkan saat ini, yakni sistem sekularisme demokrasi. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan telah menjunjung akal manusia sebagai pemutus aturan. Sekularisme demokrasi begitu mengagungkan kebebasan yang diklaim akan menghadirkan keadilan dan ketenteraman.
Namun kenyataannya kebebasan yang mereka usung justru menimbulkan perpecahan, bahkan terjadi standar ganda dalam bentuk serangan terhadap umat Islam. Atas kebebasan berekspresi, mereka mudah menistakan simbol Islam. Namun, jika kaum Muslimin melawan steriotif teroris yang justru disematkan. Sekularisme juga membuat sebagian kaum Muslimin, termasuk intelektualnya terarus moderasi agama hingga mereka tidak mampu lagi berpikir benar. Penistaan terhadap Al-Qur’an yang seharusnya disikapi dengan kemarahan, justru disikapi dengan sikap biasa-biasa saja.
Bahkan lebih dari itu sekularisme juga telah melahirkan ideologi kapitalisme. Ideologi ini membuat negeri-negeri Islam hanya mampu melakukan kecaman jika ada penistaan simbol agama Islam. Sebab, penguasa-penguasanya adalah sahabat karib bahkan boneka kapitalis. Alhasil, mereka tidak akan mengeluarkan tentara-tentara mereka untuk menghukum para penista agama Islam. Inilah yang mengakibatkan kasus penistaan terus berulang. Karena itu, umat Islam harus berpikir serius untuk menghentikan kasus ini dengan melakukan pembelaan yang benar.
Sangat disayangkan, arah perjalanan negara dalam sistem sekularisme kapitalisme pun kian terlihat liberal. Perubahan sejatinya akan terjadi manakala negeri kaum Muslim mau keluar dari sekularisme, dengan meninggalkan sistem kapitalisme liberalisme sekularisme. Tegakkan sistem yang baik, yang tak bisa tidak harus lahir dari Dzat yang Mahabaik itulah syariah, dan pemimpin yang baik yang mau tunduk kepada sistem yang baik itu.
Hal tersebut akan terwujud ketika kaum Muslimin berada dalam naungan negara Khilafah. Sebab, Khilafah adalah junnah (perisai) yang akan melindungi kaum Muslimin. Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: “Sesungguhnya seorang imam itu (laksana) perisai. Dia akan dijadikan perisai, di mana orang akan berperang di belakangnya dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkam takwa kepada Allah Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa atau adzab karenanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Khilafah akan menutup celah yang memungkinkan penistaan agama atau simbol Islam dan menunjukkan kekuatan dan kewibawaan Islam di dalam maupun di luar negeri. Seandainya masih ada penista maka Khilafah akan bertindak tegas. Jika pelaku individu atau kelompok maka Khilafah akan menghukum mereka dengan sanksi ta’zir.
Namun, ketika pelakunya adalah negara, Khilafah akan memberi sanksi kepada negara tersebut. Bahkan dengan kekuatan pasukan yang dimiliki Khilafah akan menggunakan kekuatannya untuk menyerukan perang kepada negara penista. Inilah solusi dan pembelaan hakiki umat Islam kepada agamanya. Karena itu, sudah seharusnya kaum Muslimin berjuang dan bersatu untuk menegakkan junnah mereka, yakni Khilafah Islamiyah.
Di tengah kegelisahan yang semakin melanda dunia, di sinilah perlu peran orang-orang yang bergerak memperjuangkan kebangkitan umat Islam. Bagi umat Islam, dakwah untuk tegaknya ajaran Islam secara kaffah merupakan kewajiban. Karenanya tidak mungkin ada kekuatan yang mampu membendungnya.[]