Oleh: Hanifah Ummu Z
Aksi pembakaran Al-Qur’an kembali terjadi di Swedia, kali ini berlangsung di tengah perayaan Idul Adha. Namun, tidak semua warga Swedia setuju terhadap aksi tersebut. Beberapa warga yang berada di lokasi unjuk rasa menilai tindakan pria asal Irak yang pindah ke Swedia, Salwan Momika, sebagai bentuk provokasi.
Aksi yang dilakukan atas nama kebebasan berpendapat dan berekspresi ini kemudian menuai kecaman di seluruh dunia, termasuk Indonesia – negara dengan populasi Muslim terbesar dunia. Pemerintah Indonesia mengecam keras aksi tersebut dan sejumlah kalangan, termasuk MUI dan warganet, mengutuknya.
Apakah insiden ini mempengaruhi konservatisme di Indonesia pada tahun-tahun politik? Bagaimana semestinya warganet menyikapinya?
Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam cuitannya “mengecam keras aksi provokatif” dan menyatakan “tindakan ini sangat mencederai perasaan umat Muslim dan tidak bisa dibenarkan.”
“Kebebasan berekspresi harus pula menghormati nilai dan kepercayaan agama lain. Indonesia bersama negara anggota OKI [Organisasi Kerja sama Islam] di Swedia telah sampaikan protes atas kejadian ini,” demikian pernyataan yang ditulis akun @Kemlu_RI.
Kecaman serupa disampaikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui keterangan Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, Sudarnoto Abdul Hakim.
Dalam keterangan kepada media, Sudarnoto mengatakan kebebasan berpendapat dan berekspresi seperti ini sangat merugikan hak-hak warga lain terutama umat Islam yang seharusnya dilindungi oleh pemerintah dan oleh siapapun. “Membiarkan tindakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ekstrimis seperti Paludan sama saja menggerogoti dan menghancurkan demokrasi dan kedaulatan,” kata Sudarnoto.
Rangkaian pembakaran Al-Quran di Swedia sebelumnya juga dilakukan oleh politikus sayap kanan Erasmus Paludan. Aksi ini memicu kerusuhan di Swedia. “Sehubungan dengan itu, saya minta Duta Besar Swedia untuk Indonesia memberikan penjelasan secara baik dan menyatakan niat baiknya untuk menangkap orang-orang jahat seperti Paludan sekaligus memberikan jaminan tidak ada lagi orang atau kelompok-kelompok pembenci agama ini di masa mendatang.
Apa yang saya sampaikan ini menjadi bagian dari dukungan MUI terhadap sikap Liga Dunia Muslim terkait dengan kasus ini,” kata Sudarnoto. Video pembakaran Al-Qur’an terbaru ini mendapat ragam reaksi dari warganet di akun YouTube BBC News Indonesia, dengan lebih dari 300 komentar. Sebagian warganet merespons dengan sumpah serapah. Tapi sebagian lainnya, menanggapinya lebih tenang.
Usai aksi pembakaran Alquran dalam aksi protes di Swedia, puluhan orang menyerbu kompleks Kedutaan Swedia di ibu kota Irak, Baghdad. Massa berkumpul di luar kedutaan di Baghdad pada Kamis (29/06) setelah seorang ulama yang berpengaruh menyerukan protes penuh kemarahan.
Video yang diunggah di media sosial menunjukkan puluhan pengunjuk rasa berjalan di dalam halaman. Seorang fotografer kantor berita AFP yang berada di tempat kejadian mengatakan, kerumunan massa itu memasuki gedung beberapa saat dan tetap berada di dalam selama 15 menit sebelum pergi ketika pasukan keamanan setempat dikerahkan.
Pembakaran Al-Qur’an pada Rabu (28/06) lalu itu terjadi saat umat Islam di seluruh dunia merayakan Idul Adha, salah satu hari raya terpenting dalam kalender Islam.
Kepolisian Swedia telah memberikan izin kepada Salwan Momika untuk menggelar aksi protes, sesuai dengan undang-undang kebebasan berbicara. Tapi kemudian polisi berkata insiden tersebut sedang diselidiki karena dianggap menghasut kebencian.
Insiden itu juga memicu kemarahan di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya termasuk Turki – anggota NATO yang memiliki hak yang menentukan Swedia untuk menjadi anggota NATO. Turki – yang juga marah dengan protes pembakaran Al-Qur’an awal tahun ini – mengatakan “tidak bisa diterima” untuk membiarkan “tindakan anti-Islam” semacam itu terjadi “dengan dalih kebebasan berekspresi”. Presiden Recep Tayyib Erdogan berkata: “Kami pada akhirnya akan mengajari orang Barat yang arogan bahwa menghina Muslim bukanlah kebebasan berpikir”.
Negara-negara Timur Tengah termasuk Irak, Iran, Arab Saudi, dan Mesir mengecam keras pembakaran tersebut. Maroko dan Yordania telah menarik duta besar mereka untuk Stockholm. Irak mengatakan insiden itu adalah “cerminan dari semangat agresif penuh kebencian yang tidak ada hubungannya dengan kebebasan berekspresi”.
Iran menyuarakan kritik Irak dan menyebut tindakan membakar Al-Qur’an “provokatif” dan “tidak dapat diterima”. Sementara Mesir menggambarkannya sebagai tindakan “memalukan” yang sangat provokatif saat umat Islam memperingati Idul Adha.
Arab Saudi – negara tempat sekitar 1,8 juta jemaah berhaji pada pekan ini – mengatakan “tindakan kebencian dan berulang ini tidak bisa diterima dengan alasan pembenaran apapun.”
Adapun Perdana Menteri Swedia, Ulf Kristersson mengatakan pembakaran Al-Qur’an itu “legal tapi tidak pantas”.
Aksi membakar Al-Qur’an telah memicu kerusuhan di Swedia dalam beberapa bulan terakhir. Polisi telah menolak permohonan aksi protes serupa baru-baru ini, tetapi pengadilan kemudian memutuskan bahwa permohonan tersebut harus diizinkan atas dasar kebebasan berekspresi.
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Profesor Komaruddin Hidayat, ikut merespons aksi pembakaran Al-Qur’an kesekian kalinya di Swedia. “Al-Qur’an tidak akan hilang dan tetap hidup dalam perjalanan sejarah manusia,” katanya kepada BBC News Indonesia, Jumat (30/06). Saat ditanya, apakah aksi pembakaran Al-Qur’an ini memungkinkan untuk menguatkan konservatisme di Indonesia, ia menjawab: “Tiap bangsa dan masyarakat punya karakter dan konteks sosial keagamaan yang khas dan berbeda. Kerukunan hidup beragama di Indonesia itu menjadi inspirasi dunia. Tidak perlu ikut-ikutan masyarakat luar yang beda konteks sosial-ideologisnya.”
Sangat disayangkan tentunya, satu sisi terjadinya pembakaran ini dikarenakan adanya kebebasan berpendapat dan berekspresi, sementara tuaian protes pasca pembakaran pun dilakukan lantaran kebebasan berpendapat dan berekspresi, dalam hal ini tentu saja janggal, orang menjadi sulit memahami Batasan jelas yang boleh dan tidak dalam bersikap juga berekspresi.
Melihat demikian, berarti kebebasan yang dimaksudkan itu tidak cocok diterapkan, musti ada aturan yang jelas dalam menjamin hak-hak setiap pemeluk agama. Dalam hal ini negaralah yang memiliki tanggungjawab kunci penjaminan tersebut.
Negara haruslah menerapkan system kehidupan yang jelas dan mampu mengampu hak setiap warga negaranya, tanpa mengecualikan ras juga agama. Negara ini pernah ada dan Berjaya, yaitu Ketika system Islam diterapkan secara totalitas oleh negara.
Di dalam Islam setiap warganya apapun ras dan agamanya mereka mendapatkan perlindungan dan hak-hak yang sama, sehingga negara tidak membiarkan serta tegas menyikapi berbagai tindakan yang dapat menyulut perpecahan lantaran penghinaan yang dilakukan terhadap agama lain.
Selama kurun waktu yang lama setelah runtuhnya Daulah Islam, hal demikian semakin tidak lagi dapat dirasakan, belakangan saja berulang dan semakin parak kejadian yang menyulut perpecahan antar umat beragama. Sementara kecaman dan sikap-sikap yang diberikan merespon kejadian tersebut tidak menghentikan permasalahannya.
Disinilah kerinduan yang amat kepada system yang dijanjikan Allah swt rahmatan lil ‘alamin, ialah system Islam. Semoga kita semua terpanggil untuk mewujudkannya dan Allah swt menolong kita semua dengan Kembali menegakkannya di muka bumi ini, aamin yaa Allah.