Kamis, Juli 3, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Pasir Laut Diekspor, Ekosistem Laut Terancam

by matabanua
5 Juli 2023
in Opini
0

Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I (Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja)

Kebijakan Presiden Joko Widodo yang membolehkan ekspor pasir laut menuai polemik. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Pasal 9 PP tersebut menyatakan hasil sedimentasi yang dimanfaatkan berupa pasir laut dan/atau material sedimen lain berupa lumpur. Dalam ayat 2, hasil sedimentasi tersebut bisa digunakan untuk ekspor.

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\4 Juli 2025\8\master opini.jpg

Keserentakan Pemilu dan Restorasi Politik Lokal

3 Juli 2025
D:\2025\Juli 2025\4 Juli 2025\8\foto opini 1.jpg

Rencana strategis Sistem Kapitalisme-Harga Beras Meroket, Stok Melimpah?

3 Juli 2025
Load More

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang dikeluarkan Presiden Jokowi banjir kritik. Salah satu yang menjadi polemik dalam PP ini adalah pemanfaatan hasil sedimentasi laut berupa pasir laut untuk diekspor keluar negeri. Hal ini tertuang dalam Pasal 9 Ayat (2) huruf D yang menyebutkan ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3 Menteri Jokowi pun langsung merespons, berikut penjelasan mereka seperti dikutip, Kamis (2/6/2023).

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pun buka suara. Arifin membeberkan alasan pemerintah membuka keran ekspor pasir laut, yaitu untuk menjaga alur pelayaran dan nilai ekonomi akibat sedimentasi tersebut. “Yang dimaksud dan diperbolehkan itu sedimen, kan channel itu kebanyakan terjadi pendangkalan karena pengikisan dan segala macam. Nah untuk jaga alur pelayaran maka didalami lagi. Itu lah yang sedimen itu lebih bagus dilempar keluar dari pada ditaruh ditempat kita juga,” kata Menteri ESDM, di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (31/5/2023).

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga buka suara soal ini. Menurut Luhut, kebijakan itu bertujuan untuk pendalaman alur laut. Sebab jika tidak, alur laut makin dangkal. “Jadi untuk kesehatan laut juga,” ujarnya. Luhut lantas mengungkapkan kalau ada proyek besar berupa reklamasi Rempang di Batam, Kepulauan Riau, untuk digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga surya. “Supaya bisa digunakan untuk itu. Ada industri besar untuk tadi itu untuk solar panel itu. Jadi gede sekali industri di sana,” kata Luhut.

Lantas apakah kebijakan itu bisa merusak lingkungan? Luhut membantahnya.

“Gak dong. Semua sekarang karena ada GPS segala macem. Kita pastikan itu tidak terjadi. Sekarang kalau misal harus diekspor pasti jauh manfaatnya tadi untuk BUMN, untuk pemerintah,” ujar Luhut. Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono blak-blakan soal ekspor pasir laut. Menurut Trenggono, nantinya akan ada aturan turunan berupa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) PP Nomor 26 Tahun 2023. Di dalam aturan turunan tersebut, dibentuk Tim Kajian yang terdiri dari KKP, Kementerian ESDM, KLHK, hingga LSM Lingkungan seperti Walhi dan Greenpeace.

Tim Kajian ini menurut Trenggono yang akan menentukan apakah hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut bisa diekspor atau tidak. “Katakanlah mereka mengajukan untuk kepentingan ekspor, permintaan ekspor selama itu betul-betul hasil sedimentasi boleh saja, pengunaannya boleh dalam negeri boleh ke luar negeri gak apa-apa selama dia bayarnya mahal ke dalam negeri,” ungkap Trenggono di Gedung KKP, Kawasan Gambir, Jakarta, Rabu (31/5/2023).

Penambangan pasir laut yang pernah ada nyata-nyata menimbulkan kerusakan lingkungan. Hal yang pernah masyarakat rasakan adalah abrasi pesisir laut dan erosi pantai yang menyebabkan hilangnya pulau kecil, sebagaimana terjadi di Kepulauan Riau. Nelayan kerapu di wilayah Riau juga menceritakan bahwa air laut menjadi keruh dan terumbu karang rusak. Kondisi ini membuat nelayan kesulitan mendapatkan bermacam-macam ikan karena hancurnya tempat pemijahan dan berkembangnya ikan-ikan.

Kerusakan lingkungan yang sama juga dirasakan oleh masyarakat di Pulau Morotai, Maluku Utara. Kegiatan penambangan pasir pantai menyebabkan penyusutan garis pantai, kebun kelapa milik warga mengalami abrasi, dan hilangnya kawasan mangrove. Dampak lainnya adalah timbulnya turbulensi yang menyebabkan peningkatan kadar padatan tersuspensi di dasar perairan laut, menimbulkan banjir rob, membuat energi gelombang atau ombak makin tinggi ketika menerjang pesisir pantai, serta menimbulkan konflik sosial antara masyarakat yang pro lingkungan dan para penambang pasir laut.

Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa dampak negatif dari penambangan pasir laut jauh lebih besar daripada dampak positif. Alhasil, sudah semestinya penambangan dihentikan. Terlebih lagi, adanya larangan pengerukan pasir laut selama ini ternyata tidak menghentikan aktivitas para penambang. Mereka masih saja menjalankan praktik itu meski secara ilegal.

Jadi, penambangan ini justru mendapatkan lampu hijau dari pemerintah, aktivitas liar tersebut tentu menjadi legal dan mereka akan makin bebas mengeruk pasir laut. Negara sendiri memang seolah mendapatkan keuntungan, yaitu dari pajak aktivitas penambangan serta kegiatan ekspor. Namun sejatinya, oligarkilah pihak yang paling diuntungkan. Mereka dapat menyedot pasir laut sesuka mereka dan menjualnya ke negara yang membutuhkan.

Para oligarki ini adalah perusahaan besar, baik dalam maupun luar negeri. Wajar jika ada yang menduga bahwa di balik kebijakan ini ada pihak tertentu yang menunggangi. Kemungkinan, mereka adalah perusahaan-perusahaan tambang pasir laut yang selama ini ilegal. Lahirnya kebijakan ini mengonfirmasi bahwa negara lebih mengutamakan poin ekonomi tanpa mempertimbangkan masalah lingkungan.

Selama menghasilkan pundi-pundi rupiah, negara akan menjualnya. Ini sekaligus menunjukkan bahwa negara ini ada dalam cengkeraman kapitalisme, ideologi yang memandang segala sesuatu sesuai manfaatnya dan menjadikan sistem ekonomi sebagai pijakan utama dari segala kebijakan. Kapitalisme membolehkan pengusaha mengeruk SDA, membebaskan setiap orang untuk memperkaya dirinya dengan cara apa saja, termasuk eksplorasi tambang milik umum.

Sudahlah watak manusia yang tidak pernah puas, ditambah negara memberi kebebasan untuk mengeruk SDA, akhirnya yang timbul adalah kerusakan dan kerugian bagi banyak pihak. Kapitalisme juga menjadikan peran negara mandul. Negara hanya sebagai regulator, yaitu pihak yang membuat aturan agar pihak tertentu bisa untung. Negara tidak akan memperhatikan kerusakan lingkungan, kecuali fokus pada tumpukan pasir yang bisa menghasilkan uang.

Pasir laut termasuk SDA yang ada di laut. Pasir laut yang diambil memang bukan pasir yang mengandung tambang golongan A dan B, tetapi sesungguhnya tetap bermanfaat bagi kelangsungan ekosistem laut. Kandungan pasir laut yang mayoritas adalah silikon oksida (SiO2) juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan manusia. Dapat dikatakan, pasir laut adalah SDA milik umum. Sebagai agama yang sempurna, Islam telah mengatur pemanfaatan SDA. Rasulullah saw. bersabda,

“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Hadis ini bermakna bahwa seluruh padang rumput, air (laut, danau, dan semua yang ada di dalamnya), serta api (tambang, minyak bumi, dan gas alam) tergolong harta milik umum. Islam mengharamkan individu atau pengusaha swasta untuk mengelolanya. Negaralah satu-satunya pihak yang boleh mengelola dan memanfaatkan SDA milik umum untuk mengembalikan hasilnya ke rakyat.

Landasan haramnya SDA jatuh ke tangan swasta adalah larangan Rasulullah saw. kepada sahabat yang mengelola tambang garam untuk pribadi karena ternyata tambang tersebut bermanfaat untuk kemaslahatan umat. Dari sini jelas, Islam tidak akan membolehkan kegiatan ekspor pasir laut karena merupakan SDA milik umum, selain menyebabkan kerusakan lingkungan. Lagi pula, Islam tidak akan membiarkan para oligarki memengaruhi kebijakan negara.

Hak membuat hukum hanyalah pada Allah Taala, bukan manusia. Islam juga tidak membuat keputusan semata pertimbangan ekonomi, melainkan sesuai tuntunan syariat untuk meraih rida Ilahi. Penerapan Islam seperti inilah yang akan memberikan perlindungan bagi lingkungan alam maupun kehidupan manusia. Hanya saja, aturan seperti ini tidak akan bisa dilaksanakan oleh rezim yang materialistis. Aturan ini akan terlaksana jika negara mengambil Islam sebagai landasannya dan yang menjadikan rida Allah sebagai tujuan terakhirnya.

 

 

Tags: Ekosistem LautMenteri ESDM Arifin TasrifNor Faizah RahmiPasir LautPraktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA