Oleh: Nor Aniyah, S.Pd (Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi.)
Pemerintah akan mencabut izin operasional 23 perguruan tinggi di berbagai provinsi di negeri ini. Sanksi tersebut dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). Pencabutan izin operasional 23 perguruan tinggi tersebut dilakukan berdasarkan pengaduan masyarakat dan pemeriksaan tim evaluasi kinerja. Sanksi berupa pencabutan izin operasional tersebut dijatuhkan pada perguruan tinggi yang sudah tidak memenuhi ketentuan standar pendidikan tinggi.
Dalam kasus ini semua kampus yang diberhentikan adalah perguruan tinggi swasta (PTS). Bukan hanya itu, kampus-kampus tersebut juga melaksanakan praktik terlarang, seperti pembelajaran fiktif, jual beli ijazah, dan penyimpangan beasiswa KIP kuliah. Plt Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mengatakan bahwa tindakan tersebut menurutnya harus dilakukan Kemendikbud Ristek untuk menjaga kompetensi lulusan agar siap bertarung di dunia kerja nantinya (kompas.com).
Pencabutan izin operasional perguruan tinggi terjadi karena praktik-praktik yang tidak memenuhi standar perguruan tinggi, sejatinya trlah menciderai telah tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan tinggi yang seharusnya membentuk lulusan-lulusannya memiliki kompetensi dan karakter yang shalih, nyatanya membiarkan praktik-praktik curang. Namun, hal ini adalah sesuatu yang wajar terjadi di tengah pradigma kapitalis sekuler yang melandasi sistem pendidikan saat ini.
Sistem pendidikan berlandaskan kapitalisme hanya berorientasi pada materi. Ada konsep bisnis atau permintaan dan penawaran di dalamnya. Di mana perguruan tinggi mencari keuntungan, sedangkan mahasiswa mengejar ijazah untuk memudahkan mereka mendapatkan pekerjaan. Maka wajar, idealisme pendidikan yang mengharuskan terwujudnya pemahaman atas ilmu menjadi hilang.
Pendidikan kapitalis sekuler memang diarahkan untuk kepentingan ekonomi, bukan semata-mata ilmu apalagi untuk pembentukan kepribadian (karakter). Tak heran praktik-praktik menjadi fenomena yang dilegalisasi langsung oleh perguruan tinggi. Dengan konsep ini, maka tentu saja yang paling diuntungkan adalah para pengusaha (pemilik modal) yang menanamkan modalnya di sektor pendidikan.
Keputusan pemerintah yang mencabut izin perguruan tinggi yang bermasalah adalah satu keharusan. Namun, pencabutan tersebut sejatinya tidak akan menyelesaikan persoalan pendidikan selama masih bertahan dengan paradigma kapitalisme sekuker. Sebab faktanya kebutuhan akan pendidikan tinggi masih tinggi. Jika pemerintah menutup sebagian besar perguruan tinggi, maka peluang bagi generasi untuk bisa kuliah akan semakin berkurang.
Sayangnya, negara dalam sistem kapitalisme telah kehilangan jati dirinya sebagai pe-riayah (pengurus urusan umat). Negara seharusnya mampu menyediakan institusi pendidikan yang memadai dan berkualitas bagi rakyatnya. Namun nyatanya, negara malah menyerahkan pengurusan tersebut kepada swasta. Bahkan, negara mendorong masyarakat termasuk korporasi untuk berpartisipasi aktif untuk mendirikan sekolah meski berbiaya tinggi.
Negara hanya menjadi regulator (pembuat aturan) bagi kepentingan siapa pun yang ingin mengeruk keuntungan dari dunia pendidikan. Artinya, negara memberi kemudahan dengan syarat yang tidak berbelit dalam mendirikan sekolah maupun perguruan tinggi. Hal ini pula yang menjadi celah terjadinya praktik ilegal dalam sistem pendidikan kapitalis.
Sejatinya pendidikan sekuler kapitalis sangatlah berbeda dalam pendidikan Islam. Dalam Islam, negara berkewajiban memenuhi kebutuhan rakyatnya, termasuk layanan pendidikan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya. Semua individu harus dapat mengakses layanan pendidikan dasar dan menengah dengan cuma-cuma. Negara juga harus membuka kesempatan seluas mungkin bagi rakyat yang mau melanjutkan pendidikan ke tingkat pendidikan tinggi. Negara wajib menyediakannya dengan fasilitas sebaik mungkin.
Kebutuhan primer menurut Islam terbagi dua. Pertama, bagi tiap individu rakyat. Kedua, bagi rakyat secara keseluruhan. Kebutuhan primer bagi tiap individu adalah sandang, pangan, dan papan. Ketiganya merupakan basic needs bagi setiap individu. Adapun yang termasuk kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan adalah sandang, pangan, keamanan, kesehatan, dan pendidikan.
Islam memiliki politik ekonomi yang akan menjamin terpenuhinya semua kebutuhan primer setiap individu termasuk layanan pendidikan. Dengan politik ekonomi Islam pendidikan yang berkualitas dan bebas biaya bisa teralisasi secara menyeluruh. Negara akan mencegah semua upaya yang menjadikan pendidikan sebagai bisnis atau komoditas ekonomi sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalisme saat ini.
Islam menetapkan seluruh pembiayaan pendidikan berasal dari Baitul Maal, yakni dari pos fai’, dan kharaj, serta pos kepemilikan umum. Jika sumber pembiayaan dari Baitul Maal tidak mampu menutupi kebutuhan biaya pendidikan, negara akan memotivasi kaum Muslim untuk memberikan sumbangan secara suka rela. Jika sumbangan kaum Muslim belum mencukupi kewajiban pembiayaan pendidikan beralih kepada seluruh kaum Muslim yang mampu.
Adapun tujuan dalam pendidikan Islam adalah untuk membangun kepribadian Islam serta penguasaan ilmu kehidupan, seperti sains, teknologi, dan matematika. Output pendidikan Islam akan menghasilkan peserta didik yang kukuh keimanannya dan mendalam pemikiran Islamnya. Untuk mewujudkan tujuan ini disusunlah kurikulum pendidikan formal yang berlandaskan akidah Islam. Kurikulum yang berlaku hanya satu, yaitu kurikulum yang ditetapkan negara. Akan tetapi keberadaan sekolah dan perguruan tinggi swasta tidak dilarang selama mengikuti kebijakan negara. Dengan sistem pendidikan Islam tata kelola pendidikan akan mencapai puncak kegemilangannya hingga mampu menyelesaikan problematika umat di tengah masyarakat.
Problematika seperti dalam sistem Kapitalisme saat ini tentu tidak terjadi pada sistem pemerintahan yang menerapkan Islam secara menyeluruh (kaffah). Hal ini karena didukung penuh oleh sistem ekonomi dan politik Islam yang berorientasi penuh melayani rakyat dan berasaskan akidah Islam. Rasulullah Saw bersabda: “Imam adalah pemimpin, dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari).
Tentu umat ingin hidup dengan aturan yang sesuai fitrahnya sebagai manusia, aturan itu adalah aturan Allah yang telah menciptakan manusia dan yang paling mengetahui karakter manusia sebagai ciptaan-Nya. Perbaikan menyeluruh tidak akan pernah terjadi kecuali melalui perubahan sistem tatanan yang kapitalistik-sekularistik menuju tatanan yang Islami. Upaya ini membutuhkan kesungguhan dan komitmen semua pihak untuk segera mewujudkan sistem pendidikan yang menerapkan syariah Islam secara kaffah.[]