Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I (Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja)
Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati kembali buka suara soal potongan komisi yang diterapkan aplikator terhadap para pengemudi (driver) ojek online (ojol). Lily berujar, penghasilan pengemudi ojol hingga saat ini tidak kunjung membaik lantaran regulasi batas maksimal biaya komisi tersebut kembali menjadi 20%.
Walaupun sudah ditetapkan maksimal 20%, ujarnya, tetap saja aplikator melanggar ketentuan dengan melakukan potongan lebih dari 20%. Potongan yang memberatkan pengemudi ojol tersebut di kisaran 22-40% dalam setiap order. “Pendapatan pengemudi ojol yang pas-pasan disebabkan karena regulasi pemerintah yang tidak berpihak kepada pengemudi ojol,” tutur Lily. (Tempo).
Penghasilan driver ojek online (ojol) mengalami penurunan signifikan sejak beberapa tahun lalu. Dikabarkan, hal ini terjadi akibat potongan besar yang dilakukan oleh Gojek dan Grab.
Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia Igun Wicaksono menjelaskan, saat tahun-tahun pertama kehadiran ojol, para pengemudi bisa mengantongi Rp5 juta hingga Rp10 juta.
Fenomena yang berbeda dari sekitar tahun 2016, saat banyak orang berbondong-bondong beralih profesi menjadi driver ojol. Saat pertama kali muncul tahun 2010-2015 penghasilan para pengemudi bisa mencapai Rp 10 juta. Tahun 2016, aplikasi mulai ada perekrutan besar-besaran untuk posisi driver. Namun pada 2016-2018, pendapatan para driver mulai menurun hingga 50% dari sebelumnya. Hal ini diperparah dengan keadaan pandemi yang makin memotong pemasukan pengemudi.
“Memang yang membuat ini terus menurun karena banyak potongan perusahaan aplikasi terhadap pengemudi ojek online. Hal ini sebagai gambaran perusahaan tidak memperhatikan, tidak merawat pengemudinya, namun hanya profit oriented saja,” kata Igun kepada CNBC Indonesia, dikutip Minggu (2/4/2023). Dia menjelaskan yang berlaku saat ini adalah potongan lebih dari 20%, sementara pihaknya telah meminta untuk maksimal melakukan potongan sebanyak 10%.
Menurutnya, jika tidak ada penurunan potongan, bakal ada krisis pengemudi ojol di masa depan. Bahkan dia mengatakan fenomena ini akan terjadi dalam lima tahun ke depan di kota-kota besar. “Selagi tidak terlaksana, kami yakin jumlah pengemudi akan terus menurun. Bisa dilihat ke depannya pada kota-kota besar jumlah ojek online semakin menurun untuk lima tahun ke depan,” jelasnya.
Pada akhir tahun lalu, tarif ojol sendiri telah resmi dinaikkan. Hal ini berdasar pada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 ditetapkan 4 Agustus 2022. Kendati begitu, mitra driver tak merasakan ‘cipratan’ penambahan pendapatan dari kenaikan tarif itu. Bahkan, pemotongan upah masih terjadi. Ketua Umum Asosiasi Driver Online (ADO) Taha Syafaril mengatakan pengguna ojol kerap berekspektasi layanan ojol meningkat berkait kenaikan tarif.
Namun, itu tak bisa terjadi karena para driver empot-empotan kejar target dan tak dapat upah lebih. “Tapi mitra tidak bisa melakukan perbaikan layanan karena menerima pendapatan dari tarif yang makin kecil. Sangat banyak saingan dan harus menambah jam kerja,” kata dia saat dihubungi CNBC Indonesia. “Yang merusak sistem transportasi online adalah aplikasi sendiri. Dengan terus menambah biaya potongan tanpa peduli kesulitan mitra driver,” ia menambahkan. Jika nantinya krisis driver benar-benar terjadi,
Taha mengatakan ini merupakan kesalahan para penyedia platform. Pasalnya, mereka cuma peduli persaingan bisnis tanpa memperhatikan nasib driver. “Menurut saya, aplikasi sendiri biang keladinya. Sejak meledaknya quota mitra driver, aplikasi jumawa dengan bisnisnya. Arogan sekali! Nggak heran kalau mitra driver banyak yang sudah nggak sanggup menjalankan profesinya,” pungkasnya.
Ada beberapa catatan dari berbagai pengamat terkait dampak kenaikan tarif ojol.
Pertama, pakar ekonomi Universitas Airlangga Rumayya Batubara berpendapat bahwa kenaikan tarif ojol bisa membuat masyarakat meninggalkan transportasi ini.
Kedua, pakar dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Nailul Huda menyatakan, apabila tarif ojol naik, inflasi pun ikut terkerek meningkat drastis.
Ketiga, analis kebijakan transportasi dan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Azas Tigor Nainggolan menilai kenaikan tarif ojol tidak menguntungkan driver ojol karena kenaikan begitu besar. Transportasi online (termasuk ojol) adalah multisided-market. Terdapat banyak jenis layanan bagi konsumen oleh sebuah platform. Dampaknya bukan hanya dari sisi mitra driver saja, melainkan juga dari sisi konsumen (penumpang) dan pelaku usaha mikro kecil dan menengah UMKM (mitra penjual makanan-minuman).
Jika terjadi perubahan cost dari sisi mitra driver, tentu juga berdampak terhadap konsumen dan pelaku UMKM. Dari sisi konsumen, akan terjadi penurunan permintaan sesuai hukum ekonomi. Mitra driver juga akan mengalami kerugian karena secara total pendapatan akan menurun. Kebijakan menaikkan tarif ojol ini jelas kontradiktif dengan kesejahteraan driver yang ingin dicapai dan berdampak buruk pada ekonomi rakyat.
Berdasarkan studi Research Institute of Socio-Economic Development (RISED), konsumen menilai kebijakan tarif baru dinilai terlalu mahal. Batasan tarif per zona juga tidak mencerminkan daya beli masyarakat pada masing-masing wilayah. Sebanyak 53,3% konsumen menyatakan akan kembali menggunakan kendaraan pribadi jika kenaikan tarif diberlakukan. Jika akhirnya, bukan hanya pengguna ojol yang meninggalkan transportasi tersebut, tetapi driver juga memilih meninggalkan pekerjaan mereka.
Aplikator lebih fokus pada eksistensi bisnisnya daripada nasib pengemudi. Bahkan dari awal, aplikator tidak serius dalam mengembangkan SDM para pengemudinya. Adanya ledakan pengemudi baru yang cukup besar dianggap sekadar turn over driver, tidak masalah banyak yang keluar masuk, yang penting bisnis tetap berjalan. Bisnis aplikasi ini pun tetap bisa berjalan efisien dan menghasilkan keuntungan besar.
Watak kapitalistiknya jelas terlihat, yaitu prinsip mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya semurah-murahnya yang dipraktikkan di depan mata kita. Walhasil, pengemudi ojol yang merasa terzalimi, kecewa, akhirnya meninggalkan aplikasi itu dan lebih memilih pekerjaan lainnya.
Banyak terjadi PHK karyawan di perusahaan-perusahaan berbasis teknologi, terutama startup. Sebelumnya, PHK marak di beberapa bisnis yang sudah mendunia, semisal Google dan Facebook. Untuk perusahaan lokal, ada RuangGuru. Bahkan, banyak aplikasi akhirnya membubarkan diri karena sangat rentan dengan ekonomi atau resesi dunia yang jelas berdampak terhadap bisnis mereka yang padat modal dan sering melakukan praktik “bakar uang”.
Bisnis berbasis IT memang sangat rentan terhadap krisis dan gejolak ekonomi. Buktinya, banyak yang tumbang. Bahkan, marketplace yang tadinya memberikan fasilitas “wah” ke para pekerjanya, sekarang juga mulai melakukan rasionalisasi dan pengurangan karyawan. Inilah nasib bisnis yang dibangun tanpa fondasi kuat dan hanya memikirkan keuntungan sesaat tanpa memperhatikan nasib mitra atau pekerjanya. Ironisnya, penguasa di negeri yang menganut sistem demokrasi ini terlihat tertatih-tatih dalam meregulasi bisnis-bisnis ini.
Demokrasi yang lamban tidak mampu memberikan solusi apa pun, bahkan tidak peduli akan kesejahteraan masyarakat, termasuk para pengemudi ojol tadi. Kapitalisme memandang mode transportasi sebagai sebuah industri. Cara pandang ini mengakibatkan kepemilikan fasilitas umum transportasi dikuasai perusahaan atau swasta yang secara otomatis berfungsi untuk bisnis bukan pelayanan.
Publik juga menemukan, perusahaan ojol termasuk salah satu yang “semaunya” menaikkan tarif tanpa peduli kondisi rakyat. Negara pun sekadar stempel kerakusan para kapitalis yang hobi memeras kantong rakyat. Terkait nasib para pengemudi ojol, kita harus bisa melihatnya dari perspektif Islam.
Sebelum membahas kebijakan makro negara dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya melalui kebijakan politik ekonominya, secara mikro, hubungan pengusaha dan karyawan/mitra harus clear terlebih dahulu. Dalam artian, harus sesuai hukum syarak terkait akad-akad yang dibangun antara pengusaha dan karyawannya.
Dalam regulasi Islam, sistem kontrak kerja harus jelas, baik jumlah, waktu, maupun gajinya. Hal ini harus jelas sejak awal. Seorang karyawan digaji karena telah memberikan manfaat dari jasa yang telah ia lakukan. Apabila manfaat itu sudah tertunaikan, pengusaha wajib menggaji dan tidak boleh terjadi gharar (ketidakkejelasan), misalnya ada potongan-potongan yang tidak jelas, apalagi sampai lebih dari 40% yang mengakibatkan turunnya pendapatan para pekerja.
Akad yang jelas inilah yang kemudian membuat bisnis menjadi berkah. Di sisi lain, negara berkewajiban melakukan asistensi pengawasan dan memenuhi kebutuhan hajat hingga per individu masyarakat sehingga mereka tidak mengandalkan gaji untuk memenuhi seluruh kebutuhan mereka. Dua problem inilah yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Pertama, mengenai kejelasan akad kerja. Kedua, tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya.
Dalam Islam, mengelola layanan publik dengan prinsip pelayanan, bukan bertujuan menghasilkan cuan (uang). Sudah merupakan tanggung jawab negara untuk membangun berbagai infrastruktur untuk memudahkan segala urusan masyarakat. Selain itu, negara dalam Islam pun bisa meminimalisasi masyarakat menggunakan transportasi pribadi dengan memaksimalkan transportasi umum.
Negara akan menata kelola agar warga tidak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik untuk menuntut ilmu atau bekerja. Semua ada dalam jangkauan perjalanan yang wajar dan memiliki kualitas yang terstandar. Prinsip pengelolaan transportasi dalam Islam ialah memenuhi kebutuhan publik. Perhitungan biaya operasional dihitung untuk menutup BEP (Break Event Point), atau dengan kata lain balik modal. Jika BEP telah tercapai, operasional selanjutnya memungkinkan untuk digratiskan.
Sungguh, layanan publik dalam Islam antimahal dan antiribet, bahkan bisa digratiskan. Ini tersebab dalam menjalankan sarana transportasi, infrastruktur yang terlibat semuanya menjadi milik publik. Dengan demikian, tidak akan ada pihak yang dirugikan. Rakyat juga tidak akan mengandalkan bekerja sebagai satu-satunya jalan untuk memenuhi seluruh kebutuhannya. Karena negara sudah menanggung kebutuhan pokok rakyatnya, seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, keamanan, dan lainnya.