
1 Juni setiap tahunnya diperingati sebagai hari lahir Pancasila. Momentum ini mengingatkan Kembali bahwa dengan beragam suku bangsa, para founding father kita memikirkan apa yang bisa menyatukan keberagaman tersebut. Alhasil dicetuskanlah adanya Pancasila. Setelah memasuki masa sidang yang cukup sengit Pancasila akhirnya disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Tahun-tahun politik sudah didepan mata, berkaca pada sejarah menjelang pemilu bahkan setelah pemilu terkadang kita masing sering terpecah karena perbedaan pandangan politik, bahkan dalam satu keluarga pun berselisih dikarenakan perbedaan dalam memilih pemimpin.
Sebagai negara yang beragam kebudayaan suku bangsa Indonesia Pancasila hadir sebagai penengah, Pancasila dapat dianggap sebagai ideologi terbuka karena memiliki prinsip-prinsip dasar yang sangat inklusif dan dapat diinterpretasikan secara luas oleh berbagai kelompok masyarakat, termasuk kelompok minoritas. Pancasila juga terbuka untuk perkembangan dan perubahan dalam menghadapi perubahan sosial dan politik. Sila ke-3 pancasila mengamanatkan adanya persatuan, tentu persatuan yang dimaksud adalah ditengah keberagaman kita masih Bersatu saling menguatkan dan saling melengkapi bukan saling menjatuhkan. Menyongsong tahun politik 2024 tantangan kita semakin besar yaitu memastikan pesta demokrasi tersebut dapat berjalan sesuai rel nya tanpa adanya perpecahan ditengah masyarakat luas. Ada pepatah yang mengatakan sebaik-baiknya guru adalah pengalaman, melihat kepada kejadian 2019 tentu kita seharusnya Kembali berfikir apa gunanya perpecahan antara sesame anak bangsa, perbedaan pandangan politik tentu boleh-boleh saja karena itu merupakan amanat Konstitusi yang mengatakan kebebasan dalam memilih dan dipilih, akan tetapi jangan sampai perbedaan pandangan politik membuat kita saling menjatuhkan dan saling bertikai satu sama lain.
Manuver-manuver politik sudah terjadi hingga pencarian bakal calon wakil presiden semakin seru untuk di ikuti. Para tokoh elit sudah mulai saling mengunjungi yang mengindikasikan akan terjadi konsolidasi dalam pengusungan calon presiden masing-masing. Mengutip media Republika, Direktur Eksekutif The Strategic research and consulting (TSRC) Yayan Hidayat memprediksi akan terjadi 3 poros koalisi pencalonan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2024. Semakin seru perpolitikan kedepan jika para elit tidak mengkondisikan dengan baik keadaan ini. Yayan menjelaskan tiga koalisi itu meliputi Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri atas PDIP, Golkar, PPP, dan PAN serta partai non-parlemen PSI dan Hanura dengan mengusung Ganjar Pranowo sebagai capres. Poros koalisi kedua adalah Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang terdiri atas Gerindra dan PKB dengan mengusung Prabowo Subianto sebagai capres, serta terakhir adalah Koalisi Perubahan yang terdiri dari Partai Nasdem, Demokrat dan PKS dengan mengusung Anies Baswedan sebagai capres.
Banyak polemik yang menjadi pembicaraan menjelang pemilu 2024 salah satunya adalah mengenai presidential threshold. Issue ini sepertinya akan terus di goreng saat-saat mendekati pemilu. Bagaimana tidak mendekati pemilu 2024 aturan mengenai ambang batas pencalonan presiden Kembali di uji di Mahkamah Konstitusi. Mengutip website Mahkamah Konstitusi Permohonan perkara Nomor 20/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Adang Suhardja, Marwan Batubara, Ali Ridhok, dan Bennie Akbar Fatah. Sidang dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan perkara ini digelar di MK pada Senin (14/03/2022). Adapun norma yang diujikan adalah Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto, para Pemohon yang diwakili kuasa hukum Herman Kadir mengatakan, Pasal 222 UU Pemilu mengharuskan pasangan calon presiden dan wakil presiden memenuhi “persyaratan perolehan kursi partai politik atau gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional”. Hal ini menurutnya bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang.”
Tak berhenti sampai disitu, issu lain termasuk pemilu dengan sistim proporsional tertutup juga mencuat ke publik sejak lama. Ditambah lagi dengan pernyataan Denny Indrayana yang menyatakan dapat informasi dari informannya bahwa MK akan memutus Sistim pemilu dengan Proposional Tertutup. Jika sistim ini benar-benar diterapkan setidak-tidaknya hal ini akan terjadi, pertama dengan mekanisme tertutup maka rakyat tidak lagi memilih langsung siapa yang menjadi wakil mereka dilegislatif tentu ini sangat menciderai hak politik masyarakat. Kedua, akan tarjadinya nepotisme di internal partai, dikarenakan system ini dimana rakyat hanya memilih partai saja maka partailah yang akan menentukan siapa calon mereka yang akan menjadi anggota legislative. Tentu akan sarat akan bagi-bagi kekuasaan apalagi ditambah bagi mereka yang memiliki kedekatan dengan petinggi partai tertentu. Ketiga, akan terjadinya politik uang. Jika sebelumnya politik uang terjadi antara calon dengan pemilih maka kali ini bergeser dari calon ke partai politik karena untuk menduduki jabatan tersebut.
Apapun polemiknya harapan kita tentu pemilu 2024 dapat berjalan lancar dan dijadikan ajang pesta demokrasi rakyat secara besar-besaran ditambah lagi dengan semakin dewasanya perpolitikan tanah air tanpa harus saling menjelek-jelekan, tanpa harus terpecah belah.