
Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I (Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja)
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyampaikan sebanyak 81 juta penduduk Indonesia kelompok milenial belum memiliki rumah. Catatan ini berdasarkan data milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). “Ada 81 juta generasi milenial dengan status yang berbeda ini data dari Kementerian PUPR belum dapat fasilitas rumah,” ujarnya saat mendampingi Presiden Jokowi meresmikan Hunian Milenial untuk Indonesia, di Depok, Jawa Barat, Kamis (13/4).
Menteri Erick menjelaskan, masih tingginya jumlah kelompok milenial yang belum memiliki hunian diakibatkan oleh sejumlah faktor. Antara lain kian padatnya ketersediaan lahan untuk pembangunan kawasan hunian di perkotaan. “Artinya, wilayah kota akan semakin padat dan menantang dalam mengatur transportasi dan hunian untuk masyarakat,” ungkapnya. Selain itu, proporsi jumlah penduduk di wilayah perkotaan jauh lebih banyak dibandingkan wilayah pedesaan. Hal ini menyebabkan kebutuhan hunian di perkotaan jauh lebih besar.
“Sekarang total penduduk di perkotaan 56,7 persen sementara desa 43,3 persen,” jelasnya.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Erick memperkuat kolaborasi Kementerian BUMN bersama Kementerian PUPR dalam menciptakan titik-titik lokasi hunian baru. Sehingga, diharapkan akan membuka kesempatan lebih besar bagi kelompok penduduk usia milenial untuk memiliki hunian.
“Karena itu kami dengan Kementerian PUPR berinisiasi untuk mengoordinasikan seluruh BUMN. Ada Perumnas, BTN, PLN, PP, Adi Karya, dan tentu PT Kereta Api yang punya lahan seperti kawasan hari ini,” pungkas Erick Thohir.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengatakan, alasan jutaan milenial tidak memiliki rumah faktor mayoritasnya karena pendapatan mereka tidak sebanding dengan harga perumahan. DP dan cicilan yang tinggi di tengah pendapatan yang tidak jauh dari UMR, membuat mereka memilih untuk tidak membeli rumah. Harga properti kian melambung karena biaya pembangunan rumah, dari jasa tukang hingga bahan material terus naik akibat inflasi. Ditambah kenaikan harga lahan dan overdemand (kelebihan permintaan) yang secara otomatis menaikkan harga rumah.
Sebaliknya, pendapatan rakyat, walaupun secara nominal bertambah, tetapi secara riil menurun tersebab inflasi. Kebijakan-kebijakan pun malah terlihat makin menekan upah demi menekan biaya produksi perusahaan. Padahal, pemerintah telah menyiapkan setidaknya lima skema subsidi KPR (Kredit Kepemilikan Rumah), yaitu Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Program Satu Juta Rumah, Program Kredit Kepemilikan Rumah Subsidi Selisih Bunga (KPR SSB), Program Subsidi Uang Muka, dan Program Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT).
Bahkan, bagi milenial yang cenderung pemilih, pemerintah telah menyediakan program Rent to Own (RtO), yaitu selama tiga tahun sewa rumah. Jika cocok dan ingin beli, tinggal mengajukan KPR di akhir sewa. Jika tidak cocok, tinggal lanjut sewa atau pindah ke tempat baru. Terlebih, pemerintah sudah memfasilitasi gen “mager” dengan SuperApp BTN Mobile sehingga bisa mencari rumah idaman sambil mencamil dan rebahan.
Akibatnya, banyak pengamat sangsi hunian jenis baru berkonsep ala milenial ini mampu memenuhi kebutuhan rakyat akan papan. Ini karena walaupun dikatakan murah, tetap saja harga tersebut tidak terjangkau. Selain itu, orientasi pembangunan perumahan bukan pada terpenuhinya kebutuhan asasi masyarakat, melainkan bisnis. Lihat saja suntikan dana bagi pengembang yang terus-terusan diberikan dengan alasan agar mereka bergairah untuk terus membangun perumahan bersubsidi.
Andai saja uang triliunan tersebut langsung diberikan pada rakyat untuk memenuhi kebutuhan papannya, tentu akan makin banyak persoalan masyarakat terselesaikan. Sayangnya, ekonomi kapitalisme neoliberal seolah mengharamkan kucuran dana langsung pada rakyat. Dengan alasan anggaran berbasis kinerja, pemerintah menyuntikan dana bukan pada rakyat, tetapi pada pengembang.
Jika sudah ditangan swasta, orientasinya bukan lagi terpenuhinya seluruh kebutuhan warga akan papannya, melainkan profit oriented. Kesenjangan akan makin tinggi sebab akses satu-satunya pada terpenuhinya kebutuhan hidup seseorang adalah dari uang. Oleh sebab itu, tidak heran jika ditemukan segelintir manusia memiliki rumah banyak, sedangkan jutaan manusia lainnya tidak memiliki rumah. Inilah dampak diterapkannya ekonomi neoliberal, menjadikan pemerintah dengan mudahnya berlepas tangan dalam memenuhi kebutuhan rumah bagi rakyatnya.
Tentu berbeda secara diametral dengan konsep negara Islam yang menjadikan rakyat sebagai fokus kerjanya. Artinya, seluruh kebijakan memang dibuat semata untuk kemaslahatan umat. Setidaknya ada tiga faktor yang membuat sistem Islam mampu dan terbukti menyejahterakan rakyatnya, termasuk memenuhi kebutuhan papannya.
Pertama, negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam memenuhi seluruh kebutuhan asasi umat, termasuk rumah.
Walhasil, negara akan mengoptimalkan seluruh kebijakan dan kinerjanya semata untuk terpenuhinya kebutuhan umat. Dalam memenuhi kebutuhan asasi rakyatnya, negara tidak boleh melimpahkannya kepada pihak swasta. Hal demikian akan menyebabkan kemudaratan bagi rakyat, mengingat jika diserahkan swasta distribusi, akan mengalir kepada yang memiliki uang saja. “Imam adalah pelayan dan ia bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya.” (HR Bukhari)
Rasulullah saw. mencontohkan pada kita saat awal mula hijrah dari Makkah ke Madinah. Rasulullah saw. sebagai kepala negara dibantu dengan para muawinnya, mengurusi tempat tinggal kaum muhajirin di Madinah. Rasulullah saw. langsung mengurusi kebutuhan pokok rakyatnya secara langsung sebab kaum muhajirin berhijrah tanpa membawa harta.
Kedua, prasyarat hunian harus layak (pantas dihuni oleh manusia), nyaman (memenuhi aspek kesehatan), syar’i (bangunannya harus mampu menutupi aurat perempuan), harga terjangkau (bisa skema subsidi, kredit tanpa bunga), bahkan tidak terlarang bagi negara memberikan rumah kepada fakir miskin yang memang tidak memiliki kemampuan dalam mengakses rumah.
Ketiga, sumber pembiayaan pembangunan perumahan diambil dari kas negara atau baitulmal dan pembiayaan ini bersifat mutlak. Artinya, jika kas negara kosong, sedangkan masih banyak rakyat yang tidak memiliki rumah, negara boleh menarik pajak dari orang kaya. Namun, sifatnya temporer, yaitu pungutan dihentikan setelah persoalan ini selesai. Negara tidak boleh mengambil pembiayaan ini dari utang luar negeri. Selain haram karena mengandung riba, hal demikian juga akan menyebabkan kemudaratan. Telah diketahui bersama bahwa utang luar negeri adalah alat penjajahan ekonomi negara makmur terhadap negara miskin.
Lagi pula, kondisi kas kosong sangat jarang terjadi sebab baitulmal memiliki sumber pemasukan yang melimpah dari pengelolaan SDA. Sistem pemerintahan Islam mengharamkan kepemilikan SDA melimpah oleh swasta apalagi asing. Negara pun hanya boleh mengelolanya dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik sahnya.
Oleh karenanya, sejatinya jutaan milenial tidak memiliki rumah adalah bukti kegagalan negara kapitalis dalam menyelesaikan urusan rakyatnya. Sistem ini menjadikan negara berlepas tangan dalam memenuhi kebutuhan asasi umat, termasuk kebutuhan papan. Berbeda dengan sistem Islam yang menempatkan rakyat sebagai fokus kerjanya, seluruh kebijakannya bermuara kepada kemaslahatan umat termasuk terpenuhinya kebutuhan papannya.