
JAKARTA – Belakangan, istilah upselling menjadi populer usai keluhan pembeli sebuah gerai donat viral di TikTok, yang kemudian diunggah ulang oleh akun komunitas di Twitter.
Si pembeli mengeluh lantaran harus merogoh kocek lebih dari dari pesanan awalnya.
Awalnya, ia berniat membeli 1 lusin donat, tetapi harus membayar lebih untuk paket 1 lusin ditambah 5 pastry. Ia mengira tawaran itu bonus karena tidak informasikan ada biaya tambahan oleh penjual.
Dari situ, muncul netizen lain yang mengaku korban praktik upselling yang tidak transparan. Tidak hanya terjadi di bisnis food and beverages, upselling kerap ditemukan di klinik atau salon kecantikan. Mereka merasa terjebak begitu ditari paket tertentu, tanpa informasi yang jelas. Sebenarnya, apa itu upselling?
Mengutip detikcom, upselling adalah strategi membujuk pelanggan agar membeli produk serupa dengan spesifikasi dan fitur yang lebih tinggi. Teknik upselling merupakan cara untuk mendorong pembelian apapun, sebagai pembelian tambahan kepada pelanggan menjadi lebih mahal dengan opsi peningkatan (upgrade) atau premium.
Chairman MarkPlus yang juga pakar marketing Hermawan Kartajaya mengatakan praktik upselling sebenarnya sah-sah saja dilakukan dalam dunia marketing.
Ia menekankan dalam upselling, penjual tidak boleh memaksa pembeli untuk membeli produk. Penjual harus menjelaskan dengan gamblang produk tambahan yang ditawarkan dalam upselling.
“Biasanya upselling itu tidak memaksa. Upselling itu sah saja, boleh saja. Tapi orang (konsumen) harus dikasih pertimbangan,” kata Hermawan.
Ia mengatakan jika penjual atau karyawan sebuah toko melakukan pemaksaan biasanya itu terjadi lantaran mengejar target penjualan. Namun, tetap saja pemaksaan tidak boleh dilakukan dalam upselling.
Hermawan mengatakan tidak ada aturan terkait praktek upselling dalam dunia pemasaran. Namun, ia menyebut upselling menjadi salah jika dilakukan dengan menipu konsumen.
“Upselling sah dilakukan jika baik dan benar, tapi konsumen jangan dibujuk dan harus diterangkan apa keuntungan upselling,” kata Hermawan.
Senada, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno mengatakan upselling merupakn salah satu strategi marketing dan tidak melanggar ketentuan. Namun, dalam proses upselling tidak boleh ada paksaan terhadap konsumen. Pelaku usaha wajib jujur dalam memberikan informasi terhadap produk yang ditawarkan.
“Permasalahan acapkali muncul karena misleading informasi atau informasi yang sengaja dibatasi untuk menjebak konsumen membeli produk mereka. Termasuk informasi dari konsekuensi harga,” kata Agus.
Agus mengatakan jika produk yang ditawarkan memang tidak sesuai kebutuhan, maka konsumen berhak menolak. Konsumen bisa mengatakan barang yang ditawarkan bukan merupakan kebutuhannya saat ini. “Konsumen juga berhak mendapatkan informasi secara detil tentang plus minus membeli produk tersebut termasuk informasi harga secara detil,” kata Agus. cnn/mb06