
Tanggal 21 Mei 2023, reformasi Indonesia telah berumur 25 tahun. Artinya, sudah seperempat abad kita keluar dari pemerintah otoriter Soeharto. Merasakan kebebasan merupakan cita-cita bersama saat itu. Banyak catatan prestasi yang diraih selama era reformasi. Akan tetapi, banyak juga masalah sosial dan politik yang terus kita hadapi.
Para ahli berpendapat bahwa demokrasi Indonesia tengah mengalami kemunduran. Salah satunya dari Australian National University Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, mereka berpendapat bahwa demokrasi Indonesia berada pada titik terendahnya selama kepemimpinan Presiden Jokowi.
Penyebab utamanya adalah melemahnya kebebasan berekspresi dan berpendapat. Kemudian, bertransformasi menjadi praktik intoleransi, dan paling krusial yaitu inkonsistensi dalam pemerintahan oleh para perilaku elit politik.
Thomas Power pengajar Universitas Sydney dalam buku Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi?. Ia membeberkan tiga masalah yang terpenting dari kemunduran demokrasi Indonesia.
Pertama, masalah lawfare, yaitu penyalahgunaan hukum dan lembaga penegak hukum oleh aktor politik untuk tujuan politik. maraknya politisasi hukum yang melemahkan perlindungan hak asasi manusia, melemahkan kerja-kerja yang dilakukan para aktivis terutama yang berseberangan dengan pemerintah. Sebut saja kasus Haris Azhar, Veronica Koman, Dandhy Dwi Laksono, dan Ananda Badudu.
Kedua, keberpihakan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus yang melibatkan pemegang kekuasaan, terutama politisi partai politik. Seperti KPK yang bersikap sangat partisan, dimana terjadinya penurunan yang siginifikan dalam jumlah penanganan kasus yang melibatkan pejabat istana. Tidak ada satu pun orang yang berafiliasi pada pemerintah dan partai-partai politik pemerintah selama periode pertama pemerintahan Jokowi tersangkut kasus hukum di kepolisian dan kejaksaan.
Terakhir, manipulasi peraturan atau perubahan aturan-aturan hukum untuk mendorong terjadinya penggelembungan kekuasaan eksekutif. Misalnya dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (ormas). Perppu itu digunakan pemerintah untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia. Banyak akademisi menilai langkah pemerintah tidak bijak karena cacat prosedur yang mengeliminasi proses peradilan. Kemudian, hal yang sama juga dilakukan pemerintah terhadap Front Pembela Islam (FPI), pemerintah membubarkan FPI dengan alasan anggota organisasi tersebut terlibat kasus tindak pidana terorisme. Pembubaran FPI dilakukan secara sepihak tanpa adanya penetapan pengadilan, sehingga hal ini tidak bisa dikatakan sebagai suatu proses yang adil.
Pendapat Power didukung oleh The Economist Intelligence Unit, demokrasi Indonesia menempati posisi 48 dari 167 negara. Lembaga itu mencatat skor buruk pada isu-isu kebebasan sipil dan kultur politik. Indonesia termasuk dalam kategori sebagai tidak sempurna. Status ini artinya Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum yang relatif bebas dan adil, dan menghormati kebebasan sipil dasar, namun memiliki beberapa persoalan seperti pelanggaran kebebasan media serta persoalan tata kelola pemerintahan.
Penelitian juga dilakukan Indikator Politik Indonesia, bahwa mayoritas publik sepakat bahwa sekarang ini masyarakat makin takut menyampaikan pendapat (79, 6%), makin sulit berdemonstrasi, atau melakukan protes (73, 8%), dan aparat dinilai semakin represif terhadap masyarakat berbeda pandangan politik dengan pemerintah.
Melemahnya demokrasi Indonesia juga menciptakan polarisasi yang semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, tingkat keberadaban dalam pertukaran wacana kualitasnya juga ikut memburuk. Hal tersebut sering dibahas oleh media populer dan juga para pengamat politik.
Perspektif Sosiologi
Salah satu nasehat yang selalu relevan setiap zaman “Belajarlah dari kesalahan masa lalu, agar tidak terulang kembali di masa yang akan datang”. Pemilu 2024 sebentar lagi akan dimulai, untuk itu perlunya memperbaiki segala infrastruktur demokrasi. Agar masyarakat bisa bebas, dan nyaman dalam merayakan pesta demokrasi tahun 2024.
Menurut Anthony Giddens, salah satu acara untuk mencapai hal tersebut dengan melakukan gerakan sosial. Giddens menjelaskan bahwa gerakan sosial sebagai suatu upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama, atau mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif di luar lingkup lembaga yang mapan. Gerakan sosial seringkali juga menjadi sebuah tonggak dan awal dari penuntutan pengakuan mengenai identitas. Umumnya gerakan sosial disatukan oleh sebuah kepentingan dan isu sosial seperti ideologi dan hak asasi manusia.
Dari penjelasan tersebut, penulis ingin mengajak untuk semua lapisan masyarakat melakukan gerakan sosial dalam mensukseskan pemiliham presiden 2024, cukuplah tahun 2019 manjadi pembelajaran bagi kita semua supaya tidak melakukan adegan-adegan politik yang amat jauh dari substansi warga negara yang ideal.
Tidak ada lagi diskursus-diskursus yang mengutamakan sentimen ketimbang argumen, atau saling menghujat antar kelompok, bahkan harus kehilangan nyawa kerena berbeda pilihan politik. Begitupun di dunia maya, tidak ada lagi perdebatan dengan menggunakan istilah yang tak semestinya dilontarkan, seperti cebong, kampret, kadrun, ataupun istilah buruk lainnya.
Hal yang mesti dilakukan sekarang dengan memberi teladan yang baik, khususnya elit politik yang akan bertarung dan juga kaum terdidik. Kedua kelompok itu mesti memberikan edukasi ke masyarakat banyak dalam berpolitik yang baik, karena mereka memiliki pengaruh kuat dalam membentuk opini masyarakat. Sudah saatnya mereka benar-benar menjalankan peran tersebut, dan tidak ikut melibatkan diri dalam narasi politik yang memecah belah masyarakat.
Ditengah momentum 25 tahun reformasi, dimana kebebasan merupakan cita-cita bersama. Maka, sudah selayaknya nilai-nilai demokrasi yang baik hidup di masyarakat. Keberhasilan menciptakan iklim demokrasi yang baik adalah kunci dari kemajuan bangsa Indonesia yang berkaitan dengan kebebasan sipil dan kultur politik. Semua itu sangat tergantung pada aktor-aktor demokrasi, mulai dari pemerintah hingga masyarakat sipil. Jika tidak, pemilu yang akan dilaksanakan pada tahun 2024 akan berada dalam kualitas yang amat buruk dan isinya tidak akan menyentuh pembahasan yang substantif.