
BANJARMASIN – Muhammad Anshor selaku penilai pengadaan lahan untuk Samsat Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), yang menjadi terdakwa atas dugaan turut serta dalam korupsi hingga dituntut lima tahun enam bulan penjara, merasa keberatan dengan tuntutan dan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).
Keberatan itu dipaparkan dalam nota pembelaan, yakni meminta majelis hakim pada Pengadilan Tipikor Banjarmasin yang menyidangkan perkara, membebaskan terdakwa dari dakwaan dan tuntutan JPU, Rabu (17/5).
Sabri Nor Herman SH MH selaku penasihat hukum terdakwa mengatakan, dalam perkara ini, kliennya hanya menjalankan tugas atau profesinya sebagai penilai (appraisal). “Klien saya ini ditugaskan pihak perusahaan untuk menilai lahan, dan tidak kenal dengan pemilik lahan apalagi menerima uang,” ucapnya.
Ia mengaku bingung mengapa dalam kasus ini malah pihak Samsat Amuntai yang mempunyai proyek serta anggaran tidak dijadikan tersangka.
“Anehnya lagi, pemilik lahan hanya dijadikan sebagai saksi, sementara uang sebesar Rp 100 juta disita pihak kejaksaan dari pemilik lahan. Itu uang apa,” ujarnya.
Sabri menambahkan, dalam kasus jual beli lahan untuk Samsat Amuntai, ternyata luasnya di bawah satu hektar.
“Dan berdasarkan peraturan, bahwa jual beli lahan yang luasnya di bawah satu hektar itu bisa langsung dilakukan jual beli tanpa harus ada penilai atau pembanding, dan anehnya lagi berdasarkan hasil penilai yang dilakukan klien saya itu harganya Rp 491.000 per meter, dan terjadinya pembelian Rp 480.000 per meter,” ungkapnya.
Berdasarkan fakta hukum yang ada di persidangan, Sabri berharap majelis hakim yang menyidangkan perkara bisa membebaskan kliennya dari dakwaan dan tuntutan JPU.
“Karena selain tidak menerima uang, klien saya hanyalah menjalankan tugas dan profesi. Kalau pun ada terjadi tindak pidana korupsi, mestinya dari pihak samsat selaku pengguna anggaran dan pemilik lahan,” katanya.
Sabri menyebutkan, berdasarkan informasi yang ia dapat dari group WhatApps terkait kasus ini, organisasi Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) akan melakukan aksi moratorium. “Karena selain tidak bersalah, ini juga berdampak bagi profesi mereka,” tambahnya.
Sebelumnya, Muhamad Anshor selaku penilai diseret ke persidangan Pengadilan Tipikor bersama Akhmad Yani selaku mantan kepala desa.
Oleh JPU Muhammad Fadly dari Kejari HSU, keduanya dituntut masing-masing lima tahun dan enam bulan penjara, serta denda masing-masing Rp 200 juta atau subsider enam bulan kurungan.
Kedua terdakwa juga diminta agar bersama-sama membayar uang pengganti sebesar Rp 465.120.000 juta, dengan ketentuan apabila tidak dapat membayar maka diganti hukuman tiga tahun penjara.
Diketahui, dalam kasus ini kerugian negara diperkirakan sebesar Rp 565.120 000. Karena adanya pengembalian sebesar Rp 100 juta dari pemilik lahan, maka kerugian negara dianggap sebesar Rp 465.120.000.
Kedua terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melawan hukum sebagaimana telah diatur, dan diancam pidana dalam dakwaan primair Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 UU RI No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU RI No 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. ris