
Sudah setahun lebih program merdeka belajar diluncurkan. Tentu, telah banyak warna yang diberikannya bagi dunia pendidikan tanah air. Program yang menjadi gebrakan baru dalam sistem pendidikan Nasional tersebut, saat ini, telah memasuki episode yang ke-24. Memang tidak terasa, perasaan baru kemarin Menteri Nadiem mengumumkan peluncurannya, sekarang sudah banyak episode yang diluncurkannya. Salah satu episode yang paling penulis rasakan pengaruhnya adalah episode ke-15, yakni, tentang kurikulum merdeka dan platform merdeka mengajar episode ini telah banyak mengubah paradigma guru tentang pembelajaran. Pembelajaran yang biasanya hanya memperhatikan kognitif siswa, sekarang berubah. Lebih lanjut, pembelajaran yang biasanya berpusat pada guru, juga berubah menjadi berpusat pada siswa, dan masih banyak perubahan lain yang dimunculkannya.
Kemudian, kehadiran platform merdeka mengajar juga menjadi sinyal adanya transisi pembelajaran berbasis digital. Sudah tidak zamannya lagi, guru tidak lagi memanfaatkan teknologi digital dalam pembelajarannya. Sebab, hampir sebagian besar, telah memanfaatkan teknologi canggih tersebut dalam menunaikan tanggungjawabnya sebagai pendidik sekaligus pengajar. Pembelajaran pun menjadi jauh lebih menarik, berbeda dengan sebelumnya, di mana guru hanya mengandalkan metode ceramah dalam menyampaikan materi pelajarannya. Wajar saja, jika dalam salah satu survey tentang pelaksanaan kurikulum merdeka di beberapa satuan pendidikan, menyatakan perasaan yang memuaskan dengan implementasi kurikulum tersebut.
Namun, dibalik kesuksesan program merdeka belajar . Isu disparitas pendidikan, hendaknya juga menjadi perhatian serius oleh pemerintah. Sebab sampai sekarang, perbedaan kualitas pendidikan di daerah pinggiran, pedesaan dengan daerah perkotaan sangat jauh terasa. Terlebih lagi dari fasilitas, kualitas dan kompetensi guru, dan pelbagai akses lainnya. Seperti yang terjadi di provinsi Sumatera Utara. Di mana ketika membaca berita sebuah harian di Sumatera Utara, dinyatakan, ada salah satu sekolah di provinsi tersebut yang sampai hari ini belum teraliri aliran listrik. Bahkan, menurut Kemendikbud Ristek di tahun 2020, ada sebanyak 8.522 sekolah belum teraliri listrik. Alih-alih mendapat akses internet, sekedar menghidupkan lampu pun sekolah tersebut tak bisa. Lantas, bagaimana mungkin canggihnya teknologi pendidikan yang disediakan dapat termanfaatkan merata. Jika sekedar aliran listrik saja mereka tak ada.
Padahal, sudah menjadi hak setiap warga negara mendapatkan pendidikan yang layak untuk pengembangan kapasitasnya. Sebagaimana tertuang dalam UUD Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945, yang berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Tetapi, kenyataannya berbeda, mereka yang tinggal di daerah 3T belum bisa mendapatkan pendidikan yang sama seperti mereka yang tinggal di pusat kota. Keterbatasan teknologi kerap membuat mereka tertinggal. Jangankan ingin menerapkan kurikulum merdeka, bisa belajar dengan nyaman saja sudah menjadi kenikmatan terbesar yang tak ada duanya. Sebegitu sedihnya nasib mereka, lantaran pemerataan pendidikan yang tak kesampaian. Itulah yang seharusnya menjadi pekerjaan rumah kita bersama, demi mewujudkan pemerataan pendidikan di Indonesia.
Program merdeka belajar yang diluncurkan oleh pemerintah ternyata masih dalam bayang-bayang disparitas pendidikan. Untuk itu, Dalam upaya mewujudkan pemerataan pendidikan di Indonesia, pemerintah hendaknya bekerjasama dengan perguruan tinggi dalam menghasilkan lulusan yang bersedia menjadi guru relawan di pelbagai daerah perbatasan Indonesia. Mereka nantinya yang akan menjadi “lilin” di tengah gelap gulitanya akses pendidikan di sana. Sehingga, mesti fasilitas terbatas, siswa di sana dapat belajar dengan puas.
Selain itu, pemerintah dan masyarakat hendaknya juga bekerjasama dengan lembaga penyedia layanan akses internet. Yang Bisa jadi Lembaga penyedia memang tengah menjalankan program pemasangan beberapa titik, agar akses internet dapan selalu terjangkau. Terakhir, alokasi sebaran guru juga mesti diperhatikan, jangan sampai guru-guru yang berkompeten menumpuk di daerah perkotaan saja, sementara di daerah terpencil hanya sisanya saja. Oleh karena itu diperlukan kesungguhan pemerintah dan seluruh stakeholder pendidikan dalam mewujudkan pelbagai rekomendasi tersebut.