Oleh: Nor Aniyah, S.Pd (Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi.)
Terpidana mati kasus peredaran narkoba MU mendapat grasi dari pemerintah pusat. Sebelumnya MU dijatuhi hukuman mati, namun dengan grasi yang didapat melalui Keputusan Presiden (Kepres) No 1/G Tahun 2023. Hukuman tersebut berubah menjadi hukuman seumur hidup (cnnindonesia.com).
Menurut Institut for Criminal Justice Reform (ICJR) keputusan pemerintah ini menandakan ada langkah untuk memperbaharui politik hukum pidana mati yang juga selaras dengan KUHP Baru serta komitmen Universal Periodic Review (UPR). Namun, bagi LBH masyarakat menyampaikan grasi kepada client-nya justru dianggap setengah hati. Sebab grasi ini telah diajukan sejak 2016. Tak hanya itu, Keppres yang dikeluarkan melebihi jangka waktu sehingga menimbulkan death row phenomenon (merdeka.com).
Jika diperhatikan sistem sekularisme demokrasi tidak memiliki batasan yang jelas dan begitu kabur. Contohnya, hukuman mati. Selain MU beberapa waktu lalu pengadilan negeri ini menetapkan hukuman mati kepada Eks Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri FS atas kasus yang menimpanya. Kejahatan yang dilakukan tentu sangat luar biasa dan harus diberi sanksi seberat-beratnya.
Menurut hukum sekularisme demokrasi sanksi pidana tertinggi adalah hukuman mati. Namun di sisi lain hukuman mati dianggap melanggar HAM, karena dunia internasional menolak sanksi ini. Inilah batasan yang tidak jelas dan kabur itu. Hal ini adalah sebuah keniscayaan, sebab sekularisme demokrasi adalah sistem yang memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan manusia berdaulat atas hukum. Padahal, akan manusia itu terbatas. Sehingga ketika membuat hukum tidak akan mampu memberikan keadilan.
Situasi seperti ini akan terus berlangsung selama sistem yang melingkupi tak berubah. Bagaimana mungkin orang-orang akan baik, jika sistemnya jelek. Yang terjadi justru orang baik bisa menjadi buruk karena dipaksa sistem yang buruk. Oleh karena itu, jalan terbaik atas semua itu adalah kembali kepada Islam, sebuah sistem yang memiliki solusi lengkap atas perbuatan manusia. Sistem yang memihak semua manusia, sistem yang adil karena datang dari Yang Maha Adil.
Faktanya manusia pernah hidup dalam sebuah sistem kehidupan yang menerapkan sistem sanksi secara adil, tegas, tidak tebang pilih. Sehingga manusia hidup penuh dengan kebaikan. Masa ini terjadi pada masa peradaban Islam di bawah naungan Khilafah Islamiyah. Khilafah adalah sistem pemerintah warisan Rasulullah Saw. Semua aturan dalam sistem ini berasal dari hukum syariat termasuk sistem sanksinya.
Dalam Islam, sanksi (uqubat) akan diberikan kepada yang melakukan kejahatan atau kriminal. Seorang ulama Syekh Muhammad Ismail dalam kitab Bunga Rampai Islam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tindak kriminal adalah perbuatan yang tercela menurut hukum syara’. Artinya, pelaku telah melanggar hukum syariat (bermaksiat). Karena kemaksiatan tersebut maka wajar pelaku mendapat sanksi atas perbuatannya.
Allah Ta’ala telah menetapkan hukum-hukum uqubat, yakni hukum pidana, sanksi, dan pelanggaran. Dalam peraturan Islam sebagai pencegah (zawajir) dan sebagai penebus (jawabir). Sebagai pencegah karena berfungsi mencegah manusia dari tindakan kriminal, sebagai penebus karena berfungsi menebus dosa dari azab Allah pada hari Kiamat.
Diriwayatkan dari Imam Bukhari dari Abu Ubadah bin Ash-Shamit, mengatakan “Rasulullah Saw telah bersabda kepada kami di sebuah majelis, ‘Kalian berbaiat kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak membuat-buat dusta yang kalian ada-adakan sendiri, dan tidak bermaksiat dalam kebaikan. Siapa saja menepatinya, maka Allah akan menyediakan pahala, dan siapa saja yang melanggarnya kemudian dihukum di dunia, maka hukuman itu akan menjadi penebus baginya. Dan bagi siapa saja yang melanggarnya kemudian Allah menutupinya (tidak sempat dihukum di dunia), maka urusan itu diserahkan kepada Allah. Jika Allah berkehendak, maka Dia akan menyiksanya, dan jika Dia berkehendak, maka Allah akan memaafkannya.’ Lalu (Ubadah bin Ash-Shamit melanjutkan) “Kami pun membaiat Rasulullah Saw atas hal-hal tersebut.”
Dalil ini menunjukkan dengan jelas bahwa sanksi Islam pasti akan memberikan efek zawajir dan jawabir. Hanya saja, hal tersebut dapat diwujudkan ketika dilakukan oleh seorang Imam (Khalifah)/ walinya atau hakim. Syekh Abdurrahman Al Maliki dalam kitabnya “Sistem Sanksi dalam Islam” merincikan jenis-jenis sanksi dalam Islam terbagi menjadi empat.
Pertama hudud, yakni pelanggaran hukum pidana yang jenis pelanggaran dan sanksinya telah ditetapkan syara’ (had). Seperti mencuri, hadnya adalah potong tangan, pezina hadnya adalah didera atau dirajam, menuduh zina (qadzaf) hadnya didera, hirababah (perampokan) hadnya dibunuh dan disalib jika selain merampok sekaligus membunuh pemilik harta, dan seterusnya.
Kedua jinayat, yakni pencederaan terhadap jiwa hingga hilangnya nyawa. Maka sanksinya adalah hukuman qishas dan diyat terkait pencederaan badan hingga timbulnya kematian.
Ketiga ta’zir, yakni kewajiban atau keharaman tertentu yang dilanggar sementara nas syara’ tidak menentukan jenis sanksinya. Seperti kasus orang yang tidak shalat, tidak puasa, tidak membayar zakat, menyebarkan berita hoaks, korupsi, mengumbar aurat, dan sejenisnya. Maka dalam hal ini hukuman akan diserahkan kepada ijtihad hakim atau Khalifah.
Keempat mukholafah, yakni adopsi hukum dan perundangan Khalifah, yang mewajibkan atau mengharamkan rakyat melakukan perbuatan tertentu. Sekaligus menentukan sanksi tertentu bagi setiap warga negara yang melanggarnya.
Penerapan sistem sanksi dalam Islam pun mudah dan tidak berbelit-belit. Contohnya adalah Khalifah mengadopsi Qanun (UU) yang menetapkan seluruh harta milik umum Al Milkiyatul Ammah seperti tambang, haram dimiliki dan dikelola swasta, baik pribadi, korporasi, swasta dalam negeri maupun asing. Sehingga siapapun yang melanggarnya akan mendapatkan sanksi negara.
Maka, jika di dalam Khilafah siapa pun yang terbukti melanggar hukum syariat akan dikategorikan berdasarkan empat hukuman tersebut. Semisal kasus FS, jika terbukti melakukan pembunuhan berencana maka akan diberi sanksi qishas. Sementara MU jika terbukti membawa barang haram narkotika akan diberi sanksi ta’zir. Demikianlah hukum sanksi Islam yang praktis, tidak berbelit-belit, menimbulkan efek jera di dunia akhirat, penebus dosa bagi pelaku. Sebuah konsep hukum yang tiada bandingannya dengan hukum sanksi manapun.[]