
“Pancasila adalah serangkaian prinsip-prinsip yang bersifat lestari. Ia memuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan. Saya akan mempertahankan Pancasila yang murni dengan jiwa-raga saya, terlepas dari kenyataan bahwa ia tidak jarang dikebiri atau dimanipulasi, baik oleh segelintir tentara maupun sekelompok umat Islam” -Abdurrahman Wahid, 24 Juni 1992- (Douglas E. Ramage, Ph. D, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, 1997)
Jika mengkaji pemikiran Gus Dur, tentu melibatkan narasi panjang yang ditulis sebagai konsentrasi untuk dideskripsikan secara praktis selama berpuluh tahun. Demikian memberikan kesan bahwa Gus Dur adalah karya panjang yang tidak akan pernah habis dibaca. Terlebih momentum puasa kali ini, selain mengisi energi rohani dengan ritual ibadah dan sunnah yang lain, tak kalah penting juga tadarus literasi dengan upaya memahami pemikiran nasionalisme KH. Abdurrahman Wahid.
Pendapat, gagasan, dan perbuatan Gus Dur tentang relevansi makna Pancasila dan Islam di Indonesia. Pertama, harus dipahami bahwa Gus Dur telah mempelajari secara mendalam gagasan-gagasan filosofis Pancasila. Ia telah menghubungkan Pancasila sebagai pandangan hidup bernegara yang tidak hanya diambil dari kelahiran Pancasila sendiri tetapi juga dari sudut pandang tokoh-tokoh sejarah Islam sebelumnya (Abidin, Perspektif NU tentang Demokrasi, 2018).
Pancasila di Mata Gus Dur
Upaya besar Gus Dur dalam memperjuangkan Pancasila dan mengawalnya sebagai ideologi bangsa yang sudah sesuai dengan intisari beragama adalah ketika menjabat sebagai Nahkoda Indonesia. Huru hara banyaknya penafsiran tentang bagaimana hubungan negara dan agama (Pancasila dan Islam), Gus Dur menerbitkan Kepres No. 6 Tahun 2000 dan mencabut Inpres No. 14 tahun 1967 yang di dalamnya mengkaji tentang agama, kepercayaan, serta adat istiadat kalangan Cina.
KH. Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa Pancasila harus diperhitungkan dalam membuat pilihan, ini untuk mengakui hak-hak sipil Khonghucu, termasuk kesetaraan hak bagi mereka untuk merayakan Tahun Baru Imlek dan melakukan ibadah agama sesuai keinginan. Meski harus berseberangan dengan pemerintahan sebelumnya dan satu atau dua kelompok Islam yang cenderung menganut kontrol mayoritas, Gus Dur jelas memandang dirinya sebagai sosok Muslim, menerapkan cita-cita negara yang menjamin kebebasan beragama itu perlu. Tidak sedikit beberapa pihak yang kontra pada keputusan Gus Dur. Kebebasan dalam memeluk agama juga terdapat dalam Al-Qur’an. (Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru)
Tiga Pilar Penting Pancasila
Penerimaan Pancasila oleh NU tidak bisa dianggap enteng; sebaliknya, demikian telah dilakukan setelah melalui berbagai pertimbangan. Pertama, Gus Dur mengenalkan konsep fitrah, bahwa hal ini begitu penting dalam Islam. Pada dasarnya, fitrah melekat dalam diri manusia dalam rangka menuju Tuhannya. Pada akhirnya manusia berupaya mencari jalan dengan menyerahkan kepada Tuhan (Allah). Kedua, konsep ketuhanan. Gus Dur dan NU berpandangan bahwa rumusan dalam sila pertama “Maha Esa” dalam UUD 1945 Pasal. 29 ayat (1), telah menjiwai sila-sila yang lain, dan bahkan mencerinkan tauhid dalam perspektif Islam. “Negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa”,.
Ketiga, Gus Dur menekankan pemahaman sejarah. Artinya sejarah tidak boleh dininabobokkan dan harus dipahami setiap generasi. Penerimaan atas Pancasila juga diperkuat dari deklarasi pada Muktamar NU yang mana dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan dan menentang penjajahan di Indonesia tidak lepas pula dari peranan umat Islam. Dari adanya upaya penguatan intisari Pancasila yang pada dasarnya memiliki hubungan dengan Islam yang diupayakan NU menunjukkan bahwa keduanya memiliki kekuatan simbiosis-substansi.
Gus Dur berkeinginan untuk menghapus dominasi agama, bahkan kekuasaan yang anti agama dalam negara Indonesia. Pancasila merupakan wadah agung yang menjadi tempat dalam menampung aspirasi semua golongan. Oleh karenaya, Ia berpandangan bahwa negara berasaskan Pancasila merupakan posisi tengah dan dipandang cocok dengan keadaan masyarakat Indonesia yang plural. Dibandingkan sistem negara yang komunis atau pula sekuler yang dikenalkan oleh Barat dan Global sangat tidak cocok dengan karakter bangsa Indonesia (Farid, dkk, Membaca dan Menggagas NU ke Depan, 2015).
Indonesia di Masa Depan
Pancasila menurut Gus Dur ketika didialogkan dengan Islam melahirkan fungsi besar yang perlu untuk dipahami bersama: Pertama, Pancasila merupakan sebuah konsep penengah yang sifatnya adil, di dalamnya tidak boleh ada konsensi yang mendominasi kelompok tertentu, bahkan agama sekalipun. Gus Dur berpandangan jika demikian diterapkan sebagaimana mestinya, maka Pancasila akan menciptakan para aktor kebangsaan Kedua, Karena Pancasila di dalamnya tidak boleh ada deskriminasi atau dikuasai kelompok tertentu, maka demikian menjadi sebuah kesempatan berdialog bagi siapa saja di ruang masing-masing. Gus Dur menerapkan hal ini dalam lingkungan kecilnya dengan mengaplikasikan Al-Muhafadah ala Qadimi al-Shalih wa al-Akhdu bi al-Jadid al-Ashlah baik dalam Nahdlatul Ulama maupun pesantren.
Sebagai identitas kebangsaan yang tidak bersinggungan dengan nilai agama, Pancasila menjadi dasar bagi generasi Indonesia di masa mendatang dalam menjawba tantangan zaman, terlebih terhindar dari upaya penggeseran / penghancuran sistem negara. Maka dari itu, pemahaman akan pancasila harus terus digencarkan sedari dini kepada generasi bangsa supaya tidak mudah dicuci otak untuk benci terhadap negara, justru sebaliknya yaitu memiliki sikap nasionalisme yang kuat.
Oleh karenanya, penting kiranya mengulik kembali secara mendalam pemaknaan Pancasila dalam kacamata Gus Dur sebagai bapak bangsa dan semua agama. Gus Dur menjadi role model bagi umat beragama di Indonesia. Oleh karenanya, mari kita tanamkan prinsip kebangsaan kita dengan memahami hakikat inti Pancasila yang hingga saat ini tetap menjadi lambang negara yang pada dasarnya terdapat nilai-nilai beragama dan harapan besar di masa depan dapat diimplementasikan dengan sebaik-baiknya.