
Memperbincangkan masalah pendidikan adalah memperbincangkan masalah peradaban manusia. Kalau kita pelajari sejarah, terutama sejarah umat Islam, perjalanan maju mundurnya peradaban umat Islam dalam kurun waktu sekian abad itu bisa dilihat atau bisa dibaca melalui dimensi pendidikanya. Proses membangun peradaban dan pendidikan merupakan dua ranah setali dua mata uang yang tidak pernah tuntas sepanjang kehidupan manusia itu masih eksis.
Selama ini Islam diyakini oleh para pemeluknya sebagai agama yang mampu menjawab berbagai macam persoalan. Kematangan serta kesempurnaan ajarannya menjadikan umatnya unggul dari umat lainnya. Namun kenyataannya, fakta di lapangan umat Islam secara umum malah jauh tertinggal dari umat-umat yang lain. Konkretnya, umat Islam saat ini mengalami kemunduran dari berbagai aspek kehidupan begitu juga persoalan pendidikannya.
Setelah sedikit mengakui sejumlah kemunduran umat Islam dari berbagai sisinya, tentunya pada tahap selanjutnya nalar sehat setiap individu pastinya akan berusaha sekuat mungkin untuk menguak biang paling fundamental dari kemunduran yang dimaksudkan tersebut. Kemunduran yang dimaksudkan bila didekati secara lebih jujur akan berakar pada pendidikan Islam itu sendiri.
Salah satu penyebabnya tak lain karena dampak dari arus globalisasi sekarang ini, yang mana globalisasi telah mengubah segalanya. Globalisasi sebagaimana di definisikan Ray Kiely dan Phil Marfleet (1998) dalam Globalization and the Third Word adalah sebuah istilah yang digunakan untuk mendiskripsikan perubahan drastis dalam tubuh masyarakat global. Dengan pertumbuhan pesat teknologi komunikasi dan meningkatnya ketergantungan antar individu, golongan dan antar negara secara luas, globalisasi menawarkan kepada dunia satu keadaan dimana penduduk dunia dengan berbagai budaya kepentingan politik dan ekonomi dalam situasi tertentu dapat menjadi dekat satu sama lain.
Berangkat dari situlah, ketika semua manusia hidup di era globalisasi sekarang, pastinya mereka dituntut agar mampu menghadapi persaingan yang semakin kompetitif, baik di dalam maupun di luar negeri. Sebab globalisasi merupakan satu fase dimana warga dunia bebas memiliki, menikmati sekaligus bersaing dalam berbagai hal, mulai dari masalah ekonomi, teknologi informasi komunikasi sampai hal-hal budaya. Dari kesemuanya itu, yang pasti tantangan pendidikan Islam semakin kompleks.
Menyitir apa yang disampaikan Haidar Putra Daulay, bahwa tantangan globalisasi bagi pendidikan Islam yaitu masalah kualitas. Untuk itu perlu dibentuk manusia yang unggul, mengingat kualitas SDM sangat penting untuk menentukan kualitas sebuah pendidikan dan pastinya berujung maju tidaknya peradaban pada masa itu.
Selain tantangan kualitas, juga terdapat tantangan moral di era globalisasi ini, dimana di era globalisasi sekarang ini telah membawa banyak dampak negatif bagi generasi muda sekarang, alias sudah terpengaruh dengan pergaulan yang global. Hal-hal yang tidak semestinya dilakukan oleh generasi muda seperti minum miras, menggunakan narkoba, melakukan seks bebas sudah menjadi kebiasaan bagi mereka. Moral mereka bisa dikatakan seperti moral syaitan. Disebabkan karena mereka hanya mengikuti hawa nafsu belaka tanpa memikirkan akibatnya.
Reformulasi Pendidikan Islam
Maka daripada itu melihat “lepasnya” orientasi pendidikan Islam akibat arus globalisasi, tentunya menuntut pendidikan Islam harus menyesuaikan pasar/keadaam. Maka sangat tepat bila di era industrialisasi dalam sebuah bingkai globalisasi seperti ini, mengharuskan pendidikan Islam melakukan reformulasi di berbagai aspek seperti kognitif, afektif, dan psikomotorik. Aspek tersebut dalam pendidikan sangat urgen dan dibutuhkan untuk mensinergikan pendidikan Islam untuk mengisi era globalisasi sekarang ini.
Karena sesungguhnya globalisasi tidak pernah dapat dipisahkan dari umat Islam, begitu juga bagaimanapun proses globalisasi juga tak bisa dihindari oleh umat Islam, tetapi perlu diingat jika umat Islam menerima arus globalisasi secara utuh tanpa adanya filter yang kuat, sama artinya dengan mempertaruhkan masa depan pendidikan Islam yang suram.
Tetapi jika melaui redasain yang kontruktif, pendidikan Islam pasti mampu dan bisa memecahkan persoalan-persoalan kehidupan sosial dalam ruang globalisasi tersebut. Karena pendidikan Islam menjadi sebuah alternatif yang konkrit guna memberikan kontribusi bagi tatanan kehidupan manusia. Dengan demikian, pendidikan Islam tidak boleh mengalami stagnasi inovasi dan pastinya selalu memikirkan masa depan yang selalu berkembang.
Demikian pula, pendidikan Islam harus menjadi kekuatan (power) yang ampuh untuk menghadapi wacana kehidupan yang lebih krusial. Sebab, ketika globalisasi sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia, pesoalan-persoalan baru pasti akan selalu bermunculan dengan aneka bentuknya. Makanya tantangan semacam itu harus direspons secara apresiatif agar pendidikan Islam dalam hal ini tidak dikatakan sebagai out off date (ketinggalan zaman).
Oleh karena itu, refleksi dan perumusan persoalan pendidikan Islam harus bernafaskan kekinian (up to date). Dalam kacamata historis memang boleh melihat masa lalu sebagai pelajaran, tetapi jangan sampai lupa menaruh perhatian masa kini dan mendatang. Sebab animo publik terhadap pendidikan Islam, baik secara kelembagaan maupun pembelajaran materi, pendidikan Islam jangan pernah mengesampingkan hal-hal yang sesuai dengan kebutuhan zaman.
Begitu juga, sistem pendidikan Islam diharapkan tidak terjebak pada aspek rutinitas, alami dan salah kaprah. Sehingga dibutuhkan kerja ekstra keras dan cerdas dalam menyikapi pelbagai perubahan dan perkembangan yang selalu berkembang, serta besikap proaktif dan antisipatif dalam pengembanya.
Dalam ayat-ayat Al-Qur’an, selalu diingatkan agar senantiasa berlomba-lomba (kompetensi) dalam kebaikan (fastabiqul khairat), memperhatikan hal-hal apa yang hendak dilaksanakan untuk hari esok. Hal ini berarti agar setiap kegiatan manusia mesti memperhatikan masa depan, mempunyai pandangan yang progresif, dan hal itu dapat ditempuh, manakala dengan melakukan pengembangan atau pembenahan.
Mencermati hal diatas, kita pastinya perlu memandang pendidikan Islam saat ini secara holisitik. Dengan melihat pendidikan secara holistik pada akhirnya akan akan menjadi paradigma baru pendidikan Islam yang kontekstual dan adaptif terhadap perubahan zaman. Karena itu, pendidikan Islam harus selalu merekonstruksi secara terus menerus dan jangan sampai berhenti untuk mengerjakan sesuatu yang terbaik untuk masa depan.
Peran “Islam”
Di era globalisasi ini sudah pasti Islam mendorong supaya manusia bisa memfilter globalisasi, salah satunya dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bingkai globaliasasi yang sesungguhnya sangat diperlukan bagi kepentingan kelangsungan kehidupan manusia. Dengan begitu globalisasi dengan kemajuan teknologi tidak akan dianggap sebagai “momok” yang menakutkkan, sehingga harus dijauhi dan ditampik, melainkan harus dikenal, didekati, kemudian diantisipasi salah satunya dengan upaya teknologi itu sendiri.
Sebab globalisasi dengan kemajuan iptek yang semakin canggih biasannya lebih mengandalkan rasio, (akal dan kecerdasan otak) daripada nilai-nilai moral dan spiritual dan dalam realitasnya globalisasi justru lebih membawa dampak–dampak buruk, seperti manusia bisa mengalami proses dehumunasasi dan kemorosatan moral. Oleh karena itu, strategi pengelolaan sistem pendidikan Islam juga harus bertumpu pada antisipasi terhadap dampak yang ditimbulkan dari “globalisasi” baik itu yang positif maupun yang negatif.
Mengingat globalisasi juga tak lepas untuk mempersyaratkan sumber daya manusia yang berkualitas (Qualified Human Resourch), hal inilah yang tentu saja pendidikan Islam harus mampu melahirkan SDM yang handal, dengan tingkat penguasaan sains dan teknologi yang mumpuni, terutama dalam bidang teknologi komunikasi. Agar kedepan generasi-generasi yang mampu mengatasi dampak-dampak negatif yang ditimbulkan globalisasi, perlu diberikan pembekalan dasar moralitas yang tergali dari kearifan tradisi cultural dan nilai-nilai doktrinal Islam yang kuat dan kaffah.
Walhasil, Pendidikan Islam melaui sistemnya harus berorientasi kearah situ dan pastinya menaruh perhatian kepada “pertumbuhan pribadi seseorang” dengan dimiliknya sebuah “kecerdasan” yang terintegral antar IQ (Intelligence Quotients) tinggi disertai EQ (Emosional Quotients) dan SQ (Spritual Quotienst). Karena dengan dimilikinya ketiga kecerdasan tersebut, sangat memungkinkan seorang bisa bersaing dan hidup di era globalisasi ini , dimana era yang cendrung matrealistis pragmatis, sekuleristis. Yang pasti tanpa harus memerosotkan derajat dan martabatnya sebagai manusia dan disinilah upaya agama Islam jelas mengarah kesitu. Wallahua’lam Bishowab