Oleh: Junita Maulida (Aktivis KORIB Marabahan)
Ada hal menarik yang akhir-akhir ini menjadi pembahasan di Media massa maupun Sosial media Tiktok khususnya. Bima alias Bima Yudho Saputro pemilik akun TikTok @awbimaxreborn dituntut karena mengunggah video kritikan yang ditujukan pada Pemprov Lampung.
Pemuda asal Lampung Timur ini tengah menjalani Studinya di Australia. Di TikTok pribadinya ia kerap kali mengunggah video kritikan soal kampung halamannya yang dinilai tak ada kemajuan karena dugaan pemerintah yang bermasalah.
Di dalam isi kontennya Bima mengungkapkan rasa kecewanya. Mulai dari persoalan jalan yang rusak, proyek kota yang mangkrak, tata kelola birokrasi, pertanian hingga dalam sistem pendidikan.
Atas hal ini lah ia dilaporkan ke Polda Lampung terkait pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena dituduh menyebarkan hoaks.
Alhasil, para netizen Lampung yang mengetahui berita itu pun ikut membantu untuk membuktikan bahwa apa yang disampaikan oleh Bima tidaklah hanya cerita fiktif belaka. Hal ini pun ditunjukkan dengan video-video singkat penuturan kekecewaan tentang kondisi jalan di tempat mereka yang sudah semestinya diperbaiki.
Dari problem yang terjadi nyatanya. Di Sistem Kapitalisme-Sekular terkait Kebebasan berpendapat adalah hak bagi setiap orang menjadi sebuah wacana saja kala sudah terkait dengan kepentingan individual atau kelompok. Terkait kekuasaan bukan lagi jadi bentuk untuk perbaikan kondisi umat melainkan hanya sebagai bentuk menambah harta kekayaan serta eksistensi baqo atas pencapaian lebih yang tentunya untuk diakui kalangan banyak orang.
Kalau dalam Sistem yang diterapkan hari ini kritikan rakyat pada pemerintah dibatasi bahkan dianggap ancaman. Padahal sejatinya kritikan sebagai bentuk untuk menghadirkan perubahan kearah yang lebih baik. Namun, nyatanya ini tergantung apakah kritikan itu memberi keuntungan atau malah merugikan diri dari apa yang dikehendaki.
Dalam Islam sendiri terkait kritikan adalah sebuah kewajiban sebagai bentuk amar makruf nahi mungkar pada sesama muslim. Pahala yang besar pun Allah ta’ala hadirkan bagi siapapun yang mau melakukan. Terutama mengoreksi kebijakan penguasa yang zalim terhadap rakyatnya. Sebagaimana sabda Nabi saw., “Sebaik-baik jihad ialah berkata yang benar di hadapan penguasa yang zalim atau pemimpin yang zalim.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah). Dari aktivitas ini lah yang menjadikan umat Islam mendapatkan gelar umat terbaik.
Pada masa kegemilangannya Islam, Rakyat bebas menyampaikan kritikannya melalui Majelis Umat, yakni bagian dari struktur negara Khilafah yang mewadahi aspirasi rakyat serta tempat khalifah meminta nasihat dalam berbagai urusan. Kewenangan Majelis Umat terbatas pada mengoreksi kebijakan penguasa, mengontrol jalannya pemerintahan, dan memberi masukan pada penguasa serta pejabat negara.
Salah satu contoh keteladanan pada seorang pemimpin dalam menanggapi kritik atas kebijakannya. Tengoklah sikap Khalifah Umar yang lebih senang dikritik daripada dipuji. Beliau mengatakan, “Jika kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, luruskan aku walaupun dengan pedang.” Begitu pula dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang legawa menerima kritik dari putranya sendiri lantaran ingin beristirahat sejenak sementara masih banyak urusan rakyat menanti untuk diurus.
Tidakkah kita merindukan pemimpin yang seperti ini? Pemimpin yang amanah dan menerima kritikan dari umat sebagai bentuk muhasabah diri terhadap kebijakan yang ia terapkan berdampak pada rakyat yang dirinya pimpin dan tentunya sebagai penyelamat dari sikap zalim dan Munkar. Begitu juga dengan beratnya beban amanah yang harus ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. kelak di akhirat. Dan itu semua hanya terwujudkan dengan diterapkannya Islam Kaffah dalam Naungan Khilafah Islamiyyah.