Rabu, Juli 2, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Pariwisata, Ideologi, dan Peradaban Kita

by matabanua
3 Mei 2023
in Opini
0
D:\2023\Mei 2023\4 Mei 2023\8\8\eko sugiarto.jpg
Eko Sugiarto (Dosen Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo Yogyakarta)

­­­

Ada hal menarik dari tulisan Nur Atika Rizki berjudul “Simalakama Kebijakan Peningkatan Arus Wisatawan” (Mata Banua Edisi Rabu, 12 April 2023 halaman 8). Di bagian akhir tulisan tersebut ada pernyataan bahwa “Bidang pariwisata dengan kriteria dan ketentuan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dapat dikembangkan.”

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\2 Juli 2025\8\8\master opini.jpg

Transformasi Polri dan Filosofi Kaizen

1 Juli 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Polri dan Nilai Ekonomi Keamanan

1 Juli 2025
Load More

Sampai di sini, penulis bersepakat dengan pernyataan tersebut, meskipun mestinya juga ada pengecualian untuk beberapa daerah karena kita hidup di negara Pancasila, bukan negara dengan syariat Islam. Jika hanya bidang pariwisata dengan kriteria dan ketentuan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam yang dapat dikembangkan, bagaimana dengan daerah yang notabene didomonasi oleh saudara kita yang menganut keyakinan berbeda dan ingin mengembangkan pariwisata? Wisata kuliner berbahan dasar daging yang tidak boleh dikonsumsi dalam syariat Islam, misalnya, apakah tidak boleh dikembangkan di daerah tersebut? Padahal, itu tidak dilarang dikonsumsi dalam keyakinan mereka.

Pertanyaan lain yang kemudian muncul adalah ketika membaca kalimat berikutnya yang ditulis Nur Atika Rizki, yaitu “Meskipun bisa menjadi salah satu sumber devisa, tetapi dalam Islam tidak akan dijadikan sebagai sumber perekonomian negara. Pengaturan pendapatan perekonomian negara ada empat sumber, yaitu pertanian, perdagangan, industri, dan jasa. Keempat sumber inilah yang menjadi tulang punggung bagi negara dalam membiayai perekonomiannya.”

Pertanyaan yang muncul atas kalimat tersebut setidaknya ada dua. Pertama, apakah benar dalam Islam pariwisata tidak akan dijadikan sebagai sumber perekonomian negara? Kedua, tulang punggung bagi negara dalam membiayai perekonomian disebutkan ada empat, yaitu pertanian, perdagangan, industri, dan jasa (tentu di luar sumber lain yang disebutkan dalam kalimat berikutnya). Pertanyaannya kemudian adalah apakah pariwisata tidak termasuk ke dalam industri dan jasa? Bagaimana dengan paket wisata ziarah, termasuk haji dan umrah?

Pertanyaan kedua tidak akan dibahas dalam tulisan ini. Apakah pariwisata termasuk atau tidak termasuk ke dalam industri dan jasa, pembaca bisa pikir dan renungkan sendiri dengan pikiran jernih. Cari jawaban lewat mesin pencari di internet juga bisa. Nah, tulisan singkat ini akan fokus kepada pertanyaan pertama tentang apakah benar dalam Islam pariwisata tidak akan dijadikan sebagai sumber perekonomian negara?

Untuk menjawab pertanyaan pertama ini, mari kita cermati perkembangan di Arab Saudi. Selama ini pendapatan terbesar Arab Saudi berasal dari minyak bumi. Namun, saat ini mulai membuka peluang-peluang baru untuk meningkatkan pendapatan di luar dari eksploitasi minyak. Salah satu di antaranya adalah sektor pariwisata. Bukankah Arab Saudi telah menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai konstitusi negara dan mereka menjadikan pariwisata menjadi salah satu sumber devisa?

Terkait perkembangan sektor pariwisata di Arab Saudi, antara lain bisa kita baca dalam tulisan berjudul “Saudi Tingkatkan Sektor Pariwisata Selain Haji dan Umroh” (https://ihram.republika.co.id). Dalam tulisan yang dimuat tanggal 22 Juli 2021 tersebut antara lain dinyatakan bahwa ke depan sektor pariwisata di Arab Saudi akan ditingkatkan, bukan hanya dari wisata religi seperti haji dan umroh yang sudah berjalan. Hal ini diyakini sebagai bagian dari realisasi visi 2030 untuk mengembangkan ekonomi di luar pendapatan minyak. Arab Saudi juga berupaya meningkatkan pendapatan dari sektor pariwisata yang saat ini tiga persen dari total produk domestik bruto menjadi 10 persen pada tahun 2030.

Arab Saudi dengan keindahan, keunikan, serta keberagaman alam dan budaya yang relatif terbatas saja tertarik untuk mengembangkan pariwisata, mengapa kita dengan potensi keindahan, keunikan, dan keberagaman alam dan budaya yang jauh lebih tinggi justru “mengebiri” potensi tersebut? Soal kekhawatiran terhadap kemurniaan ideologi dan peradaban dari berbagai invasi budaya yang datang dari luar, tentu bisa diantisipasi.

Lembaga pemerintah, lembaga keagamaan, dan lembaga adat yang kita miliki di pusat dan di berbagai daerah tentu bisa duduk bersama untuk menyusun peraturan yang bersifat preventif guna merespons kekhawatiran ini dengan tetap mengedepankan unsur kebhinekaan yang kita miliki. Lagi pula, apakah yakin ideologi dan peradaban yang kita anut dan pegang saat ini tidak ada pengaruh dari luar?***

 

 

Tags: Dosen Sekolah Tinggi Pariwisata AmbarrukmoEko SugiartoIdeologipariwisataYogyakarta
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA