Oleh : Nura Insyirah, S. Sos.(Aktivis KORIB Batola)
Baru-baru ini seorang TikToker asal Lampung, Bima alias Bima Yudho Saputro, menjadi sorotan netizen sebab viralnya konten yang diunggah ke laman sosial medianya. Konten tersebut memuat kritikan terhadap kondisi sejumlah sektor di Lampung yang amat mengecewakan. Mulai dari rusaknya jalan, proyek Kota Baru Lampung yang mangkrak, sistem pendidikan yang tidak merata sehingga ketergantungan pada sektor pertanian saja. Bima menilai jika inilah alasan Lampung sekaligus kampung halamannya tidak mengalami kemajuan.
Sindiran akun TikTok @awbimaxreborn terhadap buruknya infrastruktur direspon pihak terkait dengan dalih kesulitan anggaran. Realitanya bahwa dalam Peraturan Gubernur Lampung No. 38/2022 Pasal 16 bagian (d), Pemprov Lampung hanya menganggarkan dana senilai Rp72,44 miliar untuk pemeliharaan jalan. Padahal di Pasal yang sama, dijelaskan bahwa anggaran belanja daerah tahun anggaran 2023 provinsi Lampung direncanakan sebesar Rp7,38 triliun. Artinya, Pemprov Lampung hanya mengalokasikan 0,98% anggaran belanja daerahnya untuk keperluan perbaikan jalan. Itu pun tidak sepenuhnya digunakan untuk pemeliharaan jalan saja, melainkan juga digunakan untuk pemeliharaan jaringan dan irigasi. (Detik, 16-4-2023)
Di sisi lain, Pemprov Lampung mengalokasikan sebagian besar anggaran belanjanya untuk keperluan operasional pegawai yang direncanakan senilai Rp2,14 triliun. Artinya, pada 2023, Pemprov Lampung mampu menganggarkan Rp2,14 triliun untuk gaji dan tunjangan PNS-DPRD atau setara 29,05% dari total belanja daerah mereka. Sedangkan dana untuk perbaikan jalan hanya dialokasikan sebanyak Rp72,44 miliar. Oleh karena itu, tidak pantas jika sulitnya anggaran sebagai pembenaran dari tidak adanya upaya perbaikan infrastruktur umum.
Penguasa Anti Kritik
Konten “Alasan Lampung Gak Maju Maju” semakin meluas di jejaring sosial berkat kemajuan teknologi di era digital sekarang. Akibat kritikan tersebut, pihak setempat nampak bergegas melakukan proyek perbaikan jalan yang rusak. Sebagai masyarakat tentu kejadian ini sangat menguntungkan.
Akan tetapi, sangat disayangkan sebab tindakan kritik ini lagi-lagi berujung pada pelaporan ke jalur hukum atas nama pelanggaran UU ITE. Bima dilaporkan oleh Advokat asal Lampung, Gindha Ansori Wayka, dengan dugaan penyebaran berita hoaks serta menghina Provinsi Lampung dengan penggunaan diksi ‘Dajjal’. (Republika, 15-4-2023). Begitu juga keluarga Bima di Lampung yang mendapatkan intervensi dari pihak kepolisian. Bima sendiri mengaku diancam sampai ia berniat meminta perlindungan Australia yang sekarang menjadi negeri tempat ia menempuh pendidikan.
Hal ini tentu membuat kita bertanya-tanya, bukankah kritik adalah bentuk kebebasan berekspresi yang selama ini dijamin dalam UUD 1945? Mengapa setelah adanya penerapan UU ITE yang disahkan sejak 2008 justru menyempitkan ruang gerak rakyat dalam mengkritik pemerintah?
Alih-alih memberi masukan kepada penguasa, sang pengkritik justru dihujani serangan verbal hingga personal. Mulai dari kecaman, intimidasi, bahkan penjoblosan ke penjara. Pada akhirnya, UU ITE menciptakan penguasa anti kritik yang sering kali membungkam mulut rakyat jika dianggap melakukan perlawanan.
Islam Memandang Positif Kritikan
Sejatinya kritik adalah tanda peduli dan sayangnya rakyat kepada negeri ini. Kritik juga menjadi sarana mengevaluasi diri terutama kepada para penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya. Semestinya penguasa mampu menerima kritik dari rakyat dengan hati yang besar agar mampu mengoreksi kesalahan atau muhasabah diri. Bahkan seharusnya penguasa haus muhasabah mengingat amanah yang diberikan untuk mengurusi umat begitu berat.
Muhasabah sesama muslim merupakan kewajiban sebagai bentuk aktivitas amar makruf nahi mungkar. Aktivitas amar makruf nahi mungkar yang paling utama adalah mengoreksi atau mengkritik kebijakan penguasa yang zalim pada rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW., “Sebaik-baik jihad ialah berkata yang benar di hadapan penguasa yang zalim atau pemimpin yang zalim.” (HR. Abu Dawub, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Dalam kepemimpinan Islam, kritik sangat diperlukan apalagi sifatnya membangun. Belajarlah dari kisah Khalifah Umar bin Khattab yang dikritik seorang perempuan terkait kebijakannya dalam membatasi mahar. Umar menerima kritikan tersebut dan tidak pernah menganggapnya sebagai bentuk penghinaan atau perlawanan terhadap penguasa. Sebaliknya Khalifah Umar justru memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada rakyatmya yang lain agar bisa menyampaikan pendapat dan keluhannya lewat Majelis Umat sebagai pengoreksi kebijakan penguasa, mengontrol jalannya pemerintahan, dan memberi masukan pada penguasa serta pejabat negara.
Oleh karena itu, Islam memandang kritik terhadap penguasa sebagai sesuatu yang istimewa sebab termasuk sebaik-baiknya jihad. Maka, tidak seharusnya kritik dibatasi maupun dikriminalisasi. Sungguh kezaliman besar jika penguasa enggan menerima muhasabah dari rakyatnya seperti yang terjadi di masa sekarang. Hal ini yang membuat umat merindukan sosok pemimpin yang adil serta berpikiran jernih untuk menerima segala macam kritik yang membangun. Tentu saja pemimpin ini tidak akan lahir dari sistem yang menjadi sumber anti kritik tersebut. Oleh karena itu, umat hanya perlu penerapan sistem Islam yang bersumber dari Rabb Yang Maha Adil untuk melahirkan penguasa yang adil layaknya sosok Khalifah Umar bin Khattab r.a..