Oleh: Nor Aniyah, S.Pd (Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi.)
Tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, yang terjadi di wilayah Kalimantan Selatan (Kalsel), angkanya mengalami kenaikan yang signifikan. Hal ini berdasarkan data yang disampaikan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Kalsel. Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Provinsi Kalsel, mengatakan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat hampir 50 persen.
Ia mengatakan Indonesia sebagai negara nomor 4 terbesar di dunia, dari 270,2 juta populasi 49,5 persen itu perempuan dan 30,1 persen anak-anak. Oleh karena itu pihaknya minta SKPD konsen terhadap permasalahan-permasalahan perempuan dan anak. Adapun jumlah kasus kekerasan pada perempuan dan anak di 13 kabupaten dan kota di Kalsel tahun 2019 sebanyak 285 kasus, tahun 2020 sebanyak 297 kasus, tahun 2021 sebanyak 448 kasus dan tahun 2022 sebanyak 668 kasus (baritopost.co.id).
Kasus kekerasan perempuan dan anak di negeri ini seperti tidak pernah ada hentinya, makin ke sini malah makin meningkat kasusnya. Ada saja perempuan dan anak di berbagai daerah dan tempat yang menjadi korban kekerasan. Baik dilakukan orang terdekat, seperti keluarga ataupun orang lain.
Maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ini menunjukkan adanya kegagalan sistematis dari sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan negeri ini dalam melindungi perempuan dan anak. Persoalan ini jelas membutuhkan solusi tuntas yang menyentuh akar persoalan. Apalagi faktanya regulasi yang ada tak bergigi. Hal ini wajar terjadi dalam kehidupan sekuler kapitalistik. Yang memandang perempuan sebagai objek komoditas. Sistem ini menciptakan relasi yang salah antara laki-laki dan perempuan sebagai cerminan sistem kehidupan yang berlaku di masyarakat saat ini.
Sekularisme kapitalisme menjanjikan kebebasan perilaku, termasuk relasi antara laki-laki dan perempuan. Pandangan bahwa laki-laki lebih kuat dan berkuasa telah memicu munculnya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Konsep berperilaku bebas ini makin parah dengan adanya konsep HAM dalam pandangan mereka. Selain itu, tidak adanya keyakinan akan kehidupan akhirat membuat mereka bebas memenuhi apa yang diinginkannya, tanpa peduli pahala atau maksiat, halal atau haram. Perempuan dan anak pun terus menjadi korban kekerasan.
Realitas hidup di alam sekularisme tidak mampu melindungi kehormatan perempuan dan anak. Maka, menggantungkan harapan dan berlindung di bawah ideologi kapitalisme sekularisme terbukti merusak masyarakat. Ideologi tanpa visi akhirat ini akan kian menjauhkan manusia dari fitrahnya sebagai manusia, dan malah menjerumuskan manusia laksana hewan yang hidup tanpa aturan serta semaunya sendiri.
Solusi tuntas persoalan ini bukan hanya dengan kampanye dan peringatan, namun tetap membiarkan tetap tegaknya sistem kehidupan sekuler kapitalistik. Solusi kekerasan terhadap perempuan dan anak hanya dapat diwujudkan dengan mengubah cara pandang yang salah terhadap kehidupan. Walhasil bagi orang-orang beriman dan mau berpikir, mencampakkan kapitalisme adalah jawaban. Sebagai pilihan penggantinya adalah Islam.
Cara pandang yang shahih adalah cara pandang berdasarkan Islam, yang menjadikan akidah Islam sebagai asas. Cara pandang ini memastikan syariat Islam sebagai satu-satunya yang diterapkan negara. Dalam pandangan Islam, penguasa haruslah menjadi negara ri’ayah (negara pengayom). “Sesungguhnya seorang pemimpin itu adalah perisai, orang-orang berperang di belakang dia dan berlindung kepada dia.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Islam memandang kedudukan perempuan dan anak itu mulia dan kehormatan yang harus dijaga. Oleh karena itu, dalam sistem Islam pencegahan kekerasan dilakukan secara simultan. Pondasi mendasar yang dibangun oleh negara dalam menerapkan semua sistem termasuk dalam institusi terkecil, yakni keluarga adalah pembentukan keimanan yang kuat dan keterikatan dengan hukum syariat.
Pilar ketakwaan individual ini menjadi penopang selain kontrol masyarakat dan kewenangan negara. Karena itu, untuk mencegah kekerasan yang menimpa perempuan, sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam menjadi sarana pembentukan kepribadian Islam. Dengan itu, seorang laki-laki tidak akan menyalahgunakan posisi qawwam yang diberikan syariah untuk dirinya. Perempuan pun pandai menempatkan posisinya sebagai pihak yang harus selalu mendapatkan izin suami atau walinya.
Mereka juga memahami hak dan kewajiban masing-masing sesuai syariat yang mengatur kehidupan privat dan domestik, tanpa menganggap itu sebagai beban. Sistem tersebut berpadu dengan sistem sosial kemasyarakatan yang mencegah interaksi di antara anggota masyarakat yang bakal menimbulkan masalah.
Islam sudah menyiapkan seperangkat aturan yang mengatur relasi hubungan laki-laki dan perempuan baik di kehidupan umum maupun dikehidupan khusus baik laki-laki dan perempuan dalam status yang sama sebagai manusia maupun laki-laki dan perempuan dalam sesuai dengan karakteristik sesuai jenisnya. Ada tata aturan di dalamnya mengenai hubungan tersebut. Maka penyelesaiannya pun bersifat sistemik.
Islam menetapkan bahwa kehidupan dan perempuan di tempat umum seperti sekolah hingga layanan publik terpisah. Hal ini menjadikan perempuan terlindungi. Mereka pun tercegah dari jenis pekerjaan yang menonjolkan aspek feminitas. Demikian pula dalam aspek media dan informasi. Aspek ini memiliki fungsi strategis untuk membangun masyarakat Islam yang kokoh. Karena itulah, dalam Khilafah tidak akan dijumpai informasi atau media massa yang merusak iman dan akhlak masyarakat. Hal ini menjadi jaminan perempuan dan anak dari eksplotasi media sebagaimana yang dilakukan masyarakat kapitalis saat ini.
Sistem sanksi sesuai syariah juga ditegakkan sebagai zawajir (pencegah) agar kejahatan tidak merajalela, sekaligus sebagai jawabir atau penebus dosa. Ketakwaan aparatur negara menjamin kepastian penegakan hukum. Pasalnya posisi hukkam (penguasa), qadhi (hakim) ataupun polisi diadakan demi menjamin ketaatan pada Allah SWT, bukan demi mengamankan kedudukan penguasa atau pihak tertentu.
Demikianlah, berbagai perangkat komprehensif yang disediakan sistem Islam demi memenuhi hak perempuan dan anak. Tanpa meminta mereka akan mendapatkan hak-hak mereka secara otomatis karena Allah SWT telah menjamin pemenuhan hak-hak mereka, ketika syariah Islam dilaksanakan secara kaffah.[]