Oleh: Nur Atika Rizki, M.Pd (Praktisi Pendidikan)
Pariwisata di Bali dihebohkan dengan ulah ugal-ugalan turis asing. Permasalahan yang timbul akibat ulah para wisatawan ini tidak hanya berupa kerugian finansial, warga masyarakat juga terancam keamanan dan kenyamanannya. Gubernur Bali, Wayan Koster menyebutkan, mengenai kejahatan ekonomi yang dilakukan para WNA atau bekerja secara ilegal di Pulau Dewata. Visa mereka bukan untuk kerja tapi visa untuk wisata, itu tidak boleh melakukan aktivitas usaha di Provinsi Bali (www.cnnindonesia.com, 12/03/2023).
Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Silmy Karim menyatakan, jajarannya akan menggelar operasi menindak pelanggaran keimigrasian wisatawan asing di Bali. Diketahui, tidak sedikit turis asing di Bali berbuat ulah, mulai dari bekerja sebagai fotografer dan menjual sayur hingga melakukan perbuatan kriminal (www.kompas.com, 06/03/2023)
Menurut seorang pemandu wisata Bali, I Wayan Willyana, pariwisata seperi pisau bermata dua. Para WNA yang awalnya datang untuk berlibur, tapi berakhir untuk bekerja bukan praktik yang baru. Kasus seperti ini menjadi masalah yang tak kunjung selesai. Wayan mendesak Pemerintah Daerah Bali untuk menyelesaikan masalah seperti ini karena tak mungkin diselesaikan sendiri oleh masyarakat. Selama ini, Wayan menilai, pemerintah hanya berfokus pada kuantitas para turis WNA tanpa memikirkan kualitasnya (www.tirto.id, 06/03/2023).
Pembukaan wisata paska pandemi terbukti membawa berbagai hal yang harus dipikirkan solusinya. Negara menginginkan devisa yanag tinggi dari sektor pariwisata, namun saat ini yang terjadi justru ketidaknyamanan masyarakat asli. Hal ini seharusnya menjadi perhatian penting negara, lebih-lebih demi kenyamanan penduduk asli. Dalam catatan Kompas.com, terdapat banyak catatan pelanggaran dan perbuatan pidana turis asing di Bali, mulai dari berkonflik hingga menggunakan pelat motor palsu.
Banyak negara memanfaatkan bidang pariwisata sebagai salah satu sumber pendapatan perekonomiannya, termasuk Indonesia. Potensi keindahan alam, baik yang alami maupun buatan, serta keragaman budaya menjadi daya tarik untuk dijual pada industi pariwisata. Namun di sisi lain pariwisata ini juga mempunyai dampak negatif kepada negara dan khususnya masyarakat setempat. Dampak itu terlihat dari beraninya mereka melanggar peraturan serta melalui invasi budaya di dalam negara, khususnya masyarakat yang hidup di sekitar obyek wisata. Hingga berujung pada konflik dan tindakan kriminal dan pergeseran budaya terutama pada generasi muda.
Pentingnya Pengaturan Pariwisata Secara Komprehensif
Peneliti senior hubungan internasional dari Strategic and International Studies (CSIS), Fitriani menilai turis yang bekerja ilegal di Bali bukan sekadar persoalan geopolitik tapi masalah perlunya penegakan hukum yang lebih kuat (www.kompas.com,11/03/2023). Tidak cukup hanya mengatur perizinan legal atau tidaknya melakukan usaha. Permasalahan pariwisata harus diatur secara menyeluruh, tidak dilihat hanya sebagai jalan untuk meningkatkan perekonomian semata. Namun harus mempertimbangkan segala aspek sosial budaya politik pertahanan dan keamanan negara dan rakyat. Apalagi dengan melibatkan investor asing yang dapat mengancam kedaulatan negara.
Keberadaan pariwisata juga seyogyanya dapat meningkatkan kesadaran bagi manusia untuk mensyukuri anugerah keindahan alam dan kekayaan budaya dengan semakin membawa mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Kebebasan yang diberikan kepada turis asing membawa budayanya bahkan difasilitasi yang akhirnya mencederai keamanan, kenyamanan dan keimanan rakyat.
Ketika melihat dan menikmati keindahan alam, misalnya, yang harus ditanamkan adalah kesadaran akan Kemahabesaran Allah, Dzat yang menciptakannya. Sedangkan ketika melihat peninggalan bersejarah dari peradaban Islam, yang harus ditanamkan adalah kehebatan Islam dan umatnya yang mampu menghasilkan produk madaniah yang luar biasa. Obyek-obyek ini bisa digunakan untuk mempertebal keyakinan wisatawan yang melihat dan mengunjunginya akan keagungan Islam.
Dunia pariwisata saat ini dikembangkan sebagai salah satu sumber pendapatan negara, maka apapun akan dilakukan demi kepentingan ekonomi dan bisnis. Bahkan untuk itu, harus mentolelir berbagai praktik kemaksiatan. Pengelolaan pariwisata dalam sistem kapitalis begitu karena sejatinya memilliki pandangan pemisahan agama dari kehidupan. Meraih keuntungan materi sebanyak-banyaknya adalah menjadi tujuan.
Bidang pariwisata dengan kriteria dan ketentuan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dapat dikembangkan. Meskipun bisa menjadi salah satu sumber devisa, tetapi dalam Islam tidak akan dijadikan sebagai sumber perekonomian negara. Pengaturan pendapatan perekonomian negara ada empat sumber, yaitu pertanian, perdagangan, industri dan jasa. Keempat sumber inilah yang menjadi tulang punggung bagi Negara dalam membiayai perekonomianya. Selain itu, juga mempunyai sumber lain, baik melalui pintu zakat, jizyah, kharaj, fai’, ghanimah hingga dharibah. Dengan demikian, negara tidak akan khawatir akan kurangnya peminat wisatawan asing bahkan kemurniaan ideologi dan peradabannya terjaga dari berbagai invasi budaya yang datang dari luar.
Islam memiliki aturan yang jelas tentang pariwisata dan hal-hal yang terkait dengannya. Keamanan rakyat dan kenyamanan menjadi prioritas, sehingga negara akan tegas bertindak. Apalagi terkait dengan warga asing yang masuk wilayah negara.