Minggu, Mei 18, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Wujudkan Merdeka Berbudaya Lewat Bahasa Ibu

by matabanua
10 April 2023
in Opini
0
D:\2023\April 2023\8 April 2023\8\8\Hamidulloh Ibda.jpg
Hamidulloh Ibda (Dosen Bahasa Indonesia dan Wakil Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama Temanggung)

Penguatan program Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya sangat relevan di tengah kepunahan bahasa ibu dan kerusakan budaya. Sebab, selama ini masih sedikit masyarakat peduli terhadap bahasa ibu (bahasa lokal/bahasa daerah). Badan Bahasa (2021) menyebut 13 bahasa daerah di Indonesia punah. Rinciannya 11 bahasa di Maluku yaitu bahasa Piru (Kabupaten Seram Barat), Hukumina (Pulau Buru), Hoti (Seram Timur), Moksela (Kepulauan Sula), Ternateno (Kota Ternate), Kajeli/Kayeli, Palumata, Serua, Nila (Maluku Tengah), dan 2 bahasa ibu di Papua yaitu bahasa Mawas (Kabupaten Sarmi) dan Tandi (Kabupaten Teluk Mondama). Selain itu, 24 bahasa daerah terancam punah, 12 bahasa mengalami kemunduran, dan 5 bahasa kondisi kritis.

Jika tidak ada formula untuk mengerem potensi kepunahan, maka ratusan bahasa daerah sebagai kekayaan budaya Indonesia hanya tinggal nama. Indonesia dengan 718 bahasa daerah (Kemdikbud, 2022) wajib dilestarikan bahkan diriset karena jumlahnya pasti lebih dari yang tercatat tersebut. Gempuran globalisasi berdampak positif dan negatif pada eksistensi bahasa ibu. Bahasa sebagai elemen budaya rentan mengalami percampuran, pergeseran, kerusakan, dan akhirnya kepunahan. Dalam sosiolinguistik, sebuah bahasa dianggap punah ketika tidak dituturkan selama puluhan tahun (Rokhman, 2013). Masalahnya, mengapa 13 bahasa di Indonesia punah? Hal ini harus dicari solusinya karena indikator bangsa besar adalah yang kaya akan bahasanya.

Artikel Lainnya

D:\2025\Mei 2025\15 Mei 2025\8\8\master opini.jpg

Mirisnya Pendidikan di Indonesia, Bagaimana Sistem Islam Menjadi Solusinya?

15 Mei 2025
D:\2025\Mei 2025\15 Mei 2025\8\8\Luci Fitriyanti.jpg

MembangunMentalitasWirausaha Mahasiswa

15 Mei 2025
Load More

Kehancuran Bahasa dan Budaya

Thomas Lickona (1991) menyebut kerusakan bahasa merupakan salah satu indikator kehancuran suatu bangsa. Ketika bahasa ibu rusak maka rusaklah ibu pertiwi. Sebab, bahasa menjadi jati diri bangsa yang membedakan dengan bangsa lain. Selain kepunahan, kehancuran bahasa dapat dilihat pada ketidaksetiaan penutur milenial dengan melakukan praktik “perselingkuhan bahasa”. Sebut saja ketika mengekspresikan rasa cinta terhadap bangsanya sendiri mereka menggunakan bahasa orang lain seperti I Love Indonesia, We Love Indonesia, Happy birthday Indonesia, dan lainnya. Hal ini menandakan bahasa Indonesia bahkan bahasa ibu dianggap kurang keren dan kekinian. Apakah demikian? Tidak. Sebab, bahasa ibu identik dengan kesantunan berbahasa karena ia lahir dari local knowledge (pengetahuan lokal), local genius (kecerdasan lokal) dan local wisdom (kearifan lokal).

Gempuran hoaks, perundungan siber, dan ujaran kebencian di media sosial juga mengindikasikan bahasa dan budaya kita mulai luntur. Padahal, kebiasaan menggunakan bahasa kasar, perundungan, dan menyebar hoaks mencerminkan karakter pelajar yang tidak sesuai dengan cita-cita luhur pendiri bangsa. Ketika pelajar terbiasa bertutur kata kasar, dan melakukan perundungan, maka hal itu akan menjadi kebiasaan. Dalam jangka panjang, kebiasaan itu menjadi kebudayaan, dan kebudayaan dalam waktu lama akan menjadi sebuah peradaban. Apakah peradaban di Indonesia adalah peradaban hoaks dan perundungan? Tentu tidak demikian.

Bahasa ibu menjadi kekayaan takbenda yang sangat mahal dan tak ternilai harganya bagi bangsa kita. Namun realitasnya, hari ini kita belum merdeka berbudaya karena masih banyak penjajahan bahasa dan budaya tanpa kita sadari melalui media sosial. Efek negatif dari media digital yang melahirkan echo chamber (ruang gema) mengakibatkan warganet bebas menyebar informasi, teks, berita, dan lainnya tanpa tabayun. Berita, suara, maupun video di dalamnya terdapat bahasa yang ditulis, divisualisaikan, dan disuarakan yang ketika isinya buruk maka akan melahirkan keburukan. Sebab, bahasa hanya alat bukan tujuan, ketika bahasa digunakan untuk mengancam, mengumpat, membenci, maka bahasa juga akan menjadi negatif, begitu sebaliknya.

Catatan Kominfo pada 2018-2022 menyebut 3.640 konten ujaran kebencian, dan 9.546 hoaks tersebar di Internet dan berbagai platform media sosial (Tempo.co, 7/2/2022). Artinya, di ruang maya masyarakat tidak selamanya menerima edukasi dan hiburan, namun juga hoaks, perundungan dan ujaran kebencian yang disebar melalui bahasa. Hal ini menjadi dasar bahwa bahasa harus dirawat dan dijaga utamanya bahasa ibu yang sarat akan kesantunan dan mengandung nilai-nilai, karakter, dan kearifan lokal bangsa Indonesia.

Merdeka Berbudaya Lewat Bahasa Ibu

Sebagai unsur budaya, bahasa menjadi peranti pokok dalam membangun karakter. Sebab, bahasa mengandung kekuatan magis dan mistis yang dapat dikembangkan untuk menumbuhkembangkan karakter pada pelajar (Zulaeha, 2013). Ketika bahasa ibu mulai ditinggalkan, bisa dipastikan pelajar akan kehilangan unggah-ungguh (sopan-santun). Dalam konteks Bahasa Jawa, misalnya, terdapat konsep Undha Usuking Basa yang mengajarkan kesantunan berbahasa kepada dirinya sendiri (penutur), lawan bicara (mitra tutur), apa yang dibicarakan, waktu, tempat, dan suasana ketika berbicara (Sundari, 2020). Konsep ini baru di dalam satu bahasa ibu yaitu Bahasa Jawa, belum lagi bahasa ibu lain di Indonesia yang melimpah seperti Sunda, Madura, Mandar, Awban, dan lainnya yang pasti mengandung nilai dan karakter.

Kita harus merdeka berbudaya melalui bahasa ibu untuk menjadi bangsa bermartabat. Selaras dengan spirit tersebut, Kemendikbudristek telah merilis program Merdeka Belajar episode-17 yaitu revitalisasi bahasa daerah. Revitalisasi bahasa daerah pada 39 bahasa daerah yang terdapat di 157 kabupaten pada 13 provinsi pada 2022. Program ini mendapuk 104.112 guru dan kepala sekolah yang telah menyebarkannya kepada 2.905.311 siswa SD dan SMP sebagai penutur milenial. Hal ini harus didukung semua elemen dalam rangka mewujudkan Merdeka Berbudaya dan kebermanfaatannya jelas untuk masyarakat dan masa depan bangsa.

Untuk mendukungnya, dibutuhkan sejumlah formula bernas, terstruktur, dan kontinu.

Pertama, pengarusutamaan bahasa dan sastra daerah ke dalam kurikulum. Selama ini bahasa dan sastra daerah di jenjang SD-SMA hanya menjadi muatan lokal, dan di perguruan tinggi justru tidak ada. Maka kurikulum bahasa dan sastra daerah dari jenjang SD-perguruan tinggi urgen dihadirkan. Selain pembelajaran, pembudayaan, dan keteladanan, bahasa dan sastra daerah harus dijadikan ruh di dalam kurikulum karena pendidikan dan kebudayaan menjadi satu kesatuan.

Kedua, penguatan transformasi kebijakan dengan tiga fokus utama, yaitu literasi kebahasaan dan kesastraan, pelindungan bahasa dan sastra, dan internasionalisasi Bahasa Indonesia. Kebijakan ini tidak hanya tugas Badan Bahasa Kemendikbudristek saja. Semua elemen wajib mengawal pengembangan dan pembinaan bahasa daerah dengan model Pentahelix yaitu melibatkan academician (akademisi), business (pengusaha), community (komunitas), government (pemerintah) dan mass media (media massa). Akademisi bertugas menjaga gawang akademik, pengusaha bertugas sebagai pemodal dan penyedia anggaran, komunitas bertugas untuk menjaga bahasa di arus bawah, pemerintah bertugas meregulasi dan mengawalnya, dan media massa bertugas untuk publikasi dan diseminasi. Dengan skema ini, maka tiga fokus utama kebijakan di atas akan menguatkan bahasa ibu dan memajukan kebudayaan Nusantara.

Ketiga, riset dan kajian akademik untuk menambah jumlah dan varian bahasa daerah di Indonesia. Jika selama ini kita takut jumlah bahasa daerah berkurang dan punah, sebaliknya kita harus melakukan riset berbasis pemetaan, kajian vitalitas, konservasi, revitalisasi, dan registrasi bahasa daerah yang baru. Bisa jadi, jumlah bahasa daerah di Indonesia lebih dari 718 yang sudah tercatat.

Keempat, sosialisasi dan publikasi intensif terhadap bahasa dan sastra daerah. Kurang populisnya bahasa daerah dikarenakan penuturnya malu, ragu, bahkan tidak tahu. Hal itu selaras dengan hasil Kongres Kebudayaan Tahun 2018 dan UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan untuk kontinu melakukan sosialisasi dan publikasi bahasa daerah dalam bentuk teks, audio, maupun video.

Kelima, percepatan internasionalisasi bahasa daerah dan Bahasa Indonesia. Hal itu merujuk pada adagium “utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing” dan amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Diplomasi kebahasaan sangat penting untuk menduniakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Merdeka Berbudaya melalui bahasa ibu hakikatnya bukan alergi dan menolak bahasa asing, justru mengintegrasikan bahasa lokal dengan bahasa global.

Sudah saatnya kita merdeka dari kerusakan, perselingkuhan, dan penjajahan bahasa. Kita harus bergerak bersama mewujudkan Merdeka Berbudaya melalui bahasa ibu. Bahasa ibu memang bukan segalanya, namun harkat, martabat, kekayaan, dan kemajuan budaya Indonesia bisa berawal dari sana. Jika bukan kita yang mewujudkan Merdeka Berbudaya, lalu siapa lagi?

 

 

Tags: Dosen Bahasa IndonesiaHamidulloh IbdaMerdeka Berbudaya
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA