Oleh : Anita (Aktivis Muslimah)
Indonesia terus melakukan pemerataan pembangunan dan penataan wilayah kota mulai dari pembuatan jalan tol, pembangunan jembatan, pembangunan IKN sampai rencana impor kereta listrik. Ketersediaan infrastruktur tersebut memang sangat penting untuk mendukung aksesibilitas masyarakat, baik secara sosial maupun ekonomi.
Suksesnya pembangunan tersebut diharapkan dapat mendukung kebijakan fiskal lainnya demi kesejahteraan rakyat. Seperti yang dikatakan Presiden Jokowi saat peresmian Jalan Nan Sarunai Ruas Simpang 4 Islamic Center – Tanjung Selatan, Kabupaten Tabalong yang dikutip dari laman setkab.go.id (17/03/2023), bahwa jalan tol yang dibangun sepanjang 4,2 km tersebut menggunakan anggaran sekitar 104 miliar dari dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) diharapkan dapat membantu menggerakkan perekonomian di Kabupaten Tabalong. Selain itu, laman portal.tabalong.go.id (19/03/2023) menuliskan bahwa Presiden juga menyebut Tabalong akan menjadi titik pertumbuhan ekonomi baru mengingat posisi strategisnya yang dekat dengan IKN.
Melihat tujuan umum pemerintah dalam setiap pembangunan selalu dalam upaya meningkatkan perekonomian untuk kesejahteraan sepertinya berbanding terbalik dengan langkah yang diambil pemerintah dalam pendanaan pembangunan tersebut. Untuk dapat merealisasikannya negara terus bertumpu pada utang dan pajak. Selain itu, Indonesia juga menarik investor untuk mendukung pembiayaan yang mana akan mengarah pada kepentingan korporasi dan bukan lagi pada kepentingan rakyat. Selain itu, pandangan yang salah terhadap kemajuan juga menimbulkan dampak serius pada rakyat. Kemajuan infrastruktur sejatinya lebih banyak mengambil hak rakyat seperti pembebasan lahan. Masyarakat kehilangan lahan mereka untuk dialihfungsikan sedangkan sumber daya alam disekitar mereka juga telah diambil dan dikelola secara pribadi oleh perusahaan atau bahkan oleh asing.
Kesalahannya adalah penerapan sistem yang membawa indikator materi dan memandang kemajuan infrastruktur sebagai wujud kemajuan negara. Sedangkan faktanya, negara belum dapat memenuhi kebutuhan primer rakyat sehingga kemiskinan selalu menjadi masalah utama ditengah kekayaan negara yang melimpah akibat rakyat kehilangan hak atas kepemilikan sumber daya alam tersebut dan semua infrastruktur diharapkan dapat membantu pertumbuhan ekonomi merupakan kebutuhan sekunder yang belum tentu dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Demikian sistem kapitalis yang sedang diterapkan saat ini tidak akan mampu mengatasi masalah ekonomi sebab membebaskan kepemilikan dan pengelolaan ekonomi yang dilakukan secara otonomi dan bunga sebagai orientasi utama dari pemilik modal.
Kesejahteraan dan masalah kemiskinan hanya akan tuntas saat negara telah menerapkan kebijakan ekonomi sesuai dengan tuntutan syariat, yaitu penghasilan yang jelas dan halal dengan menegakkan tiga pilar ekonomi islam.
Pertama, adanya konsep kepemilikan dalam Islam dari individu, umum, dan negara. Kedua, sumber daya yang dibagi secara tegas sesuai konsep kepemilikan. Ketiga, pengelolaannya dan distribusi kekayaan diatur sesuai syariat Islam. Adanya konsep kepemilikan akan memperjelas siapa saja yang harus dan berhak mendapatkan manfaat. Kemudian, pembagian yang sesuai konsep kepemilikan akan menjadi sumber pendapatan yang jelas bagi setiap pihak, serta pengelolaan dan distribusi dalam Islam sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat. Sehingga, kesejahteraan dan kemakmuran dapat merata. Selain itu, dalam Islam pembangunan infrastruktur diserahkan pada negara dalam hal pembiayaan dan sebagainya.
Tidak mengandalkan investor atau pihak asing maupun utang dengan bunga yang akan menambah beban rakyat dalam hal ini beban pajak. Sumber pendapatan dalam sistem ekonomi Islam tidak membebankan rakyat dengan panarikan pajak melainkan sesuai syariat, yaitu dari pemasukan tetap berupa fai, zakat , seperlima harta rikaz, dan jizyah. Keberhasilan penerapan sistem Islam telah dirasakan selama kurang lebih 13 abad pada masa kekhalifahan, baik pada masa dinasti Umayyah, dinasti Abbasiyah, maupun dinasti Utsmaniyah.