
Sepak bola adalah olahraga popular di Indonesia, fenomena ini menarik perhatian tidak hanya bagi sponsor dalam segi bisnis, namun bagi aktor politik juga merupakan bagian dari media politik bagi mereka. Sepak bola bagi sebagian elit politik dianggap sebagai media atau alat untuk mereka berkomunikasi dengan khalayak dalam lingkup politik elektoral. Hal ini dilakukan dengan cara menyampaikan informasi politik melalui medium yang popular bagi masyarakat banyak, yaitu sepak bola. Dengan begitu, dapat dipahami bahwa sepak bola juga memiliki ruh tersendiri dalam proses konstelasi politik di Indonesia.
Perkembangan sepakbola yang semakin pesat membuat olahraga ini menjadi sumber maupun alat untuk memperoleh tujuan tertentu. Tujuannya bisa bermacam-macam, mulai dari perolehan modal kapital sampai kekuasaan, eksistensi dan ideologisasi. Tujuan-tujuan yang diinginkan lewat sepakbola tadi dilakukan oleh teknik propaganda yang memungkinkan
untuk tercapainya suatu tujuan yang diinginkan. Pada hakikatnya, sepak bola dan politik merupakan dua hal yang identik namun tidak sama. Kedua hal tersebut merupakan dua pertarungan untuk memperebutkan sesuatu yang memiliki nilai intrinsik yang tinggi.
Memasuki Tahun 2023, publik sepak bola di Indonesia tentu tidak sabar menuju perhelatan FIFA Piala Dunia U-20.
Dalam perhelatan tersebut, FIFA telah menunjuk Indonesia sebagai tuan rumah dalam ajang bergengsi sepak bola usia muda.
Kesempatan ini merupakan sesuatu yang positif bagi atlet muda sepak bola, agar kemudian dapat menimba ilmu dan pengalaman besar dalam menghadapi turnamen kelas dunia. Sayangnya, belakangan ini Indonesia terancam gagal untuk
mengadakan agenda besar sepak bola tersebut, mengingat muncul pro dan kontra dalam perbincangan publik, mengenai keikutsertaan Timnas Israel U-20 dalam ajang tersebut.
Catatan Sejarah
Jika kita tarik jauh ke belakang dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, Bung Karno, sebagai the founding father telah menanamkan komitmen dan menolak bertanding menghadapi Israel dalam kualifikasi Piala Dunia 1958. Pada akhirnya, Timnas sepak bola Indonesia yang ketika itu cukup disegani dengan julukan “macan asia” pun gagal meraih tiket ke event terbesar dalam sepak bola tersebut. Apa yang terjadi hari ini, mengingatkan kita pada fenomena sejarah. Dimana pada saat itu,
Indonesia dengan gagah berani mampu menolak penjajahan bangsa Yahudi terhadap rakyat Palestina. Hal tersebut sejalan dengan cita-cita Bung Karno yang anti terhadap bentuk penindasan dan kolonialisme.
Lebih lanjut, fenomena sejarah tersebutlah yang kemudian menjadi acuan bagi para politisi untuk turut tegas menolak Timnas Israel dalam ajang bergengsi sepak bola. Akan tetapi, apakah studi perbandingan tersebut masih relevan dengan fenomena yang terjadi hari ini? Mengingat rentang waktu sejarah yang cukup panjang, dan pelbagai perubahan yang terjadi terhadap Bangsa Indonesia dari waktu ke waktu. Harapannya jelas, bahwa sepak bola janganlah dijadikan intrik politik untuk mengais simpati dari kelompok mayoritas di Indonesia. Mengingat isu penjajahan Israel terhadap Palestina, di Indonesia menjadi isu yang multidimensi, bahkan sampai ke persoalan keyakinan.
Tulisan ini juga sebagai bentuk kritik tertulis kepada senior penulis di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Ganjar Pranowo. Beberapa waktu yang lalu, Ganjar Pranowo mengomentari perihal polemik ini dengan membawa semangat penolakan Bung Karno terhadap praktik kolonialisme bangsa Yahudi. Penulis memahami Bung Karno ketika itu menolak Israel, sebab pada masa itu, Bangsa Indonesia masih mengenang traumatik mendalam terhadap penjajahan bangsa eropa yang berlangsung ratusan tahun. Jangan sekali-kali melupakan sejarah-begitulah pesan Bung Karno. Sekian dekade berlalu, tidak bijak juga rasanya jika kita masih terkungkung dalam traumatik masa lalu.
Sebagai Mesin Politik
Menuju tahun politik 2024, jelas isu ini mengundang perhatian dari elit politik untuk turut bersuara. Politik yang muncul atas kekuatan olahraga sepak bola tidak hanya terlihat di negara-negara maju, akan tetapi telah merambah ke konteks lokal. Sepak bola dijadikan mesin politik lokal untuk mendulang suara aktor politik dalam kontestasi. Basis supporter sepak
bola yang besar, dan juga berkaca kepada penikmat sepak bola yang berasal dari pelbagai kalangan, menasbihkan sepak bola
sebagai lahan basah bagi para aktor kepentingan untuk memanfaatkan hal tersebut. Termasuk mengenai isu penolakan Timnas Israel, baik aktor sampai partai politik pun menyuarakan penolakannya.
Sejatinya, banyak kasus yang dapat kita lihat sebagai bentuk pemanfaatan sepak bola dalam kepentingan politik. Di Italia, Klub AC Milan juga dimanfaatkan oleh Silvio Berlusconi, dalam kontestasi menuju kursi Perdana Menteri Italia.
Barcelona sebagai bentuk propaganda orang-orang Catalan kepada pemerintahan Spanyol, dan masih banyak kasus lainnya.
Oleh karena itu, penting rasanya membangun pendidikan dan kesadaran politik kepada kelompok supporter agar tidak mudah dimanfaatkan begitu saja bagi kelompok kepentingan. Sistem demokrasi yang menilai suara terbanyak, memang mendorong aktor politik untuk eksis dalam olahraga populer, seperti sepak bola.
Harus diakui, sepak bola yang banyak menghimpun massa merupakan panggung politik. Sukar untuk menarik garis pemisah di antara keduanya. Bukankah olahraga yang sudah menjadi industri ini merupakan salah satu alat dari politik globalisasi? Lihat bagaimana para pemain dijadikan etalase berjalan demi memasarkan berbagai produk sponsor. Begitu juga dengan kepemilikan sejumlah klub oleh para oligark dari lintas negara. Bahkan penunjukan Qatar pada 2010 untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 pun kental unsur politis. Ada dugaan keterlibatan Presiden UEFA, Michel Platinni, dan Presiden FIFA saat itu dalam penunjukkan Qatar sebagai tuan rumah.
Pada akhirnya, antara politik dan sepak bola merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Pelbagai sikap politik seringkali muncul dalam beberapa perhelatan sepak bola. Seperti pembentangan bendera Palestina sebagai bentuk kampanye perlawanan terhadap praktik penjajahan Israel, juga aksi tutup mulut Timnas Jerman pada Piala Dunia Qatar 2022. Hal tersebut sama halnya dengan apa yang menjadi perbincangan utama publik mengenai penolakan Timnas Israel. Namun, apakah adil ketika kita menyuarakan pembelaan terhadap rakyat Palestina, justru mengubur mimpi anak muda bangsa ini untuk tampil dalam ajang sepak bola kelas dunia tersebut? Saya kira, kita perlu melawan kegagalan logika berfikir tersebut.