
Konflik antar agama baik intern maupun ekstern di mana-mana telah menjadi momok dalam dunia intelektual era modern. Isu tersebut sangat sensitif karena berdampak langsung terhadap peradaban manusia yang seyogianya heterogen dan akan menimbulkan krisis pemikiran yang moderat. Sebab dalam momentum apapun memainkan isu agama menjadi modal utama dalam mendapatkan nilai partisipan masyarakat.
Fenomena yang menjadikan peradaban Islam terbelakang tentunya didasari dengan ragam faktor yang sensitif, seperti memberhalakan tokoh secara berlebihan, mengglorifikasi pemikiran yang cenderung skriptualis. Munculnya Barat ke tengah ”trend” publik dan melokalisasi budaya Islam. Hal demikian sangatlah berbahaya bagi peradaban Islam selain menimbulkan kekacauan dalam menerapkan nilai-nilai Islam, diakibatkan adanya kontaminasi budaya juga sedikit banyak akan termodifikasi secara ekstrem oleh peradaban Barat. Bisa jadi akan terkooptasi dan bahkan akan kehilangan “muhkamat” peradaban Islam sendiri, jika peradaban Islam tidak mampu menjawab tantangan ”trend” publik.
Quraish Shihab pun mengatakan bahwa bagian dari tantangan umat Islam hari ini ialah dampak kemajuan peradaban Barat yang sangat drastis. Sementara Islam masih kaku memaknai masa lalu dan selalu bersikap skriptualis. Bahkan Islam hari ini selalu ditampilkan sebagai Islam normatif dalam menyelesaikan persoalan dan cenderung kaku dalam mengkodifikasi “trend” yang kekinian. Oleh karenanya Islam harus tampil dengan model yang lebih lentur sehingga dapat menyesuaikan dengan budaya dan pergaulan internasional dalam hal ini “peradaban”, tentunya “trend” yang tidak mendegradasi “kesakralan” Islam sebagai agama ataupun sebagai peradaban, seperti Islamisasi pengetahuan.
Islamisasi pengetahuan sebagai konstruk suci terhadap perkembangan sains (Barat) yang dikonsumsi dan dijadikan referensi dalam upaya mengembangkan sebuah ritme Islam agar memiliki corak khas keislaman. Islamisasi pengetahuan akan berdampak pada kemajuan peradaban Islam sekaligus sebagai respon terhadap kondisi Islam hari ini. Oleh karena itu perlunya skema yang sistematis dalam mengkonstruksi tipologi “Islam modern”, sehingga Islam terlihat lebih kreatif.
Misalnya Hasan Hanafi dengan konsep “oksidentalismenya” dalam mendekonstruksi pengaruh Barat sehingga dapat mengubah relasi Timur (Islam) yang mulanya dianggap sebagai produk kolot, dan terbelakang, atau Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan metode berpikirnya yang “nyentrik” dan terbukti berhasil menjalankan konsep sikap pluralisme yang nyata, Gus Dur berhasil menjadi figur muslim Indonesia yang “santuy nan elegan” dan penuh humor publik, atau dengan beberapa organisasi yang tampil lebih tradisonalis tapi modern, seperti organisasi besar NU yang sudah memasukin abad 2 yang masih kental dengan metode berpikir kritis-transformatif nan responsif. Hal yang demikian sebenarnya agar supaya peradaban Islam terutama di Indonesia menjadi peradaban yang bersaing baik secara pemikiran maupun secara ”trend”, namun ingat ini hanya sekedar konsepsi permisalan yang sengaja dihadirkan agar dipikiri secara serius oleh cendekiawan muslim dan kita semua.
Islamisasi pengetahuan seharusnya hadir guna menjawab segala bentuk tantangan yang bersifat mengancam terhadap pola keislaman dalam mencetak manusia kondusif dan kooperatif di berbagai dimensi. Pun yang disampaikan Syed M. Naquib Al-Attas yang pemikirannya meliputi pada lapangan epistemologi bahwa kemunduran ilmu pengetahuan Islam dikarenakan munculnya sains modern yang dikonsumsi mentah-mentah di negara-negara Muslim Modern dan menghegemoni peradaban Islam. Epistemologi Islam memiliki perbedaan dengan epistemologi sains dari barat dalam makalahnya yang berjudul “Ensiklopedia of Islam”, yang membedakan dari keduanya terletak pada keraguan dan ketidakraguan dalam menentukan sebuah kebenaran. Al-Attas adalah tokoh muslim yang memiliki andil terhadap pembaharuan Islam terutama pada persoalan ilmu pengetahuan.
Syed M. Naquib Al-Attas menawarkan dua opsi dalam melakukan gerakan Islamisasi Pengetahuan guna menjawab tantangan zaman. Pertama, melakukan pemisahan antara budaya barat dan budaya Islam. Kedua, dengan cara meretribusikan nilai-nilai keislaman dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa sekarang yang relevan. Dua cara ini dapat dikonsep ulang dengan menyesuaikan kebutuhan sehingga terciptanya Islam kreatif, inovatif dan relevan.
Terakhir, tujuan penulis melakukan konstruk fenomena Islam hari ini dengan menghadirkan permisalan-permisalan yang dianggap berkontribusi dan berpengaruh terhadap dunia intelektual muslim Indonesia seperti di atas, sebenarnya ingin mengapresiasi terhadap konsep besar yang ditawarkan para tokoh-tokoh muslim yang memiliki pengaruh. Sementara kondisi peradaban Islam hari ini, memang sangat membutuhkan sosok yang mampu mengembalikan peradaban Islam dahulu (titik sentral pengetahuan dunia) dalam mereformulasikan peradaban yang berdaya saing dan bermartabat.