
Keberadaan “perda ramadhan” di Provinsi Kalsel yang salah satunya berdampak pada nilai indeks demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Kalsel, tidak hanya di Kota Banjarmasin, kabupaten/kota lainya di Provinsi Kalsel juga mempunyai perda yang sejenis. IDI sendiri merupakan indikator komposit yang menunjukkan tingkat perkembangan demokrasi di Indonesia. Namun karena viral dimedia terkait penegakan perda ramadhan di Kota Banjarmasin pada bulan ramadhan tahun 1443 H yang lalu dan bahkan menjadi perhatian nasional terkait dengan penegakan perda tersebut di lapangan. Di Provinsi Kalsel ditemukan sebanyak 10 (sepuluh) perda kabupaten/kota yang dinilai oleh dewan ahli IDI pusat sebagai aturan tertulis yang membatasi kebebasan menjalankan ibadah agama. Berdasarkan inventarisasi, Perda ramadhan di Provinsi Kalsel sebanyak 9 (sembilan) perda, yang terbagi kedalam 2 (dua) klaster perda yakni perda yang secara khusus mengatur kegiatan bulan ramadhan dan materi muatan pengaturan tertib bulan ramadhan yang diatur dalam perda tentang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat (perda trantibum).
Dari hasil inventarisasi BPS Provinsi Kalsel, perda kabupaten/kota di Kalsel yang secara khusus mengatur kegiatan bulan ramadhan meliputi: 1) Perda Kabupaten Batola No. 7 Tahun 2005, 2) Perda Kabupaten Banjar No. 5 Tahun 2004, 3) Perda Kabupaten HSS No. 9 Tahun 2016, 4) Perda Kabupaten HST No. 3 Tahun 2016, 5) Perda Kabupaten Balangan No. 6 Tahun 2005, 6) Perda Kota Banjarmasin No. 4 Tahun 2005, 7) Perda Kota Banjarbaru No. 4 Tahun 2005. Sedangkan terkait dengan pengaturan tertib Ramadhan dalam perda trantibum ditemukan dalam Perda Kabupaten Tala No. 7 Tahun 2014, dan Perda Kabupaten HSU No. 9 Tahun 2018. Tentu tidak fair dewan ahli IDI pusat memberikan bobot yang sama antara perda yang secara khusus mengatur bulan ramadhan dengan perda trantibum yang memuat dalam bab mengenai tertib bulan ramadhan sehingga debatable dalam penilaian yang dilakukan oleh dewan ahli IDI pusat.
Kelemahan perda ramadhan diatas, yakni tidak ada pengecualian pemberlakukan bagi setiap orang, tentu hal ini menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan di lapangan. Rumusan setiap orang dilarang dan akibat larangan disanksi dengan sanksi pidana berupa kurungan menjadi persoalan dari aspek kriminalisasi. Pendekatan sanksi pidana dalam perda sebagai pilihan utama (premium remedium), tentunya tidak sesuai dengan hukum pidana sebagai sarana terakhir (ultimum remidium) penegakan hukum. Jika melihat dari perumusan pengaturannya sanksi pidana maka perda ramadhan merupakan hukum pidana administratif (administrative penal law).
Selanjutnya untuk memberikan putusan sebuah perda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan, asas materi muatan, dan putusan pengadilan berdasarkan ketentuan Pasal 250 Perpu Cipta Kerja yakni melalui lembaga peradilan. Dengan pengujian perda sesuai ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, adapun menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang termasuk didalamnya adalah perda, yang berwenang melakukan pengujian adalah MA. Yang menjadi problem, orang/badan yang memenuhi kedudukan hukum (legal standing) menjadi pemohon pengujian perda ramadhan, menyangkut sensitivitas persoalan agama.
Tentu penulis tidak merekomendasikan penyelesaian perda ramadhan melalui pengujian perda ramadhan ke MA. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), sudah menentukan urusan pemerintahan bidang agama merupakan urusan absolut, sehingga pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota tidak berwenang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang agama. Dalam perspektif kewenangan pemerintah daerah misalnya, urusan agama merupakan urusan absolut pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah tidak berwenang melakukan pengaturan, kalau kita baca dengan seksama perda ramadhan yang dipersoalkan tidak terkait langsung dengan persoalan syariah, yang ada yakni pengaturan terkait dengan pelarangan aktifitas yang dapat menganggu suasana khusyuk bulan ramadhan.
Oleh karena yang diatur lebih pada pengaturan terkait aktifitas yang dapat menganggu suasana khusyuk bulan puasa, Kabupaten Tala dan Kabupaten HSU memilih mengatur tertib bulan puasa dalam perda trantibum. Namun berasarkan penilaian dewan IDI pusat, Perda Kabupaten Tala Nomor 7 Tahun 2014 dan Perda Kabupaten HSU Nomor 9 Tahun 2018 dinilai sebagai aturan tertulis yang membatasi kebebasan menjalankan ibadah agama. Sehingga bagi pemerintah daerah kebingungan mengatur tertib bulan ramadhan yang diperlukan di daerah dengan penilaian dewan ahli IDI pusat.
Penulis sendiri lebih mencermati terkait ketentuan Pasal 58 Perda Kabupaten Tala Nomor 7 Tahun 2014 dan Pasal 57 Perda Kabupaten HSU Nomor 9 Tahun 2018 yakni potensi pelanggaran aspek hak asasi manusia terkait dengan pembatasan hak untuk berusaha yang dijamin oleh ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Karena memang yang diatur yakni terkait larangan untuk sektor tertentu selama bulan ramadhan untuk membuka kegiatannya, dan tidak ada hubungan sama sekali dengan keyakinan beragama.
Sebagai sebuah kebijakan, “perda ramadhan” tentunya masih dibutuhkan di daerah untuk menjaga suasana khusyuk ibadah puasa. Menjadi tantangan bagi perancang peraturan perundang-undangan untuk memberikan alternatif kebijakan terkait dengan pengaturan kegiatan bulan ramadhan dalam sebuah peraturan daerah. Penatapan Perda merupakan kewenangan daerah berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (6) UUDNRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”, selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU Pemda menyebutkan bahwa “Daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah”, adapun Penjelasan Pasal 17 ayat (1) UU Pemda yaitu “Yang dimaksud dengan “kebijakan Daerah” dalam ketentuan ini adalah Perda, Perkada, dan keputusan kepala daerah”.
Salah satu alternatif kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah yang mempunyai perda yang mengatur kegiatan yang dilarang pada bulan Ramadhan, dapat ditemukan terkait dalam ketentuan penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf f UU Pemda, yang menegaskan terkait dengan keikutsertaan daerah dalam “…menumbuhkembangkan kehidupan beragama”. Pemerintah daerah dapat mengatur menumbuhkembangkan kehidupan beragama dalam sebuah perda sebagai payung hukum pengaturan menumbuhkembangkan kehidupan beragama di daerah.
Pengaturan terkait bulan ramadhan dapat rumuskan dalam perda mengenai menumbuhkembangkan kehidupan beragama, dan tentu dengan pendekatan tidak diskriminatif, dan tidak bertentangan dengan HAM. Perda tersebut mengatur keseluruhan agama tidak inklusif pada satu agama saja. Diperlu pengkajian dalam sebuah naskah akademik raperda untuk mengetahui latar belakang, tinjauan teoritik dan praktik empiris, evaluasi dan analisa terhadap peraturan perundang-undangan, landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis serta jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup raperda mengenai menumbuhkembangkan kehidupan beragama.
Terkait dengan penegakan perda perlu diatur SOP yang menjadi dasar hukum dalam operasional di lapangan sehingga tidak multi tafsir. Pengaturan terkait pengecualian pemberlakuan dalam pengaturan larangan bulan ramadhan untuk menjamin kebebasan beragama sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945. Dalam kerangka NKRI, pembentukan perda harus sesuai dengan nilai Pancasila dan UUDNRI Tahun 1945, dan dalam rangka perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan yang diatur dalam UU HAM.