Kamis, Juli 3, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Menilik Makna Sejarah Gerakan Perempuan di Argentina

by matabanua
8 Maret 2023
in Opini
0
D:\2023\Maret 2023\9 Maret 2023\8\8\aditya yudistira.jpg
Aditya Yudistira (Alumnus Ilmu Sejarah, Universitas Andalas)

 

Penyebaran ideologi Marxisme/Komunisme di wilayah Amerika Latin, dilakukan secara masif pada medio abad ke-20. Hal tersebut, tidak terlepas dari efek domino perang dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat yang dampaknya bisa dirasakan hampir di setiap negara-negara dunia ketiga.

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\4 Juli 2025\8\master opini.jpg

Keserentakan Pemilu dan Restorasi Politik Lokal

3 Juli 2025
D:\2025\Juli 2025\4 Juli 2025\8\foto opini 1.jpg

Rencana strategis Sistem Kapitalisme-Harga Beras Meroket, Stok Melimpah?

3 Juli 2025
Load More

Operasi Kondor merupakan reaksi dari mewabahnya ideologi Marxisme/Komunisme di negara-negara Amerika Latin seperti, Argentina, Bolivia, Brasil, Chili, Ekuador, Kolombia, Paraguay, Peru, Uruguay, dan Venezuela. Penamaan Operasi Kondor, merujuk pada burung Kondor sebagai pemangsa bangkai terbesar di dunia, yang bisa terbang ratusan kilometer tanpa mengepakkan sayap.

Operasi Kondor memang diciptakan sebagai suatu misi senyap yang dilancarkan oleh Amerika Serikat, bekerja sama dengan para kepala militer dan intelijen negara yang telah disebutkan, untuk membasmi orang-orang atau partisan kiri yang dianggap sebagai “teroris”, pada kurun 1970-1980an. Dengan kata lain, peralihan kekuasaan yang terjadi di negara-negara Amerika Latin dalam kurun waktu tersebut, juga tidak terlepas dari campur tangan Amerika Serikat, sebagai kampanye represi politiknya untuk menangkis intervensi Uni Soviet beserta ideologi Marxisme/Komunisme di wilayah Amerika Latin.

Keterlibatan Amerika Serikat dalam Operasi Kondor, juga bisa dilihat dari geliat Henry Kissinger sebagai menteri luar negeri, sekaligus penasihat keamanan nasional, yang melakukan hubungan intensif dengan para duta besar Amerika Serikat dan kepala militer di negara-negara Amerika Latin untuk melancarkan operasinya. Pada 8 Juni 1976, secara terbuka Kissinger memberi dukungan kepada Jenderal Augusto Pinochet dalam suatu pertemuan di Santiago, Chili, untuk mempertahankan junta militer di wilayah Amerika Latin atas nama hak asasi manusia (Dinges, 2004).

Namun, kenyataannya berkata lain. Kekuasaan yang terjadi di bawah rezim junta militer, justru banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Bagaimana tidak? Suatu pemerintahan yang dipimpin dengan gaya militeristik, hampir bisa dipastikan memasuki masa ketegangan yang menutup akses-akses pilar demokrasi seperti, pembredelan informasi media massa, penggunaan kekuatan militer yang berlebihan kepada masyarakat sipil, pembungkaman kebebasan berekspresi di ruang-ruang publik, hingga anti-oposisi yang dianggap sebagai subversif/teroris.

Jalan Panjang Mencari Keadilan

Peran perempuan sering kali direduksi menjadi sekadar wilayah kerja-kerja domestik. Hal tersebut tidak terlepas dari paradigma atau stereotipe sosial, politik, ekonomi, hingga budaya yang melanggengkan “tujuan hidup perempuan” hanya dianggap sebagai “Ibu-ibu yang menjalankan aktivitas rumah tangga saja”. Bahkan di dalam konsep kewarganegaraan, perempuan atau Ibu-ibu masih sering dideskriditkan. Negara masih kerap mengkonstruksikannya sebagai pelaku pekerja domestik, sehingga perempuan atau Ibu-ibu menjadi angkatan kerja kapitalisme yang tidak dibayar. Sehingga kecenderungan perempuan di abad ke-20 masih menjadi sub-ordinat dalam kerangka negara yang cenderung patriarki. Prestasi perempuan di kancah politik, dianggap tidak terlepas dari peran suaminya. Pada titik ini, perempuan memiliki peran ganda tanpa kontribusi laki-laki di ranah domestik (Suryakusuma, 2011).

Kendati demikian, peran Ibu-ibu di Argentina terlihat berbeda. Terhitung pada 30 April 1977, persis di depan Istana Kepresidenan Casa Rosada (biasa dikenal sebagai Alun-alun Plaza de Mayo), digeruduk oleh 14 orang Ibu-ibu yang menamakan dirinya sebagai Asociación Madres de Plaza de Mayo (Asosiasi Ibu-ibu Plaza de Mayo). Mereka datang membawa rasa kehilangan yang mendalam dan memendam amarah kepada negara. Hal tersebut karena anak, suami, hingga sanak keluarga mereka diculik atau dihilangkan paksa oleh junta militer. Walau begitu demonstrasi yang dilakukan oleh para Ibu masih berjalan damai dan tanpa kekerasan.

Sedikit memutar arah jarum jam. Alun-alun Plaza de Mayo bukanlah tempat yang baru bagi rakyat Argentina untuk menyuarakan tuntutan. Plaza de Mayo memiliki sejarah gerakan sosial di Argentina, yang tidak terlepas dari pencopotan dan penangkapan Juan Perón sebagai Wakil Presiden, oleh kalangan militer pada 9 Oktober 1945. Hal tersebut dipicu karena Juan memiliki popularitas tinggi di kalangan masyarakat sipil, khususnya kelas pekerja, serta dianggap mengganggu stabilitas pemerintahan junta militer yang belum mapan. Tidak berselang lama, para pendukung Juan pada 17 Oktober 1945, tumpah ruah memadati Plaza de Mayo untuk melakukan protes dan menuntut pembebasan Juan. Dari peristiwa ini pula, ketegangan antara junta militer dan masyarakat sipil semakin menguat di alun-alun Plaza de Mayo (Rudolph, 1985).

Kehadiran Madres de Plaza de Mayo, juga tidak terlepas dari peristiwa kudeta militer tanggal 24 Maret 1976. Pihak militer yang dipimpin oleh Jenderal Jorge Rafael Videla, berhasil mengambil alih pemerintahan Argentina yang sebelumnya dipimpin oleh Presiden Isabel Perón. Dalam mempertahankan kekuasaannya, pemerintahan yang otoriter tersebut, menjalankan operasi militer bernama Operasi Kondor. Ketika junta militer melancarkan Operasi Kondor, banyak terjadi praktek nir-kemanusiaan seperti, pembunuhan, penculikan, penganiayaan, penyiksaan, dan tindak kekerasan lainnya. Secara hitungan kasar, korban hilang atau penculikan mencapai 30.000 jiwa, mereka berasal dari kalangan buruh, aktivis, oposisi pemerintah, hingga akademisi/intelektual. Semua dilakukan tanpa ada bukti-bukti yang kuat terhadap korban atau tersangka dalam proses peradilan yang legal. Sehingga bongkar pasang kekuasaan pemerintahan di Argentina pada medio abad ke-20, biasa disebut sebagai “perang kotor” yang dilakukan oleh junta militer kepada masyarakat sipil (Dinges, 2004).

Dalam “perang kotor” tersebut, Asosiasi Ibu-ibu Plaza de Mayo tidak tinggal diam, secara rutin pada hari Kamis, pukul 15:30, mereka muncul di Alun-alun Plaza de Mayo untuk melakukan demonstrasi. Mereka berjalan mengelilingi alun-alun sambil membawa foto beserta nama dari mereka yang hilang dan diculik, dengan mengenakan kain putih di kepala mereka. Mereka juga melakukan publikasi untuk menyebarluaskan kampanye, seperti penyebaran pamflet, pembuatan petisi, melalui kanal-kanal media massa yang ditujukan khusus kepada presiden, pengadilan tinggi, perwira militer, hingga pihak gereja (Koepsel, 2011).

Semuanya dilakukan untuk meraih dukungan publik secara luas, agar perasaan kehilangan yang mendalam para Ibu segera terobati, dengan dikembalikannya mereka yang hilang dan diculik secara paksa oleh junta militer. Walaupun mungkin sebagian besar dari mereka sudah terbunuh, tetapi para Ibu masih memiliki keyakinan bahwa banyak dari mereka yang hilang diculik, tetap hidup di dalam tahanan yang jauh dari kata humanis. Maka untuk mewujudkan pembebasan maupun pengembalian para korban, Ibu-ibu Plaza de Mayo juga membangun jaringan kerja sama dengan kelompok atau organisasi lain untuk membentuk solidaritas lintas ruang. Mereka membangun jaringan internasional dengan beberapa organisasi internasional seperti Amnesty Internasional, Inter-American Commission on Human Rights, International Federation of Human Rights, Lawyers Committee for Human Rights, dan United Nations (David dan Maria, 1991).

Dari berbagai upaya yang telah dilakukan, terhitung tanggal 26 Januari 2006, Ibu-ibu Plaza de Mayo resmi melakukan aksi demonstrasinya yang terakhir. Mereka memiliki keyakinan bahwa Presiden Neston Krichner, sebagai representasi “peronis kiri”, telah menunjukkan keberpihakannya pada aksi yang mereka lakukan selama kurang lebih 29 tahun. Keberpihakan yang ditunjukkan oleh Krichner mengacu pada penegakan HAM, dengan mencabut peraturan-peraturan yang dianggap membatasi ekspresi masyarakat sipil yang sering dilabeli subversif, hingga kekebalan hukum yang sebelumnya menjadi tempat berlindung pejabat-pejabat militer pada masa junta. Kirchner juga tidak menolak untuk melakukan upaya ekstradisi kepada para pejabat yang bersalah, namun telah melarikan diri ke luar Argentina.

Eksistensi perlawanan Ibu-ibu Plaza de Mayo dalam mencari keadilan, melahirkan inspirasi gerakan di negara lainnya, tidak terkecuali Indonesia. Di Indonesia setidaknya ada dua gerakan yang terinspirasi darinya. Pertama, Suara Ibu Peduli yang diinisiasi oleh Yayasan Jurnal Perempuan pada November 1997. Kedua, Aksi Diam atau biasa dikenal sebagai Aksi Kamisan yang diinisiasi oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan sejak 18 Januari 2007. Dari ketiganya, kita bisa menilik makna kekuatan perempuan yang memiliki kesadaran politis dan keluar dari belenggu domestifikasi untuk melawan ketidakadilan vertikal. Mereka memperlihatkan suatu bentuk perlawanan yang elegan dengan cinta, kasih sayang, dan konsistensi yang luar biasa. Mereka juga mengajarkan bahwa bergerak melawan, bukan sesempit menghancurkan lawan, namun dengan tabah dan tulus merawat kehidupan tanpa kekerasan, untuk terciptanya kondisi yang damai, baik di masa kini maupun di masa mendatang.

 

 

Tags: Aditya YudistiraAlumnus Ilmu SejarahArgentinaUniversitas Andalas
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA