Oleh: Fadhila Rohmah (Aktivis Muslimah)
Kasus penganiayaan oleh anak pejabat Direktur Jenderal Pajak, Mario Dandy Satrio, terhadap seoran remaja bernama David belakangan ini ramai diperbincangkan di media sosial. Semakin ramai netizen membicarakan kasus tersebut disaat kasus penganiayaan terlanjur viral ini disusul oleh hilangnya postingan dari akun sosial media ibu Mario, yang bernama Eine Meike Torondek. Sang ibu yang dikenal sosialita dan sering flexing aset mewah di sosial medianya, ditemukan menghapus postingan-postingan konten flexingnya dan memprivate akun Instagramnya. Tidak hanya sang ibu, Mario yang sebelumnya juga memarken aset mewah nya di media sosial ternyata ditemukan harta kekayaan tersebut tidak terdaftar dalam laporan aset kekayaan sang ayah, Rafael Alun Trisambodo, yang merupakan seorang pejabat pajak.
Rentetan kasus ini telah membongkar rendahnya karakter yang tanpa ragu melakukan penganiayaan. Juga membuka kehidupan glamor dan kemewahan para pejabat pajak yang menohok netizen juga seluruh masyarakat. Bagaimana tidak, setiap lini kehidupan yang dituntut bayaran pajak menjadikan rakyat dibebani oleh tagihan pajak bahkan dipaksa untuk rutin membayar pajak, harus menemukan realitas dimana pejabat pajak hidup bergelimpangan harta. Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani pun menyatakan kekecewaannya terhadap kasus yang menyeret Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ini. Jokowi menyatakan, wajar kalau rakyat merasa kecewa karena dari pelayanannya yang dianggap kurang baik, sampai kepada aparatnya ditemukan pamer kekuasaan, pamer harta, dan hidup hedonis.
Tidak ada yang dapat menghentikan ketika kasus ini telah viral di tengah-tengah netizen dan masyarakat, namun aktivitas pejabat yang ditemukan menghapus postingan di berbagai media sosial yang berkaitan dengan kasus tersebut, setidaknya menampakkan bagaimana jabatan dan uang dapat membeli media saat ini. Sayangnya, meskipun jejak digital tersebut telah dihapus, rekam jejak pejabat dan perilakunya sebagai aparatur negara telah terekam di tengah masyarakat.
Demikianlah realitas sistem Kapitalisme yang diterapkan dan menjadi mindset saat ini. Di dalam Kapitalisme, bermewah-mewahan merupakan kewajaran karena tolak ukur kebahagiaan dalam Kapitalisme adalah mengumpulkan dan menumpuk materi sebanyak-banyaknya. Gaya hidup konsumtif dan hedonis sudah merupakan wajah dari Kapitalisme yang menjadikan materi belaka sebagai pondasi kehidupan. Tidak terkecuali para pejabat negara, yang akhirnya menggunakan posisinya untuk hidup dalam gelimang harta. Ibarat kacang yang lupa kulitnya, dimana kekayaan para pejabat negara adalah hasil dari jerih payah rakyat yang mengais rupiah untuk membayar pajak. Rakyat justru harus hidup susah disaat pejabat negaranya justru hidup glamor dan mewah.
Islam selalu mengingatkan betapa beratnya amanah dan tanggung jawab sebagai pemangku kursi kepemimpinan. Islam juga telah menegaskan tugas pemimpin serta jajaran pejabatnya, yang diangkat dan dilantik sebagai pelayan rakyat, bukan perampas harta rakyat. Sehingga Islam telah membentuk pribadi pemimpin yang tidak haus materi dan berorientasi melayani rakyat. Peningkatan kesejahteraan, pelayanan, dan pemenuhan kebutuhan rakyat menjadi titik pandang pemimpin dan jajaran pejabatnya yang harus diwujudkan melalui kursi kepemimpinan yang telah diamanahkan kepada mereka. Pemimpin dalam Islam tidak akan membebani rakyat, oleh karena itu pajak bukanlah sumber pendapatan. Dalam pengaturannya, Islam mengatur beberapa pos pendapatan negara, termasuk yang paling besar berasal dari pengelolaan SDA. Pengelolaan SDA sudah lebih dari cukup untuk menyejahterakan rakyat. Dan menjadi tugas pemimpin dan jajaran pejabatnya untuk mengatur dan mengelola kesejahteraan rakyat.