Oleh : Marlia Sulistyani ( Aktivis Muslimah)
Bencana banjir pun berulang melanda di beberapa daerah di Indonesia. Bahkan di tahun 2022 saja sudah terjadi bencana banjir sebanyak 1.524 kejadian. Sedang sejak awal Januari sampai dengan awal Februari 2023 bencana banjir terjadi sebanyak 89 kejadian. (Databoks, 07/02/2023).
Hal ini termasuk menimpa beberapa wilayah Kalimantan Selatan. Banjir yang melanda sebagian wilayah Banjarbaru pada Rabu (22/2) malam, sempat merendam 397 rumah dan berdampak pada 1.528 jiwa di enam kelurahan di Banjarbaru. (Prokal, 24 Pebruari 2023). Hal ini terlihat di sejumlah daerah terendam air setelah terjadi hujan dengan intensitas tinggi. Intensitas hujan yang tinggi, menyebabkan tujuh Desa di Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) terendam banjir, (BanjarmasinPost.co.id, Sabtu (25/02/2023)).
Peringatan dini pun telah dilakukan oleh pihak Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) sejak akhir tahun 2022 tentang prakiraan daerah-daerah potensi banjir di Indonesia selama bulan Januari, Pebruari dan Maret 2023 (bmkg.go.id, 9 Desember 2022).
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pun menyampaikan bahwa berdasarkan hasil analisis data dari BMKG dengan Impact Based Forecast (IBF) serta BNPB dengan InaRisk untuk beberapa daerah agar mewaspadai potensi banjir di bulan Pebruari yang lalu hingga bulan Maret 2023 untuk beberapa wilayah di Indonesia. Bahkan disampaikan juga 10 besar daerah tingkat historial banjir tertinggi berdasarkan Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) termasuk daerah yang berpotensi banjir hingga level kecamatan. (BNPB. Go.id, 27 Februari 2023).
Walaupun telah ada peringatan dini, banjir pun tak bisa terhindari dan akhirnya masyarakatpun terdampak bahkan tidak sedikit yang menjadi korban. Lebih-lebih lagi bencana banjir ini setiap tahun selalu terjadi. Sebenarnya ini salah siapa dan salah dimana?
Banjir, Kapitalisme Penyebabnya!
Banjir terjadi ketika neraca air permukaan positif. Neraca air ditentukan empat faktor, yaitu curah hujan, air limpahan dari wilayah sekitar, air yang diserap tanah dan ditampung oleh penampung air, dan air yang dapat dibuang atau dilimpahkan keluar. Dari semua itu hanya curah hujan yang tidak bisa dikendalikan manusia.
Curah hujan yang tinggi tidak akan jadi masalah jika hutan-hutan tidak ditebangi, tanah resapan tidak dibetoni, daerah aliran sungai tidak mengalami abrasi, dan sistem drainase dibuat terintegrasi. Kehadiran hujan pun sejatinya mendatangkan rahmat, bukan menjadi laknat. Artinya musibah banjir ini bukan faktor alam semata, namun proses terjadinya bencana ini banyak dipengaruhi atau akibat ulah manusia seperti yang telah Allah SWT mengingatkan kepada kita dalam T.Q.S. ar-Rum ayat 41 :
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Tentu dengan adanya hutan, ia akan mampu mencegah terjadinya banjir. Karena penyerapan air ke dalam tanah lebih optimal sehingga bencana banjir bisa di minimalisir. Namun sungguh mirisnya, jumlah hutan di Indonesia secara kumulatif selama periode 2017-2021 luas hutan di Kalimantan, Papua, dan Sumatra berkurang 1.575.442 ha. Tentu faktor deforestasi hutan secara besar-besaran ini menjadi pemicu utama meluasnya banjir.
Terjadinyan pengurangan jumlah hutan akibat dari eksploitasi lahan tambang, alih fungsi lahan, dan deforestasi faktanya kian tidak terkendali. Keserakahan manusia telah menjadikan manusia mengabaikan kelestarian lingkungan. Begitupun dengan sungai, volumenya makin menyempit akibat melimpahnya produksi sampah dan sedimentasi dampak hunian di bantaran sungai.
Ini menunjukkan gurita kapitalisme makin mencengkeram. Niscaya karena negara dan para penguasa memberi jalan tol kepada kepentingan para pengusaha. Bagi mereka, keuntungan materi adalah segalanya, maka soal kelestarian alam dan keberlangsungan kehidupan di masa depan, bukan urusan!
Dengan diterapkannya sistem/aturan kapitalisme, pada akhirnya negara hanya berfungsi sebagai fasilitator, bukan sebagai pengatur urusan rakyat. Sehingga wajar jika negara lalai, abai, bahkan gagal dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang menyangkut hidup rakyat banyak, termasuk masalah banjir.
Tentu ini sebuah kerusakan (fasad), haruslah diperbaiki dan kemaksiatan yang harus ditaubati. Perbaikan dan taubat yang harus dilakukan tidak cukup pada tingkat individu dan kelompok, tapi dengan meninggalkan sistem ideologi kapitalisme yang diadopsi oleh negara dan menggantinya dengan sistem ideologi Islam.
Solusi Islam Atasi Banjir
Islam dien yang paripurna tentu punya solusi paripurna untuk mengatasi masalah banjir. Dalam konteks penanganan terhadap musibah, Khilafah menggariskan kebijakan-kebijakan komprehensif yang tegak atas akidah islamiah. Prinsip-prinsip pengaturannya didasarkan pada syariat Islam dan ditujukan untuk kemaslahatan rakyat. Penanganan bencana ini meliputi penanganan prabencana, ketika, dan pascabencana. Adapun kebijakan Khilafah untuk mencegah terjadinya banjir adalah sebagai berikut :
Pertama, pada kasus banjir yang disebabkan karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletsyer, rob, dan lain sebagainya, maka negara akan menempuh upaya-upaya sebagai berikut;
1.Membangun bendungan-bendungan yang mampu menampung curahan air dari aliran sungai, curah hujan, dan lain sebagainya. Di masa keemasan Islam, bendungan-bendungan dengan berbagai macam tipe telah dibangun untuk mencegah banjir maupun untuk keperluan irigasi. Di Provinsi Khuzestan, daerah Iran selatan misalnya, masih berdiri dengan kokoh bendungan-bendungan yang dibangun untuk kepentingan irigasi dan pencegahan banjir.
2.Negara akan memetakan daerah-daerah rendah yang rawan terkena genangan air (akibat rob, kapasitas serapan tanah yang minim dan lain-lain), dan selanjutnya membuat kebijakan melarang masyarakat membangun pemukiman di wilayah-wilayah tersebut
3.Negara membangun kanal, sungai buatan, saluran drainase, atau apa namanya untuk megurangi dan memecah penumpukan volume air; atau untuk mengalihkan aliran air ke daerah lain yang lebih aman. Secara berkala, mengeruk lumpur-lumpur di sungai, atau daerah aliran air, agar tidak terjadi pendangkalan.
4.Membangun sumur-sumur resapan di kawasan tertentu. Sumur-sumur ini, selain untuk resapan, juga digunakan untuk tandon air yang sewaktu-waktu bisa digunakan, terutama jika musim kemarau atau paceklik air.
Kedua, dalam aspek undang-undang dan kebijakan, negara akan menggariskan beberapa hal penting seperti kebijakan tentang master plan, mengeluarkan syarat-syarat tentang izin pembangunan bangunan, membentuk badan khusus yang menangani bencana-bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan berat, evakuasi, pengobatan, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana, menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai daerah cagar alam yang harus dilindungi, menetapkan kawasan hutan lindung, dan kawasan buffer yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan izin, terus menerus menyosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, serta kewajiban memelihara lingkungan dari kerusakan.
Ketiga, dalam menangani korban-korban bencana alam, negara akan segera bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana. Negara menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam tidak menderita kesakitan akibat penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai. Juga mengerahkan para alim ulama untuk memberikan taushiyyah-taushiyyah bagi korban agar mereka mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa mereka, sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah swt.
Dengan kebijakan ini, insya Allah, masalah banjir bisa ditangani dengan tuntas.
Wallahu A’lam bish shawab