
Dunia semakin mengalami kemajuan. Hidup pun demikian, semakin umur bertambah maka proses menghadapi kehidupan semakin banyak tantangan. Bagi mereka yang tidak kuat menghadapi dinamika hidup, mereka sering menggunakan cara yang tidak manusiawi. Sebut saja, prilaku yang keluar dari norma-norma hidup. Dan yang menjadi dampaknya adalah etika publik makin diabaikan.
Bahwa tidak bisa dipungkiri, bahwa dewasa ini kasus kekerasan yang terjadi menandai absen atau runtuhnya etika publik. Hidup seperti hanya milik dirinya. Sementara yang lain hanya menumpang. Demikian juga, maraknya eksploitasi terhadap hak-hak hidup lahir karena manusia telah membeda-bedakan dirinya dengan yang lain.
Dalam pandangan para pemikir, sebenarnya absennya etika publik muncul sebab identifikasi diri manusia ke dalam “aku dan kamu”. Dan lebih jauh lagi ke dalam “kita dan mereka”. Indentifikasi ini menjadi akar lahirnya permusuhan yang berujung kekerasan. Lihat saja, betapa rangkaian kekerasan menunjukkan hilangnya empati kemanusiaan sebagai makhluk yang sama-sama ingin hidup bahagia.
Bahwa sebetulnya etika publik pada dasarnya adalah penghargaan kita terhadap hak hidup orang. Atas nama apa pun, merusak dan mengganggu orang lain tidak bisa dibenarkan. Sebab melanggar hak asasi manusia yang sejatinya harus saling dijaga agar tatanan kehidupan menjadi membahagiakan.
Merujuk pendapatnya Jean Paul Sartre dengan teori eksistensialis, bahwa kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan setiap individu adalah kebebasan individu lain. Dengan demikian, kebebasan bagi eksistensialis bukan kebebasan membabi buta tanpa memperhatikan hak-hak orang lain.
Kesepakatan Bersama
Etika publik menjadi landasan tepat sebagai kesepakatan bersama, baik yang tertulis dalam kitab undang-undang ataupun kesepakatan berupa norma dalam sebuah masyarakat. Pada prinsipnya setiap etika publik mengandung esensi nilai kemanusian. Karena tidak mungkin sebuah masyarakat akan bersepakat mengenai hal-hal yang bertentangan dengan etika kemanusian, apalagi ajaran agama juga telah menyatu di dalamnya. Hanya saja sebagian manusia kadang menentang semua itu, sehingga mengakibatkan absennya etika yang melahirkan kekerasan sebagai dampak destruktif dari semua itu.
Menurut Simmel (1995), manusia secara tak terhindarkan akan berhadapan dengan kondisi-kondisi epistemologis, yakni sebuah proses pengenalan manusia. Proses mengakukan dan mengitakan serta mengamukan dan memerekakan adalah proses pengasingan dalam pengenalan manusia sebagai sesama. Pengasingan terhadap manusia yang lain, lahir karena egoisme diri dan ketidaksadaran pada kenyataan riil, bahwa manusia sejatinya tak bisa hidup tanpa orang lain.
Dalam bahasa Aristoteles manusia disebut makhluk zoon politicion yang selalu membutuhkan orang lain dalam interaksi kesehariannya. Kebutuhan itu menyangkut banyak hal, seperti kebutuhan ekonomi, sosial, pendidikan, politik ataupun agama. Mereka butuh pada orang lain untuk menjalankan tugas kemanusiaan yang digariskan oleh Tuhan pada manusia dalam mengelola kehidupan di muka bumi. Dalam bahasa Alquran disebut sebagai tugas khalifah fil ard. Kebutuhan ini sejatinya merupakan kodrat manusia, tetapi kadang- kadang manusia mengelak dari kodratnya. Mereka seolah-olah bisa hidup tanpa manusia yang lain. Sementara keberadaan seseorang menjadi bermakna, karena ada orang lain yang memaknai keberadaannya.
Misi Hidup
Setiap manusia pada prinsipnya menginginkan kebahagiaan dalam hidup. Itulah misi sejati setiap orang. Jauh di masa lalu, filsuf klasik Aristoteles telah menandaskan bahwa tujuan dasar hidup setiap manusia adalah kebahagiaan. Kebahagiaan menjadi sesuatu yang sangat berharga. Sejak kecil telah tertancap mimpi tentang kebahagiaan.
Antara orang satu dengan yang lainnya berbeda dalam mengartikan kebahagiaan. Mereka memiliki cara yang berbeda pula dalam mencapai kebahagiaan. Tetapi tetap ada etika publik yang harus dipenuhi agar kehidupan manusia tidak semrawut dan terjadi kekacauan yang mengancam kebahagian bersama. Karena setiap orang sama-sama sedang memburu kebahagiaan dengan caranya sendiri-sendiri. Pada saat itu etika publik harus ditegakkan dalam proses pencapaian kebahagiaan.
Dalam realitas keseharian, baik melihat secara langsung ataupun melalui berita di telivisi, media online ataupun koran seringkali kasus-kasus kekerasan dilakukan banyak orang. Sebagai contoh kasus terorisme agama, mereka berjuang demi mencapai kebahagiaan beragama. Tetapi sejatinya mengingkari etika publik, bahkan lebih dari itu mereka telah mengingkari nilai-nilai agama. Lebih keras lagi Nietzsche menyebutnya sebagai “pembunuhan terhadap Tuhan”.
Manusia sejatinya satu. Makhluk Tuhan yang sama-sama belajar menjadi yang sejati sebagaimana diajarkan dalam banyak agama. Tuhan telah menggariskan jalan hidup pada manusia. Garis hidup itu telah menyatu dalam kehidupan manusia menjadi kebudayaan. Ajaran agama sebagai jalan hidup telah menjadi etika publik yang menyatu dalam kitab undang-undang dan norma hidup masyarakat. Etika itu harus dipenuhi oleh setiap manusia jika dirinya menginginkan kebahagiaan sejati. Caranya, kita harus saling melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill), dan memajukan (to promote) hak-hak bersama sebagai manusia satu yang sama-sama menjalankan tugas kehidupan di muka bumi.
Agar manusia bisa saling melindungi, memenuhi, dan memajukan hak-hak bersama, mereka harus menghindarkan diri dari distingsi final manusia, yang oleh Schmitt disebut sebagai distingsi antara friend (kawan) dan enemy (lawan). Konsep kawan dan lawan ini bukan sekadar metafor ataupun simbol, tetapi sebuah konsep yang harus dimengerti dan dipahami dengan baik, guna menghindarkan diri manusia dari tindakan destruktif yang mengancam kebahagiaan bersama.
Dalam realitasnya, kawan dan lawan selalu bersifat antinomi. Karena itu, harus dihindari dalam kehidupan bersama. Manusia makhluk yang satu. Mahkluk yang sama-sama mencari kebahagiaan sejati. Semoga kita tetap damai antar sesama.