
Kurang lebih satu tahun menjelang perhelatan akbar politik lima tahunan di Indonesia, beberapa isu kepemiluan telah santer dibicarakan dalam ruang-ruang diskusi publik beberapa waku terakhir. Salah satunya mengenai wacana pengubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka menuju sistem proporsional tertutup. Kemunculan wacana ini mengundang atensi publik, dengan pelbagai sudut pandang, baik yang pro dan tidak sedikit juga yang kontra dengan wacana tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pemilu dan dinamikanya sudah menjadi perhatian publik, sekalipun implementasinya masih setahun lagi.
Dalam sudut pandang ilmu politik, sejatinya pemilihan umum merupakan prosedur formal dalam negara demokrasi. Pemilihan umum menjadi salah satu pilar utama dalam proses akumulasi kehendak masyarakat dalam memilih wakil-wakilnya di parlemen. Sentralitas pemilu dipandang sebagai cara paling demokratis untuk mengatur sirkulasi kepemimpinan. Bila dianalogikan ke dalam ilmu anatomi tubuh, hal ini semakin menegaskan bahwa pelaksanaan pemilihan umum merupakan salah satu organ paling vital yang dapat mendorong, ataupun menghambat proses demokratisasi di Indonesia.
Berdasarkan poin yang telah penulis paparkan sebelumnya, maka untuk mendorong pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia diperlukan suatu sistem pemilu yang ideal. Sistem ini kemudian akan berkorelasi dengan kualitas pemilu yang dihasilkan. Jika kita berharap pemilu yang baik, dan melahirkan wakil-wakil rakyat yang kompeten, maka sistem pemilu juga perlu diformulasikan sebaik mungkin untuk menunjang keberhasilan pemilu yang akan datang. Oleh karena itu, menjadi keharusan untuk setiap insan masyarakat dalam memahami kelebihan dan kekurangan sistem pemilu di Indonesia.
Kenapa Proporsional Tertutup?
Sederhananya, sistem proporsional tertutup didefinisikan sebagai salah satu sistem perwakilan berimbang di mana pemilih hanya dapat memilih partai politik secara keseluruhan dan tidak dapat memilih kandidat. Sistem proporsional tertutup kian santer diperbincangkan dalam pelaksanaan pemilihan umum 2024 mendatang. Terlebih, hal ini terus dibahas sejak dilakukannya uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum terkait sistem proporsional terbuka ke Mahkamah Konstitusi-sebagai lembaga peradilan konstitusi tertinggi di Indonesia.
Pelbagai alasan muncul terkait wacana pengubahan sistem pemilu nantinya. Sistem proporsional tertutup disinyalir dapat meminimalisir praktik politik uang yang terus menjangkit ketika proses pemilihan umum akan dilakukan. Politik uang seperti sudah menjadi kewajaran bila memasuki musim pemilu. Hal inilah yang kemudian mendorong beberapa pihak untuk mendukung pengubahan sistem pemilu, dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Biaya politik yang tinggi, dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap kinerja dan tujuan dari calon terpilih, dan berpotensi melahirkan budaya korup dalam lembaga perwakilan di Indonesia.
Akan tetapi, apabila kemudian dikatakan tujuan dari sistem proporsional tertutup adalah untuk mengurangi praktik politik uang, bukankah dengan dilimpahkannya kekuasaan sepenuhnya kepada partai politik juga dapat menjadikan perputaran uang di dalam internal partai politik menjadi lebih besar lagi? Pada akhirnya biaya politik yang sebelumnya tinggi untuk proses kampanye, justru beralih ke dalam tubuh internal partai, dan melahirkan praktik politik transaksional yang kian kentara. Kita kembali kepada adagium bahwa antara politik dan uang, merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Lebih lanjut, sistem proporsional tertutup sebenarnya juga dapat meningkatkan peran partai politik dalam kaderisasi sistem perwakilan dan mendorong terjadinya proses institusionalisasi dalam tubuh partai politik. Sejauh ini, penulis memahami bahwa kaderisasi partai politik tidak berjalan semestinya, karena yang diusung nantinya hanya yang memiliki elektabilitas yang kuat, dan memiliki peluang besar untuk memenangkan kontestasi politik. Seringkali terjadi fenomena figur artis yang dicalonkan, padahal partai memiliki kadernya sendiri. Kenapa? Apa yang kemudian dipertimbangkan? Jelas, elektabilitas kadernya tidak lebih tinggi dari figur yang dicalonkan.
Kaitan dengan Kebebasan Sipil
Secara historis, sistem proporsional terutup juga mengingatkan kita pada praktik era orde lama dan orde baru. Hal tersebut berimbas kepada meningkatnya kekuasaan kepartaian, dan pengaruh tersebut pada akhirnya melahirkan kekuasaan partai tunggal yang berujung kepada power antagonism atau kekuasaan yang bersifat otoriter. Sementara, sistem proporsional terbuka pertama kali dilakukan pada Pemilihan Umum Tahun 2004, dengan tujuan proses tersebut menjadi lebih demokratis dan transparan, atau dapat dikatakan setiap partai memiliki hak yang sama, dan peta kekuasaan dapat terus berubah. Dengan hal itu, diharapkan proses sirkulasi elit dapat terjadi.
Seperti apa yang sudah penulis paparkan sebelumnya, bahwa dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya dapat memilih partai politik saja, tanpa mengetahui siapa kandidat yang diusung oleh partai politik tersebut. Hal ini jelas menciderai cita-cita reformasi, bahwa proses demokrasi mestinya dilakukan secara terbuka dan transparan. Pemilihan umum langsung merupakan produk reformasi yang lahir dari proses desakkan mahasiswa dan masyarakat sipil dengan tujuan melahirkan kehidupan demokrasi yang lebih baik lagi di Indonesia.
Pasca reformasi, pemilu merupakan instrumen sirkulasi kepemimpinan nasional dan daerah. Formasi kekuasaan yang semula didominasi oleh kekuatan elit penguasa orde baru, telah berubah ke arah yang lebih variatif. Kemenangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada pemilu era reformasi, telah mengubah wajah formasi kekuasaan elit politik dihampir seluruh cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif di Indonesia. Konstelasi kekuasaan yang semula didominasi oleh kekuatan orde baru, pada akhirnya tampak lebih variatif dan memberikan hak yang seimbang antar kekuatan politik di Indonesia.
Dalam konteks reformasi, pemilihan umum merupakan karya politik gerakan reformasi. Karena melibatkan massa akar rumput, baik mahasiswa, intelektual, maupun masyarakat sipil yang lebih luas lagi. Kesadaran politik tersebut lahir dari kesadaran individu pasca kehidupan demokrasi beberapa dekade pada era orde baru. Pemilu yang terjadi pada awal reformasi merupakan pemilu non-mobilisasi, sekaligus bertujuan untuk menegakkan hak-hak politik masyarakat sipil yang dalam kekuasaan orde baru, kurang terakomodasi dengan baik. Hal tersebutlah yang kemudian melahirkan gerakan perlawanan masyarakat sipil untuk menentang kekuasaan otoriter orde baru pada masa itu.