oleh : Aji Pangestu (Aktivis Forum Mahasiswa Ciputat)
Pedih rasanya membaca hasil investigasi Kompas 10/2/ tentang perjokian karya ilmiah di
kalangan mahasiswa, dosen dan guru besar belakangan ini. Bagaimana tidak, warga kampus yang
harusnya menjadi benteng paling depan menyuarakan nilai-nilai moral dan kebajikan malah
mencoreng nilai-nilai luhur itu sendiri.
Memang beberapa tahun terakhir pemerintah berupaya menggenjot mutu perguruan tinggi
agar setara dengan kampus terkemuka dunia. Memperbanyak publikasi di jurnal internasional
bereputasi atau terindeks Scopus adalah salah satu cara yang dipakai. Secara kuantitas, data
dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukan, dalam kurun 2017-2021, ada
kenaikan 7-13 persen jumlah artikel terindeks Scopus.
Sayangnya, meningkatnya kuantitas publikasi tidak berbanding lurus dengan kualitas yang
sesuai dengan aturan ketat kepenulisan karya ilmiah. Indonesia menjadi negara terbanyak kedua
penghasil jurnal ilmiah predator terindeks Scopus selama periode 2015-2017 (Charles University,
2021). Selain itu, berdasarkan hasil temuan tim investigasi Kompas ada 7 artikel ilmiah dosen dari
berbagai kampus yang memiliki korespondensi yang sama. Artikel ilmiah ini diduga kuat dibuat
untuk kepentingan kenaikan pangkat para dosen.
Pragmatisme Pendidikan
Tentu saja, fenomena perjokian karya ilmiah yang menjamur belakangan ini menandakan
beberapa catatan penting.
Pertama, pragmatisme pendidikan masih kuat bersemayam pada para
akademisi di berbagai perguruan tinggi. Sebab, perjokian karya ilmiah adalah cara kotor yang
paling cepat menjadi jalan pintas untuk menerbitkan karya ilmiah. Dengan diterbitkannya karya
ilmiah pada jurnal yang bereputasi, para akademisi akan lebih mudah untuk mendaki puncak karir
kenaikan jabatan.
Praktik semacam itu dalam istilah Zuly Qodir disebut sebagai “prostitusi akademik” para
akademisi yang rakus pada kekayaan dan jabatan dengan menggunakan berbagai cara untuk
mencapainya. Pada titik inilah benar kata Julien Benda (1997) para cendikiawan priyayi yang
memperjuangkan posisi jabatannya tanpa melibatkan diri dalam memperjuangkan kemanusiaan
atau pun perang melawan kejahatan adalah “para pengkhianat akademik”
Kedua, praktik perjokian karya ilmiah akan mencederai mutu pendidikan. Sebab, dalam
nalar pendidikan yang ideal, cendikiawan seharusnya menjadi pilar utama penunjang pendidikan
bukan malah meruntuhkannya. Para dosen dan guru besar seharusnya menjadi role model bagi
tegaknya nilai-nilai etik akademik justru menghadirkan tontonan yang tidak sedap dengan
membiarkan dirinya menyewa jasa calo untuk mengerjakan tugas moral yang mestinya dia emban.
Cendikiawan sudah seharusnya tidak mengejar tujuan-tujuan praktis, tapi mencari kegembiraan
dalam mengolah seni atau ilmu atau renungan metafisik-singkatnya memiliki sesuatu yang bukan
duniawi (Julien Benda, 1997)
Ketiga, merebaknya praktik perjokian karya ilmiah menandakan bahwa lemahnya
pengetahuan tentang standar, budaya, serta norma publikasi ilmiah yang baik. Artinya, niat
pemerintah menggenjot kuantitas publikasi ilmiah itu harus dibarengi dengan pendampingan,
sosialisasi, dan pengawasan yang memadai oleh akademisi senior, sebagaimana yang tertuang
dalam pedoman Penilaian Angka Kredit Dosen (PO-PAK) keluaran Dikti. Dengan demikian,
tindakan ini akan menjadi salah satu upaya untuk mengurangi percaloan publikasi di negara ini.
Selain itu, pemerintah dan perguruan tinggi harus menindak dengan tegas siapapun yang
menggunakan atau menjual jasa terkait perjokian karya ilmiah. Sebab, jika fenomena semacam ini
tetap saja dibiarkan dan tidak ada penanganan yang serius. Reputasi akademisi Indonesia menjadi
taruhannya. Sebagai dampaknya, kesan yang muncul tentang Indonesia di mata dunia tidak lain
sebagai negara yang hanya bisa menerbitkan jurnal-jurnal bajakan atau kloning yang secara tidak
langsung akan meluluhlantakkan reputasi kita di mata global.
Karena itu, maraknya perjokian karya ilmiah di lingkungan kampus adalah aib yang tidak
boleh dinormalisasi. Kebiasaan menggunakan calo untuk menerbitkan karya ilmiah harus segera
dihentikan. Perbuatan yang melanggar kode etik akademik semacam itu tidak boleh menjadi
praktik yang terus dibudayakan. Sisi gelap dunia pendidikan ini barangkali menambah daftar dosa
besar perguruan tinggi di samping intoleransi, kekerasan seksual dan perundungan.