
Kedaulatan bangsa Indonesia telah diraih sejak proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 yang di tandatangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta yang masing-masingnya merupakan Presiden dan Wakil Presiden pertama Indonesia. Makna kedaulatan secara harfiah bermakna terlepas dari segala pengaruh negara lain dalam menentukan masa depan bangsa secara merdeka.
Tidak terkecuali di bidang agraria sebagai salah satu jalan yang paling menonjol untuk diinvasi para penjajah. Sekaligus sebagai sumber pesakitan bangsa Indonesia melalui berbagai kebijakan yang tidak memihak pribumi (rakyat Indonesia) di masa lalu. Mulai masa Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) (1602-1799) melalui kebijakan contingenten yaitu pajak yang dikenakan untuk hasil tanah pertanian, Verplichte leveranten yaitu menyerahkan seluruh hasil panen yang kemudian dibayar dengan harga yang telah ditetapkan secara sepihak oleh kompeni dengan para raja dan Roerendiensten atau kerja rodi. Pun pada masa Pemerintahan Gubernur Herman Willem Deandles (1800-1811) melalui kebijakan tanah partikelir yang memiliki hak pertuanan, dimana hak pertuanan dimaksudkan kepada pemegang hak yang memiliki hak-hak istimewa kenegaraan seperti mengangkat dan memberhentikan kepala desa.
Selanjutnya, pada masa pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816) melalui kebijakan land rent atau dikenal dengan sebutan pajak tanah. Pada masa pemerintahan Gubernur Johannes van den Bosch (1830) melalui kebijakan pertanahan berupa sistem tanam paksa atau dikenal dengan Cultuurstelsel. Lalu di masa penjajahan Jepang melalui kebijakan Romhusa (1942-1945).
Sehingga dengan semangat kedaulatan yang telah dipegang saat ini diharapkan mampu menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia sebagai refleksi kemerdekaan atas kedaulatan bangsa Indonesia. Salah satunya melalui pemanfaatan kedaulatan di bidang agraria secara merdeka dengan mengutamakan kesejahteraan rakyat di atas segala-galanya.
Sebagai landasan pengaturan agraria yaitu Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) ditegaskan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Melalui bunyi pasal tersebut menegaskan bahwa negara bukanlah pemilik melainkan hanya sebagai penguasa terhadap tiga elemen tersebut. Selanjutnya yang diakui sebagai pemilik adalah seluruh bangsa Indonesia melalui negara sebagai fasilitator yang diwakilkan oleh negara Indonesia dalam mewujudkan ‘sebesar-besar kemakmuran rakyat’. Hal ini sejalan dengan “Asas Hanya warga Negara Indonesia yang Mempunyai Hak Milik Atas Tanah” yang terkandung dalam asas pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau dikenal dengan sebutan UUPA.
Oleh karena itu, sebagai negara hukum yang di dalamnya harus tunduk dan patuh terhadap aturan yang berlaku. Bangsa Indonesia harus sadar bahwa kedaulatan agraria berada di tangan seluruh rakyat Indonesia. Namun, ‘jauh panggang dari api’, jauh penyimpangan implementasi dari ketentuan hukum positif menyebabkan ketimpangan terhadap kedaulatan agraria bangsa Indonesia.
Pertama, semakin berkurangnya persediaan hutan di Indonesia yang disebabkan oleh ‘pengangkangan’ terhadap kedaulatan bangsa Indonesia yang tergores melalui pertambangan emas di Indonesia yang mencapai 1.181.071,52 hektare dan tambang nikel seluas 520.877,07 hektare (dataindonesia.id, November 2020).
Kedua, dapat dilihat melalui jumlah pengusaha bidang perkebunan sawit di Indonesia, mengutip dari Badan Pusat Stasistik (BPS) pada tahun 2021 terdapat 3.557 perusahaan besar di Indonesia meliputi 2.892 perusahaan kelapa sawit. Dalam hal ini menjadikan perusahaan sawit sebagai perusahaan terbesar bidang perkebunan di Indonesia yaitu mencapai 16,8 juta hektar (melansir bpdp.or.id, 2022).
Faktanya, kurangnya persediaan lahan hutan di Indonesia ternyata bukan disebabkan oleh pemanfaatan rakyat Indonesia terhadap sumber daya hutan yang berlebihan melainkan akibat keserakahan perusahaan swasta dan perusahaan asing.
Sehingga keadaan tersebut menyebabkan terjadinya ketimpangan kepemilikan lahan, salah satunya dipengaruhi oleh faktor luasnya lahan yang digunakan perusahaan sawit swasta. Bagaimana tidak bahwa dari 53 Juta hektare penguasaan/pengusahaan lahan yang diberikan pemerintah, hanya 2,7 juta hektare yang diperuntukan bagi rakyat, tapi 94,8 persen bagi korporasi (databoks.katadata.co.id, Agustus 2022).
Dari beberapa data yang telah diuraikan di atas memunculkan sebuah kesimpulan bahwa dengan menjamurnya perusahaan atau korporat di Indonesia terutama perusahaan asing akan mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan yang menyebabkan semakin tergerusnya sisa hutan di Indonesia. Serta keadaan demikian akan semakin memunculkan kesakitan bagi rakyat Indonesia sebagai pemilik kedaulatan ketika melihat alamnya semakin rusak dan tidak pernah merasakan manfaat yang nyata.
Oleh karena itu, dengan semangat mempermudah investasi yang digagas oleh Pemerintah Joko Widodo saat ini sama saja dengan mempermudah untuk menjual lahan Indonesia ke pihak pengusaha dan pihak asing. Kondisi saat ini akan menyatakan secara impilisit bahwa kedaulatan bangsa Indonesia di bidang agraria hanyalah pengakuan semu belaka. Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perpu Ciptaker di akhir tahun 2022 oleh Presiden akan berpotensi untuk merusak kedaulatan bangsa Indonesia terhadap agraria di negara sendiri.
Sehingga tidak masuk akal ketika saat ini pemerintah Indonesia menjadikan penerbitan Perpu Ciptaker sebagai alasan untuk membangun perekonomian nasional dengan mengesampingkan kesejahteraan masyarakat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Pun pribahasa ‘terjajah di negara sendiri’ akan benar-benar terwujud dan akan menjadi malapetaka yang sangat menyakitkan bagi bangsa Indonesia.
Namun, keadaan ini tidak boleh berlangsung terlalu lama, sehingga melalui tulisan ini dapat dijadikan sebagai refleksi penyadaran terhadap kedudukan bangsa Indonesia sebagai pemegang kedulatan tertinggi. Dengan kesadaran tersebut seyogianya dijadikan sebagai batu landasan untuk melaksanakan kedaulatan tertinggi tersebut.
Karena sebagai jalan pembangunan ekonomi nasional yang paling masuk akal hanya dapat ditempuh melalui pelaksanaan kedaulatan yang sah, artinya sebagai pemilik yang sah dengan berbagai kekayaan yang ada di Indonesia merupakan anugerah dalam memperbaiki kondisi bangsa Indonesia. Sehingga dengan implementasi mengutamakan dan melaksanakan pembangunan melalui kepemilikan agraria yang berada di tangan seluruh bangsa Indonesia secara merata merupakan gagasan yang paling ‘membumi’ dan sesuai dengan amanat konstitusi yang secara sah diatur dalam UUD 1945.