Oleh : Aji Pangestu, Aktivis Forum Mahasiswa Ciputat
Empat tahun lalu, ketika dilantik untuk kedua kalinya sebagai presiden, Joko Widodo berjanji akan memperkuat pemberantasan korupsi. Sayangnya, sampai hari ini, jangankan membasmi bibit-bibit koruptor, menguatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan menekan
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) saja pemerintah tampaknya kewalahan.
Berdasarkan laporan Transparency International Indonesia (TII) IPK Indonesia melorot empat poin dari semula 38 pada tahun 2021 menjadi 34 pada tahun 2022. Dengan skor 34 Indonesia menempati peringkat ke-110 dari 180 negara. Bandingkan ketertinggalan kita dengan Malaysia (skor 47), Timor Leste (42) dan Vietnam (42). IPK Indonesia saat ini sama dengan negara berkembang lain seperti Bosnia-Herzegovina, Gambia, Malawi, Nepal dan Sierra Leone.
Indeks persepsi korupsi adalah sebuah instrumen yang dipakai TII untuk mengukur tingkat korupsi suatu negara. Semakin tinggi nilai persepsi sebuah negara artinya semakin tinggi pula korupsi yang terjadi di negara tersebut.
Prof Dr Azyumardi Azra dalam kolomnya di Kompas 04/02/2021 menulis,”Kemerosotan IPK Indonesia jelas bukan sekadar angka, juga bukan sekedar statistik. Menurunnya IPK itu juga mencerminkan kemerosotan substansi kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menciptakan tata pemerintah yang baik” dengan demikian wajar jika kita perlu khawatir dengan merosotnya IPK Indonesia ini.
Korupsi seperti penyakit menahun yang tidak pernah habis, ia merupakan masalah serius yang diidap bangsa Indonesia. Data KPK menunjukan dari kurun waktu 2004-2022 setidaknya ada 521 orang terjerat korupsi. Nyaris di setiap profesi punya perwakilan di penjara, fakta keras ini sungguh memalukan sekaligus menyedihkan.
Jalan Pintas
Ada banyak faktor yang secara simultan menjadi penyebab lahirnya fenomena tersebut.
Berbagai upaya justru dirancang untuk melemahkan lembaga antirasuah di negara ini. Tentu kita
tidak lupa dengan Revisi UU KPK yang banyak mendapatkan penolakan dari ribuan massa. Tidak puas dengan RUU KPK, pemerintah juga mempreteli KPK dengan membuat tes wawasan kebangsaan untuk menyingkirkan petugas senior di KPK yang sudah berkompeten dan dianggap berbahaya seperti Novel Baswedan dan beberapa kawannya yang lain.
Membaca gelagat yang dipertontonkan nampaknya pemerintah jauh dari serius menangani persoalan akut yang terus terjadi di negara ini. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa upaya di atas dan tanggapan pejabat pemerintah yang mewajarkan bahwa korupsi seolah adalah bagian dari budaya kita yang sudah mendarah daging.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD misalnya, mengklaim sudah memprediksi penurunan IPK 2022. Sebab, kata dia, banyaknya kasus yang ditangkap karena tindak pidana korupsi pada acara Lemhanas RI (1/2/2023).
Sebelumnya, pernyataan yang kontroversial juga dilontarkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, yang minta aparat tidak menyelidiki kepala daerah agar penyelidikan tersebut tidak mengganggu kinerja para kepala daerah.
Jauh sebelum itu, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan mengatakan agar aparat tidak melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dengan tiba-tiba dan sebaiknya melakukan perbaikan sistem internal untuk melakukan pelayanan masyarakat serta meningkatkan pengawasan.
Narasi yang dibangun oleh pemerintah di awal kekuasaan seolah bertolak belakang dengan realitas yang terjadi sekarang. Tindakan yang diambil oleh pemerintah jelas kontraproduktif dengan janji-janji yang sudah diucapkan.