
Bangsa Indonesia memiliki pengalaman panjang yang terus berkelindan dan mewarnai segala perjalanannya, baik terkait pertarungan politik, ideologi, bahkan sampai pada konflik keagamaan yang diseret pada ruang-ruang publik dan semakin populer. Sejauh ini, konflik keagamaan masih digemari oleh kelompok-kelompok tertentu yang mengafirmasi bahwa Islam sebagai sistem kenegaraan, tentunya dengan ragam strategi yang telah diupayakan. Salah satu yang menjadi gerakan nyata ketika keterlibatan kelompok tersebut dibeberapa tempat, momen bahkan dibeberapa instansi-instansi atau kelembagaan untuk mingintroduser Islam sebagai agama yang memiliki proyek politik kekuasaan.
Fakta sosiologis Indonesia, memang tidak dapat dilepaskan pada isu-isu keagamaan dengan tradisi masing-masing. Sayangnya, kita selalu diantarkan pada persoalan-persoalan internal keagamaan yang mengabaikan fakta-fakta sosiologis dan empiris akibat konsekuensi sistem reformasi pasca orde baru. Reformasi yang dilahirkan menginspirasi kelompok garis geras untuk berselancar dengan beragam bentuk dan strategi, senyatanya kelompok ini adalah produk-produk yang bisa dikatakan produk orde baru secara tidak langsung akibat belenggu, karena hal yang tak terduga peralihan orde baru ke reformasi ialah menjamurnya gerakan Islam baru di Indonesia. kelompok ini hadir sebagai wajah varian Islam dengan visi-misi politik agama dan negara.
Pada titik ini, penulis ingin mengajak pada suatu persoalan yang dianggap biasa-biasa saja namun memiliki dampak besar, seperti penyebaran selebaran buletin di beberapa masjid yang kontennya seringkali menggiring publik pada penerapan Islam sebagai sistem, seperti dengan judul buletin “Amanah Jabatan dan Kekuasaan” dan juga dengan judul “Penerapan Syariah Kaffah: Konsekuensi Tauhid Sekaligus Selamatkan Negeri”. Narasi yang dibangun adalah “kepentingan internal” dengan melakukan hegemoni terhadap Jemaah. Kelompok ini dikenal populer dengan Islam non-mainstream yang antitesa terhadap budaya Pemerintahan saat ini. Jika hal demikian terus berkelanjutan, maka Islam non-mainstream akan menjadi patron segala aspek, termasuk mengatur negara, sementara Islam mainstream akan tergerus dan bergerak ke kawasan pinggiran, sebagaimana yang diungkapkan Abdurrahman Wachid.
Kita tahu bahwa belakangan ini wacana politik pun didominasi kelompok garis keras, meskipun partisipan tidak sesignifikan kelompok Islam Moderat, namun nampaknya kelengangan selalu menjadi peluang bagi setiap gerakan kelompok Islam garis keras dalam menyampaikan gagasan-gagasannya. Kelompok Islam garis keras atau Islam non-mainstream semakin populer di ruang-ruang kebangsaan. Bahkan dibeberapa tempat Ibadah (masjid) konsisten setiap Jum’at selalu ada selebaran tentang kampanye Islam sebagai sistem dengan berbagai judul dan isu kekinian yang diangkat.
Masjid Sebagai Sosialisasi Islam Moderat
Tidak berlebihan, jika masjid harus benar-benar menjadi ladang kurikulum tentang pengarusutamaan Islam Moderat, masjid harus menghadirkan kajian-kajian tentang kenegaraan dengan membumikan Pancasila sebagai dasar negara melalui perspektif keumatan serta keagamaan. Sudah saatnya masjid juga menjadi tempat pikiran kenegaraan yang sejauh ini tidak secara konsisten berbicara masalah dakwah dengan tema-tema kenegaraan. Dibeberapa masjid yang diketahui penulis belum seutuhnya konsisten mendakwahkan isu-isu krusial tentang bahaya pemahaman Islam non-mainstream. Tentunya masjid tidak sekedar menjadi tempat ibadah, namun masjid hadir sebagai benteng keumatan di tengah gejolak konflik keagamaan dan kenegaraan.
Islam non-mainstream atau Islam “garis keras” memiliki semangat responsif terhadap budaya-budaya yang datang dari barat, melalui penelitian guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof NurSyam dijelaskan bahwa proyek modernisasi dengan berbagai jebolannya menjadi musuh besar baginya. Mereka getol menyampaikan ide-ide tafsirnya dibeberapa momentum yang mereka anggap benar. Sementara persoalan selanjutnya pada bagian tersebut bahwa bukan hanya pada sikap kontroversialnya terhadap konsep negara namun juga pada nilai-nilai Islam yang dipahami cenderung menghadirkan pemaknaan yang provokatif, seperti fenomena Khutbah Jum’at di salah satu masjid di Pamekasan. Dibeberapa penelitian disebutkan bahwa kelompok-kelompok islam non-mainstream pada awalnya sekedar bebicara masalah agama sebagai fundamental kehidupan namun jebolannya selalu pada pengembalian masyarakat dalam pengakuan Islam yang secara ajaran dan kandungannya dapat mengatur secara signifikan dan total tentang kehidupan manusia.
Membenturkan kuasa Pemerintah dan kuasa agama hanya akan melahirkan kuasa-kuasa baru yang melibatkan perpecahan publik, sementara kedua kuasa tersebut adalah dinamika yang senyatanya saling mewarnai, sehingga kuasa memiliki otoritas atas jaminan terhadap kepentingan bangsa. Sementara menurut Michel Foucault dalam teori geneologinya bahwa kuasa dimiliki setiap orang atas dirinya, namun pada fenomena-fenomena ini kuasa telah diintervensi oleh kepentingan-kepentingan berbagai pihak.
Oleh sebab itu, guna menekan gejolak konflik agama dan negara, tempat-tempat ibadah (masjid) harus memiliki kurikulum tentang kajian-kajian keagamaan dan kenegaraan secara berkelanjutan. Sehingga masjid tidak mudah menjadi ladang penyebaran kebencian atas negara melalui agama oleh kelompok-kelompok tertentu yang memiliki penafsiran berbeda terhadap negara dalam perspektif agama yang dinilai provokatif. Masjid harus juga memiliki keterlibatan atas pencegahan pada doktrinasi-doktrinasi secara kaffah yang menghadirkan perpecahan, baik doktrinasi melalui selebaran buletin dengan isu Khilafah Islamiyyah atau doktrinasi dengan pendekatan-pendekatan lainnya.