Berdasarkan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, proporsi perceraian hidup penduduk di provinsi Kalimantan Selatan terbesar nasional, yaitu mencapai 2,12% dari total penduduknya. Tercatat, dari sebanyak 4,12 juta jiwa penduduk Kalimantan Selatan, ada 87,41 ribu jiwa penduduk yang berstatus cerai hidup pada Desember 2021. Dengan demikian, persentase penduduk yang berstatus cerai hidup di Kalimantan Selatan merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya.
Hal paling mendasar untuk menemukan solusi tuntas dari masalah perceraian adalah dengan menelusuri akar masalahnya. Banyak pihak menuding pernikahan dini sebagai penyebab perceraian. Pihak lain menyatakan rapuhnya ketahanan keluarga yang tecermin dari ketimpangan peran ekonomi antara suami dan istri sebagai faktor penyebab perceraian. Pada Maret 2021, Komnas Perempuan menyatakan bahwa berdasarkan catatan Pengadilan Agama, penyebab tertinggi perceraian adalah perselisihan dan pertengkaran terus-terusan.
Selanjutnya adalah masalah ekonomi, salah satu pihak meninggalkan pihak lainnya, dan adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perlu kita pahami bahwa sebab-sebab tersebut hanyalah cabang. Ada sebab lain yang memunculkan persoalan tersebut, yaitu sistem kehidupan yang diterapkan negara dan masyarakat. Sistem tersebut adalah kapitalisme yang menjadikan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan. Seseorang merasa bahagia ketika mampu memenuhi seluruh kebutuhannya, primer hingga tersier.
Rumah mewah, makanan enak, perhiasan, mode, ataupun jalan-jalan, semua menjadi kebutuhan. Jika “kebutuhan” ini tidak terpenuhi, ia merasa kurang bahagia dan muncullah berbagai konflik dalam rumah tangga. Di sisi lain, sistem ekonomi kapitalisme menjadikan sumber daya hanya bisa terakses oleh kaum bermodal. Muncullah kesenjangan antara golongan kaya dan miskin. Selain itu, kapitalisme menjadikan semua kebutuhan sebagai ladang bisnis. Pendidikan dan layanan kesehatan menjadi teramat mahal.
Tidak heran jika tekanan hidup terus meningkat. Suami rentan melakukan KDRT. Istri mudah mengambil keputusan singkat: pergi dari suami untuk bekerja, menjadi TKW di luar negeri, atau berpaling ke laki-laki lain. Inilah yang memunculkan faktor ekonomi di balik perceraian. Kapitalisme pun biasanya berjalan bersisian dengan liberalisme ‘paham kebebasan’. Perempuan yang tidak menutup aurat, laki-laki dan perempuan bercampur baur tanpa kepentingan yang mengharuskan, khalwat, maupun pergaulan tanpa batas, menjadikan perselingkuhan marak di tengah masyarakat.
Tidak hanya suami yang berselingkuh, istri juga sering kebablasan dengan menyimpan PIL (pria idaman lain, ed.). Apalagi dengan menjamurnya media sosial, peluang berselingkuh makin terbuka lebar. Akibat liberalisme, masalah-masalah perselingkuhan dianggap sebagai masalah pribadi yang tidak layak dicampuri orang lain. Kontrol sosial menjadi mandul. Belum lagi sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan.
Paham ini membuat umat Islam memandang agama sebagai ritual semata. Dalam kehidupan sehari-hari, hukum agama dipinggirkan. Kaum muslim pun makin jauh dari ketakwaan. Yang terjadi kemudian adalah para suami yang tidak paham kewajiban menafkahi istri dan anak-anak, menelantarkan mereka dan mengabaikan tanggung jawabnya. Begitu pula suami-suami yang suka melakukan kekerasan terhadap istri, berselingkuh, berpoligami secara tidak adil, dan kezaliman lain yang menyalahi syarak.
Semua berujung perselisihan dan keretakan rumah tangga yang sering kali diakhiri dengan gugatan cerai istri kepada suami. Inilah sejatinya penyebab tingginya perceraian, terutama gugat cerai. Selama kapitalisme beserta turunannya tidak dibongkar habis, masalah perceraian akan terus marak. Bahkan, di negara-negara Eropa dan Amerika yang menjadi lokomotif kapitalisme, tingkat perceraian hampir mencapai 50%.
Melihat akar masalah perceraian tersebut, kita juga bisa mengetahui persoalan penguatan ketahanan keluarga tidak akan bisa menjadi solusi. Ini karena apa pun yang dikatakan sebagai “ketahanan keluarga” hanya terdiri dari faktor-faktor yang bersifat semu. Seperti faktor ekonomi yang diperkuat dengan melibatkan perempuan untuk mendapatkan penghasilan, justru akan memunculkan banyak persoalan baru. Tatkala para ibu sibuk menambah penghasilan keluarga, anak-anak terabaikan.
Coba tengok fakta mengerikan anak-anak pada hari-hari belakangan. Ada anak yang terjebak perundungan hingga depresi. Sebagian lagi tumbuh sebagai para pelaku perundungan yang tidak lagi punya nurani. Data survei Reckitt Benckiser Indonesia pada 2019 menyebutkan, 33% remaja Indonesia telah melakukan hubungan seksual. (Kumparan, 18/11/2021).
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menyatakan, anak 11—14 tahun yang sudah melakukan hubungan seksual mencapai 6%. Sebanyak 74% anak laki-laki dan 59% anak perempuan pada usia 15—19 tahun mengaku sudah pernah melakukannya. (Antara News, 07/01/2022). Belum lagi soal tawuran, narkoba, dan anak-anak korban kekerasan, semua lepas dari perlindungan dan pengawasan keluarga.
Lantas, apabila ayah dan ibu terbebani kerja sekaligus pengasuhan, pendidikan, dan pengawasan anak jelas akan menciptakan tekanan tersendiri bagi masing-masing mereka dan memecah konsentrasi dalam bekerja. Apalagi ketika orang tua sendiri jauh dari pemahaman agama. Begitu pula pencegahan pernikahan dini, bukanlah solusi.
Masalahnya bukan pada umur berapa seseorang menikah, melainkan lebih pada pembentukan kepribadian dan pendidikan untuk mematangkan emosi dan menanamkan pemahaman yang benar. Inilah yang tidak didapatkan anak-anak, baik di rumah maupun sekolah.
Pernikahan adalah peristiwa sakral dalam interaksi manusia. Secara alami, manusia memiliki keinginan untuk melanjutkan keturunan. Melalui pernikahan, keinginan ini terwujud. Ini bersifat fitrah, sebab keinginan tersebut muncul secara naluriah. Manifestasi dari fitrah ini memunculkan keinginan untuk memiliki pasangan sah, hidup bersama, memiliki keturunan dan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Hanya saja, menjalani pernikahan tentu tidak semudah yang dibayangkan oleh mereka yang sedang dimabuk asmara. Terlebih lagi, saat pernikahan tidak dibarengi ilmu dan semata mengandalkan perasaan. Maka tidak tepat jika fakta pernikahan yang berujung perceraian menjadi dalih untuk takut menikah. Terlebih mengeluarkan pendapat bahwa rasa cinta akan hilang seiring usia pernikahan yang kian bertambah.
Aturan Islam juga mengenalkan kita pada kewajiban nafkah. Suami wajib hukumnya menafkahi anak dan istri. Apabila suami ingkar, pengadilan berhak memaksa atau menyita harta suami untuk menafkahi keluarganya secara layak. Apabila suami tidak mampu karena sakit atau cacat, kewajiban tersebut berpindah kepada para wali dari jalur suami. Apabila ternyata mereka semua miskin, negaralah yang mengeluarkan nafkah dari kas negara.
Selain itu, negara wajib menyediakan lapangan kerja yang luas agar para suami dapat bekerja dan menafkahi keluarganya. Dalam Islam, semua sumber daya alam strategis adalah milik umat yang dikelola negara. Dengan pemasukan yang besar dari semisal tambang, hutan, perairan, dan sumber daya alam lainnya, bukan hal mustahil bagi negara untuk menciptakan lapangan kerja yang luas dan menjamin kebutuhan individu warga negaranya. Dengan mekanisme ini, penyebab perceraian dari faktor ekonomi dapat terhindarkan.
Dari sisi kebebasan, Islam memang menghargainya, tetapi tetap menjaga agar kebebasan tersebut bernilai positif bagi kehidupan. Islam memberi kebebasan bagi perempuan beraktivitas di luar rumah, misalnya. Untuk mencegah dampak negatif dari keluarnya perempuan di ruang publik, seperti pergaulan bebas dan perselingkuhan, Islam mengharuskan perempuan maupun laki-laki terikat dengan seperangkat aturan.
Mereka wajib menutup aurat, tidak berkhalwat, menjaga pandangan, serta menjaga izzah (kehormatan). Khusus bagi perempuan, mereka wajib berjilbab, tidak tabaruj, dan tidak bersafar sehari semalam lebih tanpa mahram. Kemudian media massa, mereka bebas menyebarkan berita, tetapi berkewajiban untuk memberikan pendidikan bagi umat, menjaga akidah dan kemuliaan akhlak, serta menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat.
Dengan aturan Islam, ketakwaan dan kemuliaan masyarakat akan senantiasa terjaga. Perselingkuhan bisa dicegah sehingga keberlangsungan rumah tangga dapat terjaga. Selain itu, Islam memberikan seperangkat aturan untuk menjaga agar tidak mudah terjadi perceraian. Salah satunya dengan menyolusi setiap perselisihan antara suami istri. Allah Swt. berfirman,
“Dan jika kamu mengkhawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS An-Nisa’: 35)
Demikianlah, melalui penerapan syariat Islam secara utuh, seluruh problem manusia, termasuk dalam berumah tangga, akan menemukan solusi tuntas. Dengan cara seperti inilah ketahanan keluarga yang hakiki akan terwujud sehingga kebahagiaan dan kesejahteraan bukan lagi impian yang sulit diraih.