Oleh: Denis Kurniawan (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia)
Putusan Mahkamah Konstitusi Kembali tidak memiliki marwah sebagai lembaga peradilan konstitusi yang berfungsi sebagai guardian of constitution di Indonesia yang memiliki suatu kewenangan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 atas pengujian secara konstitutusional terhadap undang-undang yang merugikan hak konstitusional warga negaranya, dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tidak dipatuhi oleh Presiden, selaku pembuat undang-undang bersamaan dengan DPR.
Hal ini terjadi dikarenakan Presiden secara licik mengundangkan suatu Perppu No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja untuk mengcounter putusan MK sebelumnya, yang secara hukum putusan tersebut memberikan suatu penilaian terhadap undang-undang no. 11 tahun 2020 tentang cipta kerja yang dikatakan oleh MK inkonstitusional bersyarat yang mengharuskan pembuat undang-undang untuk merevisinya maksimal selama 2 tahun semenjak putusan tersebut dibacakan jika menginginkan UU a quo di kembalikannya seperti semula untuk memiliki kekuatan hukum mengikat.
Hal ini terjadi dikarenakan putusan tersebut memberikan penilaian bahwa UU Cipta Kerja dianggap Cacat secara prosedural karena tidak melibatkan partisipasi publik, yang dalam putusan a quo MK mensyaratkan dalam hal pembentukan regulasi harus memperhatikan 3 aspek hak warga negara yakni hak untuk di dengarkan pendapatnya, kemudian hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan juga memiliki hak untuk mendapatkan suatu tanggapan atas pendapat yang berasal dari masyarakat tersebut.1 Dan putusan MK tersebut tidak dihormati karena diabaikan oleh pembuat undang-undang itu sendiri, justru Presiden melalui tangan besinya malah mengakalinya dengan cara membuat suatu Perppu, hal ini memberikan suatu pemahaman bahwasanya pemerintah enggan untuk terlibat aktif menampung aspirasi yang berasal dari masyarakat, sehingga Perppu No. 2/2022 ini dapat diartikan sebagai bentuk legalism otoritarian karena pemerintah secara nyata menolak untuk dilakukan suatu controlling oleh lembaga peradilan sebagai bentuk check and balances dalam hal distribution of power.
Jika kita mentelaah bahwasanya Perppu itu lahir atas adanya kegentingan yang memaksa dan dalam hal ini Profesor Ni’matul Huda selaku Pakar dari Hukum Tata Negara menjelaskan bahwa untuk menentukan kegentingan yang memaksa ini dapat dilihat dari adanya unsur krisis, dan juga hal yang sifatnya mendesak atau emergency.2 Walaupun pada akhirnya penilaian atas kegentingan yang memaksa dalam pembuatan perppu tersebut merupakan sebagai subjektivitas presiden.
Namun Pembentukan Perppu No. 2 tahun 2022 ini terlalu mengada-mengada jika sudah memperhatikan kedua unsur tersebut dengan dalih mempermudah kepentingan perizinan, investasi serta mampu menjawab permasalahan mengenai ketenagakerjaan, dan presiden pun juga harus memperhatikan syarat lainnya dalam hal pembentukan perppu yakni pembentukan perppu tersebut hanya dapat dilakukan dengan adanya kekosongan hukum serta kekosongan hukum tersebut harus diselesaikan secara singkat untuk menciptakan suatu kepastian hukum sebagaimana Putusan MK No. 138/PUU-VII/ 2009.3
Seharusnya waktu dua tahun semenjak hadirnya putusan mk a quo sudah sangat cukup untuk, memperbaiki regulasi menjadi lebih baik sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan juga memperhatikan keterlibatan publik serta memperbaiki materi muatan yang masih dipermasalahkan setelah menerima masukan-masukan dari berbagai pihak dalam membuka ruang publik tersebut secara luas.
Tentu dengan hadirnya Perppu a quo presiden telah mencederai jalannya demokrasi serta melukai prinsip negara hukum di Indonesia, yang menurut Profesor Jimly Asshiddiqie telah mencerminkan the rule of law yang kasar serta tidak egaliter,4 sebab dalam hal ini presiden merasa dirinya memiliki power yang berlebih dan secara angkuh mengabaikan peran dan fungsi dari DPR serta Mahkamah Konstitusi dalam putusan sebelumnya yang berakibat pemerintah sudah bertindak secara otoriter.
Padahal Putusan MK itu selain bersifat final dan mengikat, juga memiliki sifat erga omnes artinya putusan tersebut harus dipatuhi oleh semua elemen masyarakat tidak hanya para pihak yang berpekara dalam hal ini yang memiliki kepentingan secara rill tetepi juga semua pihak termasuk didalamnya juga adalah presiden beserta jajarannya, dan jika putusan peradilan itu tidak dipatuhi maka Presiden dalam hal ini juga telah bertindak secara contempt of court yakni melakukan penghinaan kepada lembaga peradilan dalam hal ini MK dengan cara tidak menghormati dan menjalankan putusan yang ada.
Seharusnya presiden beserta jajarannya yang terlibat dalam pembentukan perppu ini harus memberikan contoh yang baik dalam menyelenggarakan pemerintahannya jangan sampai kepercayaan publik menurun yang berakibat munculnya ketidakpercayaan terhadap presiden selaku kepala negara dan juga kepala pemerintahan, jika pada akhirnya presiden memberikan contoh untuk tidak patuh terhadap putusan MK selaku lembaga peradilan, ini memberikan kesan yang buruk kepada publik dan di khawatirkan akan mempengaruhi indeks penurunan ketidaktaatan atas lembaga peradilan yang ada di Indonesia.