Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I (Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja)
Proses hukum pidana yang tidak adil dan hilangnya status tersangka beberapa pelaku yang harusnya bertanggung jawab atas peristiwa Kanjuruhan membuat keluarga korban menuntut Presiden agar membentuk tim penyidik independent di luar Polri dan melayangkan gugatan ke pengadilan. Padahal, kelalaian dan kesalahan para pelaku tidak bisa terelak dan jelas telah melanggar. Namun, sepertinya keadilan di negeri ini telah menjelma menjadi monster jahat yang menghancurkan keadilan itu sendiri.
Setidaknya banyak pelajaran yang dapat kita ambil dan ada empat catatan penting yang perlu kita cermati, renungi, dan evaluasi dari insiden mematikan Kanjuruhan.
Pertama, di antara dampak negatif pertandingan olahraga, khususnya sepak bola, adalah terbentuknya rivalitas antarklub. Dalam setiap kompetisi, menang dan kalah pasti terjadi. Namun, hal itu berbeda dengan sepak bola. Menang dan kalah selalu berkaitan dengan gengsi, harga diri, dan ambisi. Siapa pun memahami, sepak bola adalah olahraga bergengsi yang mempertaruhkan banyak uang dan modal. Menang dan kalah seolah harga mati bagi pemilik klub sebab hasil pertandingan akan memengaruhi keuntungan dan kerugian bagi pemilik, pelatih, pemain, dan ofisial klub.
Kedua, fanatisme suporter melahirkan pembelaan buta terhadap klub kesayangan. Aktualisasi luapan emosi, amarah, dan bahagia adalah indikator terkuat betapa sepak bola tidak bisa dilepaskan dari fanatisme golongan. Ketika melihat tim kebanggaannya kalah, mereka tidak terima, emosi, marah, lalu memunculkan kerusuhan dan kerusakan. Padahal, sepak bola hanyalah olahraga dan permainan. Harus kita akui bersama, fanatik buta suporter kepada tim kebanggaan turut memicu setiap kerusuhan yang terjadi di lapangan hijau. Meski satu daerah, jika sudah fanatik, tetap saja dianggap musuh bebuyutan.
Ketiga, tindakan represif aparat dalam menghadapi kericuhan massa. Penggunaan gas air mata, meski dilarang, polisi tetap keukeuh menyatakan hal itu sudah sesuai protap. Padahal, meregangnya ratusan nyawa sebenarnya dipicu oleh tembakan gas air mata yang diarahkan ke tribun penonton. Muncul kepanikan, penonton berhamburan keluar stadion, lalu terjadi penumpukan di satu pintu, pada akhirnya banyak yang meninggal karena sesak napas, terinjak, dan tergencet.
Jika gas air mata adalah pemicu meninggalnya ratusan orang, tentu aparat mestinya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam hal ini. Selain bertugas melakukan pengamanan, mereka juga mestinya bisa mengendalikan diri dan emosi dalam menghadapi kericuhan massa.
Keempat, kecerobohan negara turut berkontribusi dalam tragedi yang memakan ratusan korban jiwa ini. Jelas harus ada pihak yang bertanggung jawab dan menjadi tersangka. Pihak yang paling mudah dipersalahkan ya suporter.
Islam membolehkan berolahraga dalam rangka menjaga kesehatan, kebugaran, dan keterampilan bagi kaum muslim. Dalam Islam, tidak dibenarkan permainan yang menimbulkan kesia-siaan. Dengan demikian, jelas bahwa pertandingan bermacam cabang olahraga yang ada saat ini terkategori lahwun munadhamun yang berbahaya karena memalingkan umat Islam, khususnya para pemuda, dari tujuan diciptakannya manusia untuk beribadah. Allah Swt. berfirman, “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS Ali Imran: 185)
Bermain, berolahraga, dan bersenda gurau, sebenarnya tidak mengapa asalkan permainan tersebut tidak melalaikan tujuan hidup kita di dunia. Jangan sampai kita terjebak dalam lahwun munazhamun hingga terlena dan berbuat sia-sia. Lahwun munazhamun ialah permainan atau hiburan yang diatur sedemikian rupa dengan berbagai jenis program dan waktu penyelenggaraannya. Ditunjuklah sejumlah pegawai, staf manager, dan penanggung jawab sehingga menjadi suatu misi yang penting di mata para perencana dan pengaturnya.
Dalam hal ini, contoh lahwun munazhamun ialah sepak bola. Imam Asy-Syathibi menyatakan, “Hiburan, permainan, dan bersantai adalah mubah atau boleh asal tidak terdapat suatu hal yang terlarang.” Selanjutnya beliau menambahkan, “Namun demikian, hal tersebut tercela dan tidak disukai oleh para ulama.
Bahkan, mereka tidak menyukai seorang lelaki yang dipandang tidak berusaha untuk memperbaiki kehidupannya di dunia dan tempat kembalinya di akhirat kelak karena ia telah menghabiskan waktunya dengan berbagai macam kegiatan yang tidak mendatangkan suatu hasil duniawi dan ukhrawi.” Islam mengarahkan umat terlibat dalam kegiatan produktif yang memberikan manfaat di dunia dan akhirat, seperti menimba ilmu pengetahuan, tsaqafah Islam, berdakwah, dan berjihad di jalan Allah.
Negara juga menganjurkan olahraga yang memberi keterampilan bagi kaum muslim sebagai bekal jihad. Namun, Islam melarang fanatik terhadap golongan. Dari Jabir bin Muth’im, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang mengajak kepada ashabiyah, bukan termasuk golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah dan bukan termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah.” (HR Abu Dawud No. 4456)
Islam tidak membedakan antara suku, kelompok, golongan, mazhab, dan bangsa. Islam melarang berbangga-bangga atas kesukuan atau golongan. Islam menghargai perbedaan. Berbeda bukanlah alasan untuk saling memusuhi, mencela, dan menghina. Andai tidak ada fanatisme, tentu tidak perlu ada harga atas nyawa manusia. Dalam pelaksanaan setiap kegiatan olahraga, peran negara sangat penting untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi penikmatnya.
Fungsi aparat keamanan ialah mengayomi dan memberi perlindungan kepada rakyat, bukan memberi rasa takut dan bertindak kasar lagi keras. Tragedi Kanjuruhan memberi pesan penting bagi kita semua bahwa tidak layak nyawa melayang hanya karena permainan (sepak bola). Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya dunia ini dan seisinya hancur lebur itu lebih ringan di sisi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR Nasai)