BANJARBARU – Sebanyak 1.500 warga Banjarbaru mengirimkan surat permohonan izin melakukan pertambangan galian C kepada DPRD Banjarbaru pada (17/1) lalu.
Banyak surat permohonan ijin tersebut, terjadi setelah pihak berwenang menutup tambang pasir di Cempaka yang dianggap ilegal.
Pasalnya, aktivitas pertambangan di Kecamatan Cempaka tidak diperbolehkan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Kalsel dan Kota Banjarbaru.
Namun, kebijakan ini menjadi masalah baru, sebab ada aktivitas pertambangan rakyat yang sudah dilakukan turun temurun di sana, jauh sebelum RTRW tersebut dibuat.
Masalah ini sendiri mencuat setelah pihak berwenang menutup tambang pasir di Cempaka karena dianggap ilegal, menyusul kehebohan ditemukannya penambangan ilegal batu bara di sekitar kawasan Cempaka. Dari tiga titik lokasi penambangan pasir, tercatat ada 400 orang yang kehilangan pekerjaan.
“Surat permohonan izin untuk melakukan pertambangan rakyat,” kata anggota Komisi III DPRD Kota Banjarbaru Nurkhalis Anshari, Rabu (18/1).
Surat tersebut ditandatangani camat, lurah, dan polsek setempat, dan diterima Pimpinan DPRD Banjarbaru Taufik Rachman.
“Kami juga baru tahu kalau ada 1.500 warga lokal yang menjadi pekerja di sana, apalagi ini warga Banjarbaru juga,” ujarnya.
Untuk mencari jalan keluar, pihaknya membawa masalah ini ke DPRD Kalsel, mengingat soal perizinan tambang ada di tingkat provinsi. “Karena ini sudah menjadi piring nasi warga di sana (Cempaka, red),” katanya.
Namun, bukan berarti kebolehan izin pada pertambangan rakyat nanti menjadi celah yang dimanfaatkan pengusaha demi meraup untung di sana.
Nurkhalis mengatakan, ada perbedaan aktivitas pertambangan dulu dan sekarang di wilayah Cempaka. Dulu, tradisi masyarakat di sana adalah menambang intan dan sekarang adalah tambang pasir.
“Ini yang menjadi fenomena, dulu tambang pasir hanya sampingan, tapi sekarang jadi prioritas. Jadi terbalik,” jelasnya.
Sementara, pertambangan pasir dan tanah urug adalah jenis tambang galian C. Artinya, aktivitas tersebut dipastikan ilegal merujuk RTRW provinsi dan Banjarbaru. “Karena ada dampak lingkungan yang harus kita perhatikan, seperti banjir. Apalagi tanah urug,” katanya.
Ditanya hasil rapat saat Komisi III DPRD Banjarbaru saat mendatangi Rumah Banjar di Banjarmasin bersama Dinas PUPR dan Dinas Lingkungan Hidup Banjarbaru, pihaknya akan terus melakukan koordinasi dengan dinas PUPR maupun bappeda provinsi. Sebab, secara hierarki Perda RTRW Banjarbaru mengacu pada perda RTRW provinsi.“Secara regulasi, kalau di provinsi saja tidak diperbolehkan, apalagi di kota,” katanya.
Solusi pun saat ini sedang dicari bersama, misalnya adanya pengecualian oleh provinsi dengan memberi batas wilayah khusus untuk pertambangan intan. “Itu mungkin perbolehkan, dan dapat menjadi solusi untuk masyarakat di sana,” ujarnya.
Pengecualian ini bukan tak dimungkinkan, sebab PT Galuh Cempaka yang sudah memiliki kontrak karya hingga tahun 2034 adalah bukti pengecualian itu. “Nah, ini ada lagi pertambangan tradisional rakyat yang turun-temurun dilakukan,” ucapnya.
Di sisi lain, mengingat aktivitas ini sudah berlangsung lama, menurutnya bisa jadi memantik wisatawan. “Wisatawan ingin melihat bagaimana mendulang intan itu, ini bisa jadi daya tarik,” katanya.
Pihaknya berharap, saran itu dapat diakomodir oleh provinsi. Jangan sampai karena terkunci regulasi, lantas masyarakat main sembunyi-sembunyi melakukan aktivitas pertambangan. “Karena ini terkait piring nasi mereka, jadi semoga ada win-win solution,” pungkasnya. jjr