Oleh : Edy Rahmadi (Statistisi BPS Kota Banjarmasin)
Di awal tahun ini, pemerintah telah memberlakukan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata sebesar 10 persen hingga 2024. Alasan pemerintah menaikan tarif CHT terkait dengan aspek kesehatan, yaitu menurunkan dan mencegah prevalensi merokok terutama pada anak. Selain itu juga untuk memajukan kesejahteraan petani tembakau dan pekerja industri hasil tembakau, menangani rokok elegal serta mendongkrak penerimaan negara.
Terlepas dari alasan tersebut, yang perlu dicermati dampak terhadap peningkatan beban pengeluaran rumah tangga khususnya pada rumah tangga miskin, karena hingga saat ini dalam penentuan garis kemiskinan, konsumsi rokok masih memberikan kontribusi terbesar kedua setelah beras. Dengan demikain adanya kenaikan harga rokok akan berpontensi meningkatnya angka kemiskinan.
Berdasarkan data BPS Provinsi Kalsel, jumlah penduduk miskin di Kalsel pada September 2022 mencapai 201,95 ribu orang atau 4,61 persen, bertambah 6,19 ribu orang dibandingkan tahun sebelumnya atau naik 0,05 persen poin. Bila dilihat daerah tempat tinggal, persentase penduduk miskin perkotaan naik 0,22 persen poin menjadi 4,03 persen, sedangkan di perdesaan justru mengalami penurunan sebesar 0,11 persen poin menjadi 5,17 persen. Jumlah penduduk miskin ditentukan berdasarkan besaran garis kemiskinan.
Besaran garis kemiskinan rata-rata di Kalsel pada September 2022 mencapai Rp581.229 per kapita per bulan, naik relatif besar 10,28 persen di bandingkan tahun sebelumnya. Di perkotaan sebesar Rp588.472 per kapita per bulan dan perdesaan Rp572.917 per kapita per bulan. Untuk diketahui, garis kemiskinan per rumah tangga merupakan gambaran besarnya nilai rata-rata rupiah minimum yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya agar tidak dikatagorikan miskin.
Bila dilihat andil komoditas yang dikonsumsi terhadap garis kemiskinan, rokok kretek filter terbesar kedua setelah beras, berikutnya telur ayam ras, kue basah, daging ayam ras, gula pasir dan mie instan. Tercatat, di perkotaan andil konsumsi rokok filter mencapai 12,98 persen atau setara dengan dua setengah kali lebih dari belanja telur ayam ras, dan hampir setara dengan empat kali pengeluaran daging ayam ras. Sedangkan di perdesaan, andil konsumsi rokok 12,47 persen atau sebanding dengan tiga kali pengeluaran telur ayam ras dan hampir lima kali untuk pengeluaran daging ayam ras. Berbagai riset menunjukkan, di rumah tangga miskin, rokok telah menjadi kebutuhan dasar yang setara dengan kebutuhan pangan sehingga menjadi prioritas yang sulit untuk digeser. Bahkan, selama lima tahun terakhir, besaran kontribusinya meningkat lebih tinggi. Di perkotaan mencapai 5,22 persen poin, dan perdesaan 1,99 persen poin.
Besarnya kontribusi konsumsi rokok tersebut, disebabkan perokok sebagian besar berada pada kelompok ekonomi bawah (miskin dan sangat miskin). Berdasarkan data Susenas BPS, jumlah persentase merokok penduduk usia 15 tahun ke atas di Kalsel pada 2022 mencapai 21,21 persen, lebih rendah dari nasional 28,26 persen. Namun demikian, dari data Atlas Tembakau 2020, tercatat, pada kuintil kalangan menengah ke bawah, jumlah perokoknya mencapai 77,1 persen, sedangkan yang terbawah 82 persen. Artinya, semakin miskin masyarakat, maka konsumsi rokok akan semakin tinggi.
Melihat besarnya porsi pengeluaran rumah tangga miskin terhadap konsumsi rokok dan bahkan cenderung meningkat tentunya sangat memprihatinkan. Adanya kondisi tersebut dikhawatirkan rumah tangga miskin akan semakin sulit terlepas dari jerat kemiskinan. Hal ini dikarenakan, meningkatnya biaya rokok akan menekan pengeluaran lain yang lebih dibutuhkan untuk bisa keluar dari garis kemiskinan. Bahkan, hasil riset dari Center for Indonesia’s Startegic Development Initiatives (CISDI) 2021, menunjukkan, bahwa pengeluaran akibat rokok dapat membuat keluarga hampir miskin jatuh ke bawah garis kemiskinan. Tercatat, tambahan angka kemiskinannya di Indonesia mencapai 3,23 persen poin.
Hasil riset tersebut juga mencatat adanya biaya kesehatan untuk pengobatan akibat merokok yang anggarannya sekitar 0,22 persen dari pengeluaran rumah tangga miskin. Hal ini akan menambah pengeluaran rumah tangga, sehingga berdampak terhadap peningkatan angka kemiskinan. Dengan kondisi pendapatan yang terbatas dan daya beli yang rendah, seharusnya mereka lebih mengutamakan penggunaan uangnya untuk konsumsi kebutuhan dasar yang lebih bermanfaat sekaligus memperhatikan pola hidup sehat untuk anggota rumah tangganya.
Untuk itu, berbagai upaya dalam rangka mengurangi konsumsi rokok khususnya bagi rumah tangga miskin harus terus dilakukan baik secara ekonomi maupun non ekonomi. Upaya promosi untuk berhenti merokok melalui penerapan kawasan merokok, pelarangan iklan, promosi dan sponsor dan edukasi kesehatan, menaikkan cukai dan harga rokok, serta dukungan terhadap upaya berhenti merokok masyarakat harus terus ditingkatkan dan diintensifkan. Khusus terkait kebijakan kenaikan tarif CHT, dalam pnerapannya harus diimbangi dengan program peningkatan pendapatan bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah agar tidak berdampak terhadap peningkatan angka kemiskinan.
Berbagai bentuk program kegiatan pengentasan kemiskinan juga harus terintegrasi dengan program berhenti atau pembatasan konsumsi rokok bagi rumah tangga miskin. Misalnya, untuk bantuan mengurangi beban pengeluaran rumah tangga berupa bantuan tunai hanya terbatas kepada rumah tangga yang bukan perokok, atau bentuk bantuannya berupa sembako saja. Sedangkan untuk bantuan program peningkatan pendapatan maka harus ada pernyataan bersedia mengurangi konsumsi rokoknya. Hal ini dilakukan, karena dari hasil penelitian, pendapatan sangat besar pengaruhnya terhadap proporsi pengeluaran rokok. Artinya, semakin besar tingkat pendapatan rumah tangga miskin maka akan meningkatkan pengeluaran untuk rokok.
Selain itu, intervensi terhadap perilaku merokok harus secara masif dilakukan pada kelompok masyarakat menegah ke bawah dalam bentuk sosialisasi dan edukasi. Adanya hasil penelitian terkait pertimbangan perokok akan membatasi atau bahkan menghentikan kebiasaan merokoknya karena alasan keluarga dan anak, maka intervensi dalam bentuk kegiatan sosialisasi dan edukasi lebih efektif melalui pendekatan keluarga untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan mengenai pengaruh bahaya merokok bagi anggota rumah tangga, utamanya ibu hamil dan menyusui serta pentingnya mengutamakan kecukupan dan asupan makanan yang sehat dan bergizi bagi tumbuh kembang anak.
Diharapkan dengan berbagai upaya yang dilakukan secara komprehensif dan ditunjang kesadaran tinggi dari perokok di rumah tangga miskin untuk berhenti merokot, maka tingkat kesejahteraan dan kesehatannya akan semakin baik sehingga dapat keluar dari jerat kemiskinan.