Kamis, Juli 3, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Tanggul Lama di Jalur Baru Perkembangan Sepakbola Nasional

by matabanua
23 Januari 2023
in Opini
0

Oleh : Rizki Alfajri (Kader HMI Komisariat IS – UNP)

Sepakbola, permainan menendang bola di lapangan rumput ini, merupakan olahraga paling populer di dunia. Dengan jumlah penggemar mencapai empat milliar orang. Begitupun di Indonesia, dalam survei Indikator Politik menunjukan, Sepakbola adalah olahraga paling banyak disukai masyarakat dalam negeri, dengan persentase 21% dibanding 5 olahraga lainnya.

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\3 Juli 2025\8\master opini.jpg

Berantas Narkoba Selamatkan Masyarakat

2 Juli 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Kampus Bentuk Satgas Perlindungan Perempuan, Sudah Cukupkah?

2 Juli 2025
Load More

Namun, tak semaksimal jumlah penggemarnya, prestasi yang diberikan oleh Cabor sepakbola ke negeri ini justru minim. Perkembangannya pun dinilai lambat dibandingkan dengan cabang olahraga lain, seperti, bulu tangkis, atletik bahkan e-sport, yang sudah memiliki prestasi di level benua bahkan dunia.

Alih-alih sampai pada level dunia, sepakbola Indonesia justru mentok di lingkup asia tenggara dan terseok-seok di level benua asia. Apakah memang segitu kemampuan pemain kita ?. Bagi kita yang merasa sebagai penikmat sepakbola dalam negeri, dan mengikuti perkembangan yang terjadi tentu kompetensi pemain bukanlah masalah utama..

Jalur baru perkembangan sepakbola Indonesia

tahun 2015 silam Sepakbola Indonesia terkena sanksi dari FIFA (Federation Internationale de Football Association). Segala carut marut dalam tubuh PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia), federasi yang menaungi Cabor (Cabang Olahraga) sepakbola dalam negeri, menyebabkan FIFA melarang Tim Nasional maupun klub berpartisipasi di event Internasional.

Setahun berlalu, Mei 2016 FIFA mencabut sanksinya terhadap Indonesia. Semangat sepakbola kembali bergairah di tanah air. Tak ingin mengulang kesalahan yang sama, PSSI melakukan perubahan besar-besaran dalam sistem sepakbola Indonesia. Pembenahan yang dilakukan antara lain yaitu internal PSSI, Sistem liga dan kualitas tim nasional.

Ratu Tisha Destria, yang pada saat itu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PSSI berhasil membawa perubahan-perubahan positif. Sistem liga domestik yang awalnya tidak efektif, imbas dualisasi antara Indonesia Super League (ISL), dan Indonesia Premiere League (IPL) disempurnakan menjadi sistem Liga yang independent, dikelola oleh badan pengelola professional bentukan PSSI Bernama PT. LIB (Liga Indonesia Baru) yang diberi nama Liga 1.

Keseriusan pembenahan Sepakbola Indonesia juga ditunjukan PSSI, dengan menunjuk Luis Milla, pelatih kelas dunia yang telah berhasil membawa Timnas Spanyol menjuarai piala eropa U21 2011. Dengan harapan, sang pelatih dapat membawa citra sepakbola eropa ke Timnas Indonesia.

Hasil dari segala upaya PSSI ini, membawa kemajuan signifikan dalam perkembangan sepakbola Indonesia. Capaian-capaian penting terbukti dapat diraih Indonesia terhitung sejak Indonesia terlepas dari sanksi FIFA, antara lain runner-up piala AFF 2016, 16 besar Asian Games 2018 dan puncaknya tahun 2019 Indonesia secara mengejutkan ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia FIFA U20 edisi ke-23.

Dalam hal lain, prestasi Timnas Senior sebagai delegasi utama sepakbola Indonesia, Sempat surut setelah gagal di AFF 2018 dan jadi juru kunci grub Kualifikasi Piala Dunia 2022 Qatar, imbas keputusan mengganti pelatih Timnas dan mundurnya Ratu Tisha dari Sekjen PSSI karena isu politis.

Dibawah pempinan ketua umum yang baru terpilih Mochammad Iriawan (Iwan bule) Indonesia mencoba kembali bangkit. Iwan Bule mencoba mengubah focus sepakbola Indonesia dari hasil instan menjadi perubahan secara progresif. Dan PSSI dicitrakan sebagai fasilitator Timnas alih-alih sebagai atasan pemberi target.

Shin Tae Yong, pelatih anyar dari Korea Selatan ditunjuk sebagai pelatih Tim Nasional. Dengan reputasi gemilangnya menukangi Timnas Korsel di Piala Dunia FIFA 2018 Rusia, dimana berhasil menumbangkan Jerman sang juara dunia 2014. Shin Tae Yong dinilai layak dan menjadi harapan geliat semangat kemajuan sepakbola nasional.

Dan hal itu berhasil dibuktikan Shin Tae Yong dengan membawa Indonesia kembali menapaki final piala AFF di akhir 2021, dan teranyar membawa Indonesia lolos ke Piala Asia melalui jalur kualifikasi. Dimana Indonesia sendiri sudah absen dalam 3 edisi berturut turut yaitu 2011, 2015 dan 2019.

Perkembangan-perkembangan yang terjadi seakan menjadi jalur baru yang bertolak belakang dengan jalan sepakbola Indonesia sebelum terkena sanksi FIFA. Harapan—harapan masyarakat Indonesia mulai tumbuh terhadap kemajuan sepakbola yang memang sudah lama di idamkan.

Masalah- masalah lama sebagai tantangan

Ditengah-tengah geliat kemajuan yang terjadi, berbagai tantangan dari segala aspek muncul sebagai tanggul, dalam jalur perkembangan sepakbola nasional. Namun, tanggul-tanggul ini sayangnya merupakan masalah-masalah lama dalam sepakbola Indonesia. Penulis akan mecoba menguraikan secara objektif masalah-masalah tersebut.

Pertama, tuntutan prestasi yang bersifat instan. Fenomena menang dipuji, kalah dicaci bukan hal yang asing bagi kita. Masyarakat cenderung akan kecewa jika “Timnas tidak berhasil mendapatkan gelar juara” pada event tertentu, meskipun sudah melangkah lebih jauh dibanding event sebelumnya.

Atau mudahnya, kebanyakan masyarakat Indonesia tidak bisa sabar akan proses secara bertahap. Ini bisa kita lihat ketika Timnas gagal juara, maka tagar #pelatihout akan langsung muncul di sosial media khususnya. Atau bisa dengan menyerang secara verbal pemain tertentu. Sehingga hal ini membuat Tim Nasional akan bermain di bawah tekanan.

Kedua, Federasi yang tidak sehat. Meskipun wajah-wajah baru dalam tubuh PSSI dapat membawa perubahan-perubahan signifikan, namun masalah politisasi dalam federasi sepakbola Indonesia masih ditemui. Campur tangan pemerintah, politikus yang masuk PSSI entah apa tujuannya dan federasi yang tidak diisi dengan orang-orang yang bergelut di dunia sepakbola menjadi masalah kompleks tidak sehatnya PSSI.

Ketiga, Anarkisme dan labilitas supporter. Meski secara langsung mungkin tidak berdampak. Namun permasalahan ini kerap kali berefek domino terhadap prestasi Timnas. Bukti nyatanya yang masih hangat di ingatan kita, Tragedi pilu Kanjuruhan, yang merenggut 134 nyawa, imbas kisruh antara pihak keamanan dan supporter.

Peristiwa memilukan ini menarik perhatian dunia. Menimbulkan citra buruk sepakbola Indonesia, sehingga pemerintah mengambil langkah memberhentikan liga. Tidak adanya kompetisi membuat pemain-pemain Timnas kehilangan sentuhan permainan,, alhasil, Timnas Indonesia tidak dapat tampil maksimal di kejuaraan AFF 2023 dan terhenti di semi final.

Ketiga masalah di atas hanya sebagian kecil yang dapat penulis sebutkan, dimana, ketiga masalah di atas adalah masalah yang urgen, dan harus segera diselesaikan. Diluar itu, masalah lain yang dapat kita lihat adalah Suport fasilitas yang belum maksimal dari pemerintah, dimana kita ketahui sampai saat ini Timnas masih belum mempunya Training Centre yang layak dan memadai.

Yang pasti, problematik di atas secara nyata memiliki dampak terhadap perkembangan sepakbola nasional, baik secara langsung maupun melalui skema efek domino seperti yang telah penulis contohkan. Yang mana muaranya adalah, menyebabkan Tim Nasional maupun klub-klub Indonesia minim prestasi di level Internasional.

Maka menyikapi hal itu, insan sepakbola tanah air perlu mengangkatkan sebuah nilai perubahan demi kepentingan rasa nasionalisme dan patriotisme. Tak dapat kita pungkiri bahwa sepakbola seringkali bisa mengangkat martabat suatu negara, jika negara tersebut dapat menorehkan prestasi..

Nilai-nilai nonpolitisasi di tubuh pihak yang bertanggung jawab atas sepakbola Indonesia, dalam hal ini pemerintah, kementerian terkait dan tentunya PSSI harus segera diterapkan secara konsekuen. Bagaimanapun, sepakbola sejatinya tak lebih dari permainan dan olahraga, dan bukan ajang untuk menampilkan citra politik.

Realistisme dan revitalisasi sebagai solusi

Langkah awal dalam memperbaiki benang kusut sepakbola Indonesia adalah Pemerintah, Federasi, Atlit sepakbola, maupun pecinta sepakbola harus memiliki kesadaran realistis terlebih dahulu, bahwa kita sudah jauh tertinggal dari negara-negara lain dalam hal sepakbola. Maka, perubahan yang dibuat harusnya bersifat progresif, bukan instan.

Setelah menyadari secara bersama situasi yang terjadi, barulah dilakukan pembenahan dari seluruh aspek (revitalisasi). Pemerintah dan Federasi bahu-membahu memperbaiki sistem atau dalam bahasa manajemen disebut Total Quality Manajemen (TQM) yakni perbaikan untuk meningkatkan mutu.

Sedangkan, pecinta sepakbola harus menghilangkan labilitas dalam menilai sepakbola Indonesia. Sehingga, akan tercipta slogan menang ku sanjung kalah tetap ku dukung.Maka, Jika situasi ini terwujud, sepakbola Indonesia secara optimis akan memiliki perkembangan yang progresif, dan akan bisa mencapai prestasi yang diinginkan.

 

Tags: FifaKader HMI Komisariat IS UNPPSSIRizki AlfajriSepakbola Nasional
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA