Oleh : Aji Pangestu (Aktivis Forum Mahasiswa Ciputat, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.)
Kementerian Agama kembali menyulut kontroversi. Kali ini Kemenag mengusulkan kenaikan biaya haji sebesar Rp 69, 1 juta per orang dari sebelumnya Rp 39, 8 juta. Usulan tersebut dilontarkan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam rapat Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi urusan agama pada Kamis, 19 Januari lalu.
Usulan kenaikan dana haji tersebut dengan alasan karena adanya lonjakan perubahan ongkos biaya operasional akibat kebijakan baru pemerintah Arab Saudi. Di tengah situasi ekonomi Indonesia yang kurang stabil akibat melambungnya harga kebutuhan pokok dan harga bahan bakar minyak (BBM), usulan dana kenaikan haji tersebut tentu tidak relevan. Apalagi, informasi terbaru menyebutkan justru pemerintah Arab Saudi tengah menurunkan biaya haji.
Meski wacana ini masih usulan dan dalam perdebatan, beredarnya informasi kenaikan dana haji patut untuk ditinjau ulang.
Pertama, ibadah haji merupakan salah satu ibadah yang sangat penting bagi umat Islam. Bahkan, haji termasuk rukun Islam yang kelima yang harus dijalankan bagi mereka yang mampu dan berkecukupan. Tidak jarang, umat Islam harus mengumpulkan uang sejak jauh-jauh hari bahkan sejak usia muda demi menjalankan ibadah tersebut. Jika dana haji tiba-tiba naik dua kali lipat maka beban yang harus dikeluarkan oleh jemaah haji akan berlipat.
Kedua, Kemenag sebagai institusi harusnya menjadi jembatan untuk mempermudah
urusan jamaah dalam melakukan ibadah haji, bukan malah memberatkan. Sebagai sebuah institusi seharusnya kemenag memaksimalkan negosiasi dan lobi-lobi politik dengan memaksimalkan segala potensi yang ada.
Ketiga, Kemenag juga mesti mempertimbangkan mayoritas calon haji. Menurut pengamat haji dan umrah dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dadi Darmadi, mayoritas calon jemaah haji adalah petani, pedagang kecil, dan warga lanjut usia yang tidak memiliki penghasilan tetap. Kenaikan dana haji mendadak justru tidak mungkin dipenuhi oleh mereka sebab mengumpulkan uang butuh waktu yang tidak sebentar.
Keempat, kenaikan dana haji berpotensi besar untuk diselewengkan, baik untuk kepentingan anggota Kemenag maupun kepentingan yang lainnya. Pasalnya, belum ada mekanisme yang jelas terkait kemana kenaikan dana haji tersebut akan dialokasikan.
Sebab, jangan sampai Kemenag mengambil keputusan terburu-buru dan berakibat pada
masyarakat luas secara umum dan umat Islam secara khusus. Mengingat dalam lima tahun
terakhir jumlah jemaah haji reguler semakin meningkat 155.200 pada (2015 dan 2016), 204.000 (2017 dan 2018), serta 214.000 (2019).
Publik tentu tidak ingin kasus korupsi di tubuh Kemenag terus terulang, seperti yang menimpa Said Agil Husin Al Munawar, terkait korupsi Dana Abadi Umat dan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji 1999-2003 atau Suryadharma Ali dengan kasus serupa pada tahun 2015.
Beberapa alasan itulah yang mungkin bisa menjadi pertimbangan untuk mengurungkan usulan kenaikan dana haji. Karena itu, tarik menarik perdebatan kenaikan dana haji yang diusulkan harus segera disudahi.
Untuk itu, sudah saatnya Kemenag kembali melihat secara jernih tentang gagasan usulan kenaikan dana haji tersebut. Dalam pandangan penulis, kenaikan dana haji hanya akan mendatangkan duri yang akan merusak citra Kemenag. Kita berharap Kemenag mempertimbangkan usulan tersebut dengan matang dan memberikan transparansi yang jelas kepada publik terkait alokasi dana haji yang akan digagas tersebut. Sebagai institusi yang mengurusi keperluan umat, Kemenag harus mampu membuat kebijakan yang tidak memberatkan rakyat banyak. Apalagi, mayoritas calon jemaah haji terdiri dari kalangan menengah kebawah.
Kemenag harus benar-benar mampu bekerja dan mewujudkan sebagaimana slogannya “Ikhlas Beramal.”