Oleh: Cahyani Pramita, SE (Pemerhati Sosial)
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tampaknya semakin tak tertangani. Terjadi di pelosok negeri dengan trend yang semakin meninggi. Kalimantan Selatan sebagai provinsi yang nuansa agama islamnya cukup kental pun juga tak terhindatkan dari hal ini. Berdasarkan data Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pengendalian Masyarakat, Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBPMP2A) Banjarbaru, Pada 2021 sebanyak 28 laporan (21 kekerasan anak dan 7 pada perempuan) menjadi bertambah pada tahun selanjutnya. Yakni pada 2022 (per September 2022 mencapai 33 laporan (25 laporan kekerasan pada anak, 9 di antaranya seksual, 2 penelantaran, 6 kekerasan fisik dan 8 sebab lainnya).
Kabid Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, DP2KBPMP2A Banjarbaru, Siti Masliani, mengatakan “Kekerasan terhadap perempuan dan anak seperti fenomena gunung es. Terlihat sedikit, namun jauh lebih banyak di bawah permukaannya”. Ia menjelaskan sudah banyak upaya yang dilakukan untuk menekan angka kekerasan perempuan dan anak, khususnya di Kota Banjarbaru. Di antaranya, melakukan sosialisasi langsung kepada masyarakat untuk menumbuhkan rasa peduli kepada warga sekitar yang sedang mengalami permasalah. Adanya jaringan di tingkat kelurahan, yaitu Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM). Bahkan bila ada laporan kasus kekerasan pada perempuan atau anak, segera ditindaklanjuti bersama tim gabungan, yaitu dari Polres, Dinkes, Satpol PP, Rumah Sakit Daerah Idaman dan juga Dinas Sosial”. (banjarmasinpost.co.id, 22/12/2022).
Begitupun secara global, kampanye anti kekerasan terhadap perempuan yang digagas oleh Global Women ‘s Institute telah dilakukan sejak 1991. Dan di Indonesia sendiri, Komnas Perempuan sudah terlibat dalam kampanye tersebut sejak 2001. tetapi permasalahan KtP malah makin tidak terkendali. Bahkan, setelah pemberlakuan UU TP-KS, kekerasan terhadap perempuan juga makin marak. Oleh karenanya, berbagai upaya lokal hingga global ini bagaikan pepesan kosong yang tidak pernah bisa menghapus permasalahan perempuan.
Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan nuansa islam juga cukup kental pada masyarakat Kalimantan Selatan. Masyarakat tampak penuh euforia meramaikan masjid, pengajian, hari besar islam tapi saat ada problem kehidupan justru tak menyelesaikannya sesuai islam.
Keislaman yang ada pada rakyat saat ini sangatlah dibatasi, hanya boleh pada ranah private, oleh individu atau keluarga tapi tidak untuk masyarakat hingga negara. Inilah yang disebut dengan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) dan menjadi pangkal persoalan. Umat islam hanya dicukupkan beragama dalam hal ibadah mahdah seperti shalat, zakat, puasa, akhlak tapi urusan kehidupan umum seperti pergaulan, ekonomi, pendidikan, peradilan semua tak berlandaskan syariat. Padahal ibadah mahdah seperti sholat tak cukup untuk menyelesaikan problem kehidupan rumah tangga. Kesulitan ekonomi hingga kebebasan berperilaku atas nama HAM yang banyak jadi pemicu kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah problem kompleks yang perlu diselesaikan secara komprehensif. Ada peran keluarga, masyarakat hingga negara. Ada aturan ekonomi, sosial, peradilan hingga pendidikan yang berperan memutus mata rantainya. Kekomprehensifan ini ada dalam syariat islam.
Rasulullah SAW pernah bersabda “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita.” (HR Muslim: 3729). Islam juga memiliki konsep bahwa negaralah penanggungjawab utama yang menjamin terlindunginya perempuan dan anak-anak dari segala macam bahaya, termasuk kekerasan. Negara Islam (khilafah) dengan kekuatan kepemimpinan dan sistemnya akan menjamin perempuan terlindungi dari kekerasan.
Pertama, Khilafah akan menjamin media steril dari tayangan yang berbau pornografi dan kekerasan. Para hakim akan bertindak tegas bagi para pelanggarnya dan mencabut segera izin pendirian medianya.
Kedua, jaminan ekonomi. Dalam masyarakat Islam, salah satu ciri masyarakat sudah sejahtera adalah ketika perempuannya sudah tidak ada minat bekerja, kecuali untuk mengamalkan ilmunya. Ini karena syariat telah dengan jelas mengangkat derajat perempuan karena ketakwaannya. Ketakwaannyalah yang akan menggiringnya pada pengoptimalan menjalankan amanah sebagai ibu dan manajer rumah tangga. Ia akan berusaha sebaik mungkin untuk mengasuh anak-anak mereka, menjadi madrasatul ula ,dan menciptakan rumah yang aman dan nyaman bagi seluruh penghuninya. Bukankah ini yang akan melindungi perempuan dan anak-anak dari kekerasan? Keluarga yang sejahtera dan paham agama akan menciptakan sosok ayah yang dapat menjadi teladan keluarga, bukan predator keluarga seperti halnya sosok ayah dalam sistem hari ini.
Ketiga, Khilafah akan memberi sanksi yang sangat menjerakan bagi pelaku kekerasan. Misalnya, dengan menghukum pelaku pemerkosa dengan hukuman jilid dan rajam; atau menghukum kisas pada pembunuh. Jika sanksinya menjerakan, kekerasan pada perempuan akan hilang dengan sendirinya.