Oleh: Nurul Marifah (Aktivis Dakwah Kampus)
Perempuan dan anak adalah makhluk yang seharusnya dilindungi dan dijaga. Agar mereka merasa aman dan nyaman dalam menjalani aktivitasnya. Akan tetapi realitas yang terjadi malah sebaliknya. Justru semakin tahun ternyata kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin meningkat. Seperti yang terjadi di Banjarbaru, data Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Dinas pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pengendalian Masyarakat, Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBPMP2A) Banjarbaru, menyebutkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada tahun 2021 sebanyak 28 laporan yang terdiri dari 21 kekerasan anak dan 7 pada perempuan. Jumlah itu lebih sedikit dibandingkan pada tahun 2022 yang hingga September tadi sudah mencapai 33 laporan (Banjarmasin.tribunnews.com/22/12/2022).
Hal ini tentu saja menimbulkan sebuah pertanyaan, mengapa kasus kekerasan terus meningkat setiap tahun? Apakah hal ini terjadi karena lalainya para penegak hukum dalam menanganinya? atau karena sistem kehidupan kita sendiri yang tidak mendukung untuk melakukan pencegahan terhadap kasus kekerasan ini?
Setiap manusia tentu saja menolak terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan menginginkan para pelakunya agar di hukum dengan hukuman yang mampu membuatnya jera. Namun, justru hal ini tidak sepenuhnya dijalankan dalam sistem hukum negara kita saat ini. Mereka berdalih atas nama Hak Asasi Manusia (HAM) sehingga para pelaku hanya diberlakukan hukuman penjara. Hal itu masih menimbulkan peluang terjadinya tindak kekerasan yang dilakukan sang pelaku ketika mereka sudah bebas dari penjara. Mungkin memang ada yang jera, tapi kebanyakan yang terjadi sebaliknya. Mereka semakin menggila dan penuh kelicikan dalam beraksi.
Sistem hukum yang seharusnya mampu memunculkan efek pencegah tindak kejahatan, justru seolah-olah memelihara kejahatan. Fakta seperti ini wajar terjadi, karena regulasi saat ini lahir dari pemikiran manusia yang lemah. Sistem kehidupan kita yang sekuler demokrasi telah menjadikan manusia berdaulat atau memiliki kekuasaan penuh atas hukum sedangkan agama berusaha dipisahkan dari kehidupan. Manusia berhak membuat hukum sesuai dengan keinginan mereka. Buktinya, memang ada keinginan memberantas kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ini tapi di satu sisi pemicu kejahatan seperti tayangan-tayangan yang memicu bangkitnya rangsangan seksual bertebaran dimana-mana dan terus dibiarkan.
Sistem sekuler demokrasi nyatanya hanya membuat kepribadian manusia semakin rusak karena dikendalikan oleh hawa nafsu. Kaum perempuan dan anak-anak membutuhkan sistem kepemimpinan yang terbukti mampu menjamin kehormatan serta keamanan mereka. Dan dalam peradaban manusia yang pernah ada, hanya sistem Islam yang mampu mewujudkan hal tersebut.
Kemampuan tersebut lahir dari prinsip-prinsip Islam terkait sebuah kepemimpinan. Salah satu di antaranya adalah penguasa dalam Islam diposisikan sebagai perisai atau pelindung. Sehingga penguasa harus menjalankan tugas ini, tanggung jawabnya bukan hanya di dunia saja tapi hingga ke akhirat.
“Sesungguhnya seorang imam itu (laksana) perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadist yang lain, Rasulullah Saw. bersabda:
“Tidaklah seorang pemimpin mengurusi urusan kaum muslim, kemudian tidak bersungguh-sungguh untuk mengurusi mereka dan tidak menasehati mereka, kecuali dia tidak akan masuk surga bersama mereka.” (HR. Shahih Muslim).
Oleh karena itu, ketika mendapati kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, penguasa tidak boleh memandangnya hanya sebeleh mata. Karena, Islam menetapkan perempuan dan anak adalah kehormatan yang harus dijaga. Islam dan seperangkat aturannya telah menetapkan hukum-hukum yang dapat mencegah terjadinya kekerasan tersebut.
Dalam Islam, perempuan di perintahkan untuk menutup aurat dan laki-laki di perintahkan untuk menundukkan pandangan, hal ini tidak lain untuk menjaga agar tidak terjadi hal yang melanggar syariat. Selain itu, dalam mengasuh dan mendidik anak, Islam sudah mengecam dengan keras tindakan orang tua yang berani menelantarkan anak apalagi sampai melakukan tindak kekerasan terhadap mereka. Selain itu, dalam sistem Islam negara akan mencegah konten-konten yang memicu terjadinya kekerasan dan menggantinya dengan konten yang dapat memberi edukasi. Selanjutnya, Islam akan menetapkan sanksi bagi para pelaku kriminal atau kemaksiatan. Sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasulnya.
Sistem sanksi (uqubat) dalam Islam tentu saja akan memberi efek jawabir (penebus dosa bagi pelaku) dan efek jawazir (pencegah agar orang lain tidak ikut melakukan pelanggaran). Seorang pemerkosa dapat di hukum dengan had zina yakni dicambuk dan diusir dari kampung halaman jika terkategori orang yang belum menikah, namun jika pelakunya sudah menikah maka pelaku wajib di hukun rajam. Sedangkan untuk kasus pembunuhan Islam akan menerapkan hukum qishas terhadap pelaku pembunuhan atau diganti dengan diat sebanyak 100 ekor unta jika keluarga korban memaafkan pembunuhnya.
Tentunya hanya dengan di terapkannya sistem Islam secara menyeluruh (Kaffah), kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ini dapat di atasi secara tuntas. Wallu’alam bishawab.