
Belum lama ini pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja. Hal ini merupakan respond dari pemerintah atas putusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Ciptakerja) yang diterbitkan oleh Pemerintah dinyatakan inkonstitusional, dimana putusan ini didasarkan karena UU Cipta Kerja atau yang dikenal dengan omnibuslaw ini cacat secara formil/prosedural. Pada putusanya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU Cipta Kerja yang disusun dengan metode omnibuslaw tersebut tidak mengikat apabila tidak diperbaiki dalam jangka waktu 2 tahun pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dijatuhkan.
Terlepas dari substansi materiil Perppu No.2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja, Penerbitan Perppu ini sangat menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Perppu yang diterbitkan pemerintah tersebut dianggap mengkudeta konstitusi karena dianggap tidak ada kegentingan yang memaksa untuk menerbitkan Perppu mengingat dalam penerbitan Perppu haruslah ada hal yang mendesak/kegentingan memaksa sebagaimana dasar hukum penerbitan Perppu yang diatur Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang berbunyi “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Hal tersebutlah yang menimbulkan pertanyaan dalam penerbitan Perppu ini, dimana tidak adanya landasan yang menjadi parameter kengentingan yang memaksa untuk menerbitkan Perppu.
Merujuk kepada Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 penerbitan Perppu yang dilakukan presiden haruslah ada ihwal yang memaksa, dan dimana Perppu diharapkan agar dapat menjadi solusi permasalahan yang dihadapi negara ini dalam keadaan atau situasi yang memaksa/keadaan genting yang tengah melanda negara ini. Namun pada penerbitan Perppu Cipta Kerja ini dianggap tidak ada kegentingan yang benar-benar memaksa dalam arti lain Perppu ini hanya sebagai strategi pemerintah untuk mengakali dan memaksakan memberlakukan aturan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, dan penerbitan Perppu ini dianggap sebagai cara pemerintah memberlakukan aturan serupa dengan undang-undang dengan cara yang instan yang didasarkan pada alasan-alasan yang parameter kegentingan memaksanya juga terkesan belum menjadi permasalahan/kegentingan memaksa dimana alasan-alasan penerbitan Perppu ini untuk menjaga stabilitas ekonomi negara yang dihadapkan dengan tantangan ekonomi global dan krisis ekonomi global yang dapat menyebabkan terganggunya stabilitas ekonomi nasional.
Tentu penerbitan Perppu tersebut mengalami banyak penolakan dari masyarakat yang dianggap mencederai konstitusi dan hanya akal-akalan pemerintah untuk menerbitkan peraturan secara instan, mengingat Indonesia belum berada dalam kegentingan memaksa terhadap dampak dari tantangan ekonomi global atau krisis ekonomi yang diisukan akan terjadi. Dalam berkehidupan bernegara UUD 1945 sebagai pucuk Konstitusi merupakan sumber hukum tertinggi di negara ini, dimana tidak ada aturan dibawahnya yang boleh menyalahi atau bertentangan dengan UUD 1945 dalam hal ini termasuk penerbitan Perppu. Sebagai negara hukum baiknya pemerintah dalam menjalankan kehidupan bernegara haruslah menjalankan roda pemerintahan dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan sesuai dengan aturan hukum (rule of law), serta asas pemerintahan yang baik.
Dalam hal penerbitan undang-undang yang dianggap tidak sesuai dengan aturan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, terdapat upaya hukum untuk menyatakan bahwa peraturan tersebut baik secara materiil ataupun formil tidak dapat diberlakukan. Dimana dalam hal undang-undang yang dianggap cacat secara formil/materiil dan bertentangan dengan UUD 1945 dapat dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk dibatalkan atau dicabut. Sementara untuk peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dalam hal ini termasuk Perppu dapat diajukan permohonan pengujian materiil dan formilnya ke Mahkamah Agung sebagaimana yang diatur Pasal 24A ayat 1 yang berbunyi “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”. Namun Mahkamah Konstitusi berpendapat dalam pertimbanganya mengingat Perppu yang kekuatan mengikatnya sama dengan undang-undang, oleh karena itu peraturan yang terdapat dalam Perppu tersebut dapat dilakukan pengujianya di Mahkamah Konstitusi. Tentu berdasarkan hal tersebut terjadi tumpang tindih dalam kewenangan menguji Perppu tersebut.
Disamping dari pro dan kontra proses formil pembentukan Perppu tersebut, substansi materi Perppu yang diterbitkan Presiden Joko Widodo tersebut juga mengalami penolakan dari berbagai pihak yang terdampak secara langsung seperti kaum buruh yang mempermasalahkan masalah pengaturan upah minimum dan pengaturan pekerja kontrak yang diatur Perppu Cipta Kerja. Terlepas dari hal-hal yang menimbulkan pro dan kontra dalam penerbitan Perppu yang diterbitkan Presiden Joko Widodo tersebut, diharapkan Perppu yang diterbitkan dapat mengisi kekosongan hukum yang ada di negara ini, dan diharapkan dapat berdampak positif sebagaimana yang diharapkan dan ditujukan dalam penerbitkan Perppu ini.