Konsekuensi yuridis Negara Republik Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945 merupakan negara hukum. Dalam negara hukum, paradigma penyelenggaraan negara dan kegiatan pembangunan pada hakikatnya adalah hukum itu sendiri. Segala sesuatu dalam dinamika kehidupan kenegaraan haruslah didasarkan atas hukum sebagai pegangan tertinggi. Ketika UUDNRI Tahun 1945 disusun, wawasan negara hukum (rechtsstaat) yang demikian itulah yang pada pokoknya mewarnai corak pemikiran kenegaraan yang diadopsikan ke dalam rumusan UUDRI Tahun 1945.
UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (merupakan dasar legalitas bagi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah khusunya terkait penciptaan lapangan pekerjaan terlepas dari masih adanya kesalahan basic yaitu redaksional teknik pengacuan yang tidak tepat yang seharunya ketika sudah diundangkan dalam lembaran negara, zero tolerance terhadap kesalahan sekecil apapun karena sudah mempunyai kekutan hukum mengikat sesuai asas fiksi hukum bahwa ketika suatu peraturan perundang-undangan telah diundangkan maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu (presumption iures de iure) dan ketentuan tersebut berlaku mengikat sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan/memaafkannya dari tuntutan hukum (ignorantia jurist non excusat). Keberadaan asas fiksi hukum, telah dinormakan di dalam penjelasan Pasal 81 ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa “Dengan diundangkannya Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya”.
Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang memutuskan UU No. 11 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”. Dengan pertimbangan dinamika global yang disebabkan terjadinya kenaikan harga energi dan harga pangan, perubahan iklim (climate changel, dan terganggunya rantai pasokan (supplg chain) telah menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan terjadinya kenaikan inflasi yang akan berdampak secara signifikan kepada perekonomian nasional yang harus direspons dengan standar bauran kebijakan untuk peningkatan daya saing dan daya tarik nasional bagi investasi melalui transformasi ekonomi yang dimuat dalam UU Cipta Kerja, sebagai pertimbangan yuridis dan ekonomi dengan berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945, Presiden mengeluarkan Perpu Cipta Kerja tanggal 30 Desember 2022 yang mencabut UU Cipta Kerja.
Politik hukum penerbitan Perpu Cipta Kerja dapat dikatakan sangat dipengaruhi kepentingan ekonomi khususnya jaminan kepastian hukum kepada investor yang sudah dan akan menanamkan investasinya di Indonesia. Politik hukum merupakan arah kebijakan resmi negara untuk melakukan perubahan, dan pengantian peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam menjawab dinamikan kebutuhan hukum yang ada serta dinamika global yang tidak menentu. Karena pembentukan sebuah undang-undang memerlukan tahapan formil melalui pembicaraan tingkat I dan pembicaraan tingkat II, sedangkan kebutuhan atas investasi kedalam negeri yang besar serta dalam rangka memberi jaminan kepastian hukum bagi investor maka “shortcut” pembentukan undang-undang dengan menerbitkan Perpu Cipta Kerja yang mencabut UU Cipta Kerja. Adapun Perpu Cipta Kerja sesuai dengan Pasal 22 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 untuk menjadi UU Cipta Kerja harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya.
UU Cipta Kerja dengan segala kelemahan ada sudah diimplementasikan dengan terbit 45 PP dan 4 Perpres serta Permen yang dikeluarkan oleh Kementerian teknis sebagai NSPK dalam pelaksanaanya. Adapun pada dilevel pemerintah daerah provinsi, dan kabupaten/kota sudah menindaklanjuti dengan menetapkan perda dan perkada sebagai tindak lanjut diundangkan UU Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya. Masing-masing pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota juga sudah melakukan inventarisasi terhadap perda dan perkada yang sudah tidak sesuai dengan ketentuan UU Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya. Sehingga praktis walaupun dinyaktakan inkonstitusional oleh MK, pelaksanaan UU Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya terus berjalan serta ditindak lanjuti oleh daerah dengan menyesuiakan perda dan perkada yang terdampak diundangkan UU Cipta Kerja.
Melalui UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 12 Tahun 2011, mekanisme pembentukan peraturan perundang-undang dengan cara omnibus law secara yuridis formil telah diadopsi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang sebelumnya berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tidak diatur. Sehingga terbitnya Perpu Cipta Kerja dengan mekanisme omnibus law telah mempunyai payung hukum berdasarkan ketentuan UU No. 13 Tahun 2023.
Perpu sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat 1 huruf c UU No. 12 Tahun 2011, mempunyai hierarki yang sama dengan undang-undang. Sehingga sesuai dengan ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan terbitnya Perpu Cipta Kerja yang mencabut UU Cipta Kerja telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagi daerah tentunya perlu kesiapan daerah dalam melakukan inovasi untuk bersaing tidak hanya pada persaingan antar daerah yang selama ini ada, menjadi persaingan global membutuhkan kemampuan kompetitif daerah di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi. Daerah yang memiliki inovasi yang kompetitif akan mampu menjadi pemenang dalam kompetisi global dewasa ini. Dalam banyak kesempatan Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa persaingan saat ini tidak hanya persaingan antar daerah, namun sudah menjadi persaingan global. Daya saing nasional dalam persaingan global disumbang oleh tingkat daya saing daerah. Problem yang ada, tingkat daya saing daerah di Indonesia tidak merata, sehingga diperlukan kebijakan afirmatif dalam meningkatkan daya saing daerah agar tidak terjadi ketimpangan daya saing daerah.
Ketimpangan antar daerah, wilayah barat Negara Republik Indonesia yang lebih maju dibandingkan dengan wilayah timur yang ketinggalan dari semua aspek pembangunan, kesenjangan dan ketimpangan pembangunan yaitu pendekatan pembangunan yang dilakukan selama ini perlu ditinjau kembali secara menyeluruh karena timbulnya berbagai dampak negatif seperti: (a) kesenjangan pembangunan antar daerah (regional disparity); (b) penumpukan kegiatan ekonomi di daerah tertentu saja (centralization of economic activities); (c) terjadinya pertumbuhan kota-kota metropolitan dan besar yang tidak terkendali (unsustainable urbanization) yang mengakibatkan kualitas lingkungan perkotaan semakin menurun: (d) kesenjangan pembangunan antara daerah perkotaan dan perdesaan (urban-rural economic imbalances); (e) kesenjangan pendapatan perkapita (income per capita inequality); (f) terdapatnya daerah-daerah miskin, tinggi pengangguran, serta rendah produktivitas (poor and low level of productivity’s regions); (g) kurang terciptanya keterkaitan kegiatan pembangunan antar wilayah (regional development interdependency); (h) kurang adanya keterkaitan kegiatan pembangunan antara perkotaan dengan perdesaan (rural-urban lingkages); (i) terkonsentrasinya industri manufaktur di kota-kota besar di Pulau Jawa; (j) tingginya konversi lahan pertanian ke nonpertanian di Pulau Jawa; (k) terabaikannya pembangunan daerah perbatasan, pesisir, dan kepulauan; (l) adanya tuntutan daerah-daerah tertentu untuk lepas dari NKRI.
Dengan diundangkan UU Cipta Kerja yang diganti dengan Perpu Cipta Kerja bagi daerah mempunyai dampak yang signifikan baik terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah itu sendiri maupun bagi masyarakat di daerah. Bagi daerah yang memiliki infrastruktur, konektivitas dan SDM yang kompetitif mendulang peluang percepatan kesejahteraan masyarakat di daerah. Ini merupakan tantangan bagi pemerintahan daerah untuk melakukan prioritas perencanaan pembangunan daerah yang tertuang dalam RPJPD, RPJMD, dan RKPD yang diwujudkan dalam APBD untuk peningkatan infrastruktur, konektivitas dan SDM yang kompetitif. Belanja APBD yang sebagaian besar porsinya untuk belanja pegawai, belanja hibah dan belanja bansos harus dilakukan proporsionalitas. Sehingga belanja modal infrastruktur, konektivitas dan SDM yang kompetitif mendapatkan porsi yang memadai dari APBD.
Kemudahan perizinan berusahaan yang juga berlaku untuk BUMD dalam ketentuan Perpu Cipta Kerja seharusnya menjadi peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan BUMD-nya menjadi perusahaan yang tidak bergantung dan menjadi beban bagi APBD. Saatnya BUMD yang oleh berdasarkan ketentuan UU No. 23 Tahun 2014 dan PP No. 54 Tahun 2017 didirikan dalam rangka (1) memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomian Daerah pada umumnya; (2) penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu bagi pemenuhan hajat hidup masyarakat sesuai kondisi, karakteristik dan potensi Daerah yang bersangkutan berdasarkan tata kelola perusahaan yang baik; dan (3) memperoleh laba dan/atau keuntungan. Dengan kinerja BUMD yang baik akan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat di daerah, sudah saatnya BUMD yang ada berkontribusi untuk memberikan pendapatan bagi daerah.
Keberpihakan Perpu Cipta Kerja pada sektor UMKM yang notabene merupakan kebijakan afirmatif pemerintah daerah. Kebijakan afirmatif sektor UMKM dalam UU Cipta Kerja harus dibaca oleh pemerintah daerah sebagai peluang untuk meningkatkan porsi APBD untuk usaha kecil dan mikro di daerah yang merupakan kewenangan pemerintahan daerah. Melalui pemberdayaan dan pengembangan usaha kecil dan mikro di daerah akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Kontribusi UMKM terhadap PDB nasional meningkat menjadi 61% akan terus meningkat lagi dengan kebijakan afirmatif pemerintah daerah melalui pemberdayaan dan pengembangan pada sektor usaha kecil dan mikro. UMKM merupakan salah satu pendorong perekonomian di daerah, oleh karena itu harus ada alokasi anggaran pada sektor usaha kecil dan mikro yang selama ini tidak menjadi prioritas dalam kebijakan anggaran daerah karena tidak merupakan urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 dan PP No. 2 Tahun 2018.
UU Cipta Kerja ditetapkan dalam rangka peningkatan ekositem investasi dan kegiatan berusaha tidak terkecuali di daerah, hal ini sejalan dengan UU No. 23 Tahun 2014 dan PP 24 Tahun 2019 mengamantkan kepada pemerintahan daerah menetapkan perda mengenai pemberian insentif dan/atau kemudahan kepada masyarakat dan/atau investor di daerah. Sayangnya masih banyak pemerintahan daerah belum menetapkan perda dimaksud. Dalam rangka meningkatkan daya saing daerah seyogyanya pemerintahan daerah menetapkan kebijakan daerah yang dapat meningkatkan daya saing daerah melalui pembentukan produk hukum daerah yang mendorong masuknya investasi ke daerah. Adapun bentuk insentif yang dapat diberikan yaitu (a) pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah; (b) pengurangan, keringanan, atau pembebasan retribusi daerah; (c) pemberian bantuan Modal kepada usaha mikro, kecil, dan/atau koperasi di daerah; (d) bantuan untuk riset dan pengembangan untuk usaha mikro, kecil, dan/atau koperasi di daerah; (e) bantuan fasilitas pelatihan vokasi usaha mikro, kecil, dan/atau koperasi di daerah; dan/atau
(f) bunga pinjaman rendah. Sedangkan pemberian kemudahan dapat berbentuk (a) penyediaan data dan informasi peluang penanaman modal; (b) penyediaan sarana dan prasarana; (c) fasilitasi penyediaan lahan atau lokasi; (d) pemberian bantuan teknis; (e) penyederhanaan dan percepatan pemberian perizinan melalui pelayanan terpadu satu pintu; (f) kemudahan akses pemasaran hasil produksi; (g) kemudahan investasi langsung konstruksi; (h) kemudahan investasi di kawasan strategis yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berpotensi pada pembangunan daerah; (i) pemberian kenyamanan dan keamanan berinvestasi di daerah; (j) kemudahan proses sertifikasi dan standardisasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (k) kemudahan akses tenaga kerja siap pakai dan terampil; (l) kemudahan akses pasokan bahan baku; dan/atau (m) fasilitasi promosi sesuai dengan kewenangan daerah.
Dalam rangka mendorong masuknya investasi ke daerah, daerah dapat melakukan penyederhanaan jenis dan prosedur pelayanan publik untuk meningkatkan mutu pelayanan dan daya saing daerah dan sesuai dengan NSPK, serta kebijakan pemerintah pusat dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pelayanan publik di daerah. Dalam rangka penyederhaan jenis jenis dan prosedur pelayanan publik, UU No. 23 Tahun 2014 mengamantkan pemerintahan daerah menetapkan peraturan daerah mengenai penyederhanaan jenis dan prosedur pelayanan publik. Oleh karena itu perlu politik hukum pemerintahan daerah yang sejalan dengan arah politik hukum nasional dalam rangka penyederhaaan perizinan dan kemudahan investasi yang diatur dalam Perpu Cipta Kerja. Siplifikasi regulasi di daerah menjadi pilihan kebijakan, tidak mudah mengeluarkan kebijakan daerah berupa perda dan perkada hanya berdasarkan kewenangan semata tanpa melakukan harmonisasi dan singkronisasi dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan.
Dengan diundangkan Perpu Cipta Kerja, tentunya daerah harus berbenah diri dan terus melakukan inovasi dalam rangka percepatan kejahteraaan masyarakat di daerah dan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang efektif dan efisien dalam rangka peningkatan pelayanan publik di daerah. Daerah harus mendapatkan manfaat dengan diundangkan Perpu Cipta Kerja. Masyarakat di daerah harus mendapatkan manfaat utama dan pertama dengan diundangkan Perpu Cipta Kerja. Pemerintah harus meminta masukkan kepada daerah terkait dengan pelaksanan Perpu Cipta kerja sehingga menjadi produk hukum yang responsif. Hukum dikatakan Roscoe Pound sebagai “law as a toll of social engineering” hukum adalah untuk memperbaharui atau merekayasa masyarakat dan tujuan hukum menurut Gustav Radbruch yaitu keadilan, kemanfaatan, serta kepastian hukum. Maka kita berharap Perpu Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaanya menjadikan daerah meningkat daya saingnya sehingga berkontribusi bagi daya saing nasional dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat di daerah.