Sabtu, Juli 12, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Sistem Hukum yang Adil dan Tepat untuk Manusia

by matabanua
29 Desember 2022
in Opini
0

Oleh: Nor Aniyah, S.Pd (Penulis, Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi.)

Di tengah derasnya arus penolakan terhadap beberapa pasal Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) DPRI RI dan pemerintah justru mengesahkan menjadi Undang-undang dalam Rapat Paripurna yang digelar di kompleks Parlemen, pada Selasa 6 Desember. Pengacara publik dari LBH Jakarta menyatakan pemerintah dan DPR tak mempunyai iktikad baik dengan mengesahkan RKUHP menjadi UU di tengah gelombang penolakan. Menurutnya, RKUHP yang kini telah disahkan menjadi UU cacat prosedur karena partisipasi masyarakat tidak diakomodasi dengan baik dan penuh (cnnindonesia.com).

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\11 Juli 2025\8\8\master opini.jpg

Menuju Negeri Bersih dan Berdaya

10 Juli 2025
D:\2025\Juli 2025\11 Juli 2025\8\8\Nur Alfa Rahmah.jpg

Indonesia Darurat Perundungan Anak: Mencari Solusi Sistemik

10 Juli 2025
Load More

Beberapa hari sebelum pengesahan Ketua Umum YLBHI memberikan pandangan bahwa pasal-pasal bermasalah RKUHP seharusnya diselesaikan terlebih dahulu oleh pemerintah. Ia melihat masukan koalisi masyarakat sipil juga tidak diakomodir. Sebagai contoh, pasal ancaman pidana bagi masyarakat yang berdemo tanpa pemberitahuan masih ada dalam RKUHP terbaru. Senada dengan pendapat Badan Pengurus Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) ia mengatakan belasan pasal bermasalah yang disorot masyarakat sipil masih ada, seperti pidana mati, penghinaan presiden dan wakil presiden negara sahabat, hukuman pelanggaran HAM berat, penghinaan lembaga negara, hingga dalil penghinaan presiden dan kepala negara. Ia menilai hal itu berbahaya karena dikhawatirkan berpotensi menjadi alat kriminalisasi (tirto.id).

Aksi protes dari masyarakat pun telah berlangsung dan KUHP yang baru disahkan diperkirakan akan digugat ke Mahkamah Konstitusi. Namun, sistem politik demokrasi di atas asas liberalisme telah memberikan wewenang penuh kepada manusia untuk membuat UU yang mengatur seluruh aspek kehidupan sesuai kehendak mereka. Karena itu KUHP yang disahkan adalah produk akal manusia yang dilegislasi oleh negara. Inilah yang sejatinya menjadi akar persoalan perdebatan yang sering terjadi setiap pemerintah akan mengesahkan sebuah aturan perundang-undangan. Sebab, sampai kapanpun akal manusia yang lemah tidak akan mampu mengakomodir seluruh pendapat manusia.

Yang terpenting bahwa akal manusia tidak mampu memahami aturan yang terbaik untuk manusia yang menjamin terwujudnya keberkahan hidup. Karena itulah RUU KUHP atau UU lainnya sangat mudah direvisi sesuai kehendak yang sedang berkuasa. Proses panjang yang dialami RKUHP mengindikasikan bahwa hukum yang dibuat manusia dapat dengan mudah diutak-atik sesuai dengan kepentingan yang ingin diraih.

Di sinilah potensi penyalahgunaan kekuasaan itu terjadi. Sekalipun ada lembaga yang mengawasi, hal itu tidaklah menjamin UU yang dihasilkan bebas dari kepentingan kekuasaan. UU Cipta Kerja yang disahkan 2020 misalnya, sangat sarat dengan kepentingan kapitalis bukan kepentingan rakyat. Tak ayal dikatakan sebagian produk hukum dalam demokrasi adalah hasil kongkalikong antara wakil rakyat, penguasa, dan pengusaha. Aturan dalam sistem demokrasi juga nampak hanya bertujuan untuk mengokohkan rezim yang berkuasa.

Saking lenturnya, pasal-pasal karet kerap dijadikan alat membungkam lawan politik penguasa. Alhasil, UU hasil produk sistem politik demokrasi tidak akan mampu menjawab persoalan yang sedang dihadapi masyarakat. Aturan yang ada dipastikan hanya akan menambah ruwet persoalan bahkan menimbulkan persoalan baru. Oleh karenanya, tidak ada jalan lain selain mengubah secara total sistem politik yang mengatur segala aspek kehidupan di negeri ini.

Sejatinya dalam Islam, standar aturan ada pada aturan Allah dan bukan pada akal manusia. Aturan Allah adalah aturan yang paling adil dan tepat untuk manusia. Hanya dalam Islam akan tegak sistem hukum yang adil, sebab berasal dari Allah Yang Mahaadil. Maka sistem politik yang harus dituju umat adalah sistem politik Islam, Khilafah Islamiyah. Dalam Khilafah, aturan yang diterapkan adalah syariat Islam. Legalitas UU yang dihasilkan bersumber dari Al-Quran dan as-Sunnah, sebab hak membuat hukum hanyalah milik Allah. Manusia tidak berhak membuat dan menyusun aturan sendiri.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Yusuf ayat 40: “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus.” Dari ayat ini sangat jelas bahwa manusia hanyalah pelaksana hukum Allah, di mana wewenang tersebut diberikan kepada Khalifah sebagai pemimpin negara.

Adapun keberadaan wakil rakyat yang disebut Majelis Umat dalam Islam bertugas untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan penguasa, menerima keluhan masyarakat untuk disampaikan kepada penguasa dan memberikan masukan kepada Khalifah meski masukan tersebut tidak mengikat. Majelis Umat tidak memiliki wewenang membuat dan menyusun UU seperti halnya wakil rakyat dalam demokrasi.

Karena itu tidak akan terjadi politik transaksional untuk meloloskan UU pesanan pihak tertentu, karena aturan yang berlaku adalah hukum Allah maka aturan tersebut tidak berpeluang berubah-ubah mengikuti kehendak manusia. Dengan ini supremasi hukum akan selalu terjaga. Selain itu aturan yang diberlakukan pasti akan menyelesaikan persoalan dan persengketaan secara tuntas tanpa menimbulkan persoalan baru. Aturan tersebut juga memiliki standar jelas yang bisa dipahami ukurannya oleh manusia. Sehingga mampu menghilangkan kezaliman satu pihak atas pihak lain. Demikianlah hanya penerapan Islam kaffah yang mampu mewujudkan keadilan dan menyelesaikan seluruh bentuk persoalan kehidupan umat manusia.

Allah SWT berfirman: “Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim atas perkara apa saja yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak merasakan dalam hati mereka keberatan atas keputusan hukum apapun yang kamu berikan, dan mereka menerima (keputusan hukum tersebut) dengan sepenuhnya.” (TQS. an-Nisa’ [4]: 65).

Menjadikan Rasulullah Saw sebagai hakim sepeninggal beliau adalah menjadikan Al-Quran dan as-Sunnah sebagai pemutus hukum. Artinya, wajib menjadikan hukum-hukum Islam sebagai pemutus segala perkara yang terjadi. Ketika sudah ada keputusan Allah SWT dan Rasul Saw, yakni ketika sudah ada hukum Islam, maka sikap seorang Mukmin adalah menerima dan patuh/taat. Karenanya, perlu kesadaran kolektif untuk kembali pada sistem Islam yang mampu menjamin kehidupan dengan sebenar-benarnya.[]

 

Tags: Nor AniyahPemerhati Masalah Sosial dan GenerasiPenulisRKUHP
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA