Oleh : Lailur Rahman (Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Sejarah Hari Ibu diaggap sebagai peristiwa penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia. Melalui Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1953, Setiap tanggal 22 Desember, Indonesia memperingati Hari Ibu Nasional. Sebuah peristiwa yang diresmikan oleh Presiden Sukarno yang bertepatan dengan momentum Kongres Perempuan Indonesia yang ke-25, suatu catatan sejarah dalam upaya meningkatkan kesadaran bangsa dan negara terhadap semangat perempuan Indonesia.
Ribuan purnama berlalu, peringatan Hari Ibu “gagal” untuk dipahami sebagai bagian dari perjuangan wanita Indonesia dalam konteks bangsa dan negara. Dalam hal perayaan Hari Ibu, tentu tiada yang salah. Namun, menjadi paradoks ketika ditelisik dari dekrit yang dikeluarkan oleh presiden Sukarno pada tahun 1953.
Sejarah ini merupakan peristiwa penting dalam merekam dan mengabadikan perjuangan perempuan dalam memperbaiki nasib kaum perempuan Indonesia di masa yang akan datang. Dimulai dengan berkumpulnya para pemimpin organisasi perempuan dari berbagai wilayah se-Nusantara, mereka menyatukan pemikiran kritis dan semangat dalam aneka upaya penting terhadap kemajuan bangsa Indonesia.
Kini peristiwa penting itu terekam dalam tinta sejarah, namun “gagal” dipahami sebagai bagian perjuangan perempuan dalam kancah nasional di wilayah bangsa dan negara. Pada dasarnya, kata “Ibu” dalam KBBI V memberikan makna; – wanita yang melahirkan seorang anak, bagian yang pokok (besar, asal, dan sebagainya). Artinya dalam kalimat “Ibu” mengemban arti dari salah satu koadrat seorang perempuan; hamil dan melahirkan, menyusui, dan menstruasi.
Maka, dalam hal lain penting untuk dipahami bahwa, hadirnya Hari Ibu yang diperingati setiap tangal 22 Desember, merupakan suatu bentuk kewajiban utama wanita dalam membingkai karakter “Ibu Bangsa”. Maka, adalah satu arti penting dalam memperingati Hari Ibu dalam usaha menumbuhkan generasi baru yang lebih sadar akan kebangsaan dan menciptakan pengertian keseimbangan antar generasi yang mengedepankan sikap saling menghargai.
Kita perlu membuka sebingkai luar bahwa Hari Ibu tidak hanya semerta diperingati oleh bangsa Indonesia, namun seluruh dunia memperingatinya walaupun di waktu yang berbeda. Misalkan di Amerika Serikat yang pertama kali mengenal Hari Ibu dengan mengenang kematian salah satu seorang tokoh aktivis sosial bernama Ann Reeves Jarvis, pendiri Mother’s Day Work Clubs. Dirinya juga menggagas gerakan perdamaian ibu-ibu di seluruh dunia.
Pada peringatan Hari Ibu tahun ini, makna historis Hari Ibu seolah-olah luntur, digantikan sebingkai bunga, cokelat, puisi-puisi, dan kado. Ini kerap kita temukan di platform-platform media sosial sebagai bentuk ucapan kasih sayang pada ibu mereka, dan banyak hal yang mereka lakukan untuk turut serta mengingat perjuangan seorang ibu pada anaknya. Idealnya, perbuatan demikian perlu untuk selalu dilakukan pada seorang ibu, bahkan tidak hanya di momentum tertentu.
Kita perlu mengembalikan arti sejarah atas ditetapkannya Hari Ibu sebagai simbol gerakan wanitia untuk perubahan. Dalam arti, kesetaraan perempuan dalam derajat dan hak, dan kesadaran berpolitik untuk kemajuan bangsa Indonesia. Sehingga, peran dari bangsa Indonesia tidak stag dalam memahami substansi makna yang terkandung dalam memperingati Hari Ibu.
Lebih jauh, kita dapat memanfaatkan Hari Ibu sebagai satu langkah kesadaran publik dalam menata generasi perempuan sebagai ibu bangsa. Perlu diakui bahwa, negara kita masih sangat kental dengan budaya patriaki dan subbordinasi terhadap perempuan. Hal ini, tentu menjadi titik keresahan tidak hanya bagi kaum perempuan, akan tetapi dukungan dan partisipasi bangsa Indonesia perlu untuk menyiapkan generasi yang mempunyai sikap pemahaman yang kritis terhadap mitra sejajar dan upaya perbaikan kualitas bangsa.
Perbaikan kualitas bangsa ini tentu dapat kita tumbuhkan melalui inspirasi-inspirasi perjuangan perempuan Indonesia. Upaya memperingati Hari Ibu tentu penting dipahami sebagai makna perjuangan perempuan. Dalam konteks ini, perempuan yang kelak menjadi seorang ibu dari anak-anaknya, merupakan simbol untuk melahirkan generasi bangsa yang berkualitas.
Maka, Ibu sebagai “madrasah pertama” bagi anak-anaknya merupakan istilah tepat. Pengajaran apapun yang didapat dari Ibu sejak kecil, akan menjadi kebiasaan yang ditanamkan, dan akan menjadi ingatannya hingga dewasa. Dengan begitu, peringatan Hari Ibu haruslah menjadi suatu kiprah gerakan yang dapat mempengaruhi kualitas bangsa, utamanya negara dalam memfasilitasi generasi melalui edukasi-edukasi yang mencetak ibu-ibu bangsa yang berkualitas di masa yang akan datang.
Wallahu a’lam…