Oleh:Miranda Cornelia (Universitas Negeri Semarang)
Dalam pemahaman masyarakat di negeri ini, perempuan sering kali selalu ditempatkan
pada posisi kedua. Bahwa sebagian besar menggapnya perempuan adalah sosok yang harus
selalu tunduk dan patuh dalam segala hal. Bahkan dalam pandangan masyarakat atau kalangan
tertentu, beberapa nilai atau adat kebiasaan yang seakan-akan tidak bisa lagi ditawar, ‘ini yang
tepat bagi perempuan dan itu yang tepat bagi laki-laki’.
Akibat dari budaya patriarki yang mayoritas dianut dalam masyarakat, adanya
pembatasan ‘gerak’ yang wajar dan tak wajar dilakukan oleh perempuan. Pola pikir tersebut
sangat memengaruhi pandangan masyarakat akan kedudukan yang layak bagi perempuan, dan
tak jarang perempuan menjadi kaum yang teraniaya dalam masyarakat.
Menurut Catatan Tahunan 2017 (min.3 tahun terakhir) yang dipublikasikan Komnas
Perempuan, terdapat 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di seluruh
Indonesia. Di ranah kekerasan dalam rumah tangga/relasi personal, pemerkosaan menempati
posisi tertinggi sebanyak 1.389 kasus, diikuti pencabulan sebanyak 1.266 kasus. Di ranah
komunitas, kekerasan seksual masih menempati peringkat pertama sebanyak 2.290 kasus.
Yang perlu digarisbawahi dari jumlah tersebut adalah bahwa data tersebut diperoleh karena
korban melakukan laporan atau gugatan secara hukum. Data tersebut tidak termasuk kasus-
kasus yang tidak dilaporkan oleh korban maupun keluarga korban, yang entah berapa
jumlahnya.
Catatan Komnas Perempuan juga menunjukkan dalam 15 tahun terakhir, setiap dua jam sekali,
satu orang perempuan mengalami kasus pemerkosaan. Dalam satu hari, 20 orang perempuan
di Indonesia mengalami kekerasan seksual. Pelaku kekerasan seksual kebanyakan bukan orang
asing bagi korbannya. Pelaku umumnya mengincar korban yang ada di dekatnya karena adanya
kemudahan akses.
Sesungguhnya, pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan sudah dikeluarkan, yakni
hukuman kebiri kimiawi dan penambahan masa kurungan menjadi seumur hidup. Pemberatan
ini berlaku untuk semua saja. Baik penjabat, doktor, guru, orang tua, dewasa, dan lainnya.
Karenanya, kekerasan seksual tergolong kejahatan terhadap kesusilaan. Maknanya, kejahatan
yang terselimuri dengan nuansa moral dan moralitas sebagai nuansa kejahatan serius yang
membahayakan diri dan tubuh seseorang. Apabila dikaitkan dengan nilai-nilai kesopanan,
termasuk perlakuan yang tidak sopan karena adanya paksaan disertai kekerasan.
Menjaga tapi menyakiti, sepertinya sebuah kata yang berbalikan maksud. Bagaimana tidak,
menjaga yakni menjauhkan atau mencegah dari hal-hal yang buruk, tapi justru disertai dengan
tindakan menyakiti. Tindakan demikian itu, tergambar dalam kasus kekerasan seksual.
Perilaku kekerasan yang berujung kematian berulang terjadi. Perilaku kekerasan bisa di mana
saja dan kapan saja. Kekerasan seksual yang terekam didominasi dari keluarga terdekat, seperti
ayah, kakek, paman, hingga paman. Kemudian, pelakunya adalah anak di bawah umur hingga
orang yang sudah berkeluarga. Bentuk kekerasan yang terungkap, 85% pelakunya keluarga
terdekat dan 45% dilakukan dengan ancaman atau intimidasi dan kekerasan.
entunya kita masih ingat, kasus yang terjadi pada Angeline. Kemudian, kasus Kezia Mamansa,
seorang bocah berusia 10 tahun di Kota Sorong, Papua Barat. Sempat menghilang akhirnya
ditemukan dua jasat bocah itu dikubur di sekitar rumah. Diduga pelaku kedua kejahatan asusila
itu adalah keluarga sendiri.
Dua kasus di atas seakan-akan menggambarkan nafsu manusia melebihi kejamnya binatang.
Seperti peribahasa, “Sekejam-kejamnya harimau, dia tidak akan memangsa anaknya sendiri.”
Ungkapan tersebut pantas dijadikan gambaran perilaku biadab pelaku kekerasan seksual.
Ancaman hukuman selama 15 tahun penjara sepertinya tak cukup untuk perbuatan keji itu.
Sehingga muncullah hukuman seumur hidup.
Ada hal yang menarik dari ramainya kasus kekerasan seksual yang mencuat belakangan ini.
Yakni, perilaku tersebut bukan terjadi tanpa sebab. Bisa terjadi karena efek mengonsumsi
minuman keras, munculnya seks birahi yang tidak dapat dikendalikan, hingga pada
kecemburuan terhadap korban. Karena itulah pendekatan kultural-sosiologis dapat diterapkan
untuk mencegah perilaku kekerasan.
Kehidupan berbudaya dan bersosial dengan saling menghargai hak asasi manusia, perlu
disadarkan ulang. Termasuk kesadaran keluarga, bagaimana peran anggota keluarga dalam hal
saling menjaga. Sebagai orang tua, khususnya berhak memberikan rasa aman, nyaman kepada
anaknya. Aman dan nyaman tergambar melalui bagaimana orang tua memberlakukan anak
perempuannya. Sebab, kekerasan seksual yang terjadi pada anak akan berdampak pada masa
depannya.
Sementara itu, masyarakat pun diharapkan memperkuat kesadaran melindungi anak. Anak
adalah calon penerus bangsa. Anak harus mendapatkan pendidikan secara baik dan kondusif,
baik dari lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah hingga negara. Kendati itu, mengingat
kasus yang sedemikian rupa tugas kita sebagai masyarakat yang cerdas adalah menjaga bukan
menyakiti, khususnya orang tua memiliki peran aktif guna membantu menyongsong masa
depan anak.