Oleh : Edy Rahmadi (Statistisi, BPS Kota Banjarmasin)
Menjelang akhir tahun 2022, tekanan inflasi masih terjadi di Kalimantan Selatan (Kalsel). Berbagai barang kebutuhan pokok dan tarif angkutan mengalami peningkatan harga akibat dampak lanjutan (second-round effects) kenaikan BBM dan juga anomali cuaca yang berimbas pada sebagian komoditas mengalami gagal panen dan juga terhambatnya jalur distribusi berbagai komoditas bahan pangan yang berasal dari pulau jawa.
Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) Kalsel, pada Nopember 2022, inflasi Kalsel, yang merupakan gabungan dari 3 kota yaitu Banjarmasin, Tanjung dan Kotabaru, secara bulanan mencapai 0,40 persen dan secara tahunan 7,06 persen. Angka tersebut lebih tinggi dibanding inflasi nasional 5,42 persen. Bila dilihat menurut kota penghitungannya, Banjarmasin mengalami inflasi tahunan sebesar 7,07 persen, Tanjung 4,98 persen dan Kotabaru yang paling terdampak dengan inflasi 8,69 persen. Secara tahun kalender pun juga telah melebihi target pemerintah 2-4 persen. Sampai di Nopember 2022, dari gabungan 3 kota tersebut, inflasi sudah mencapai 6,26 persen, sedangkan nasional 4,82 persen.
Secara umum, penyumbang inflasi bulanan terbesar pada kelompok pengeluaran makanan, minuman dan tembakau (0,96 persen), utamanya komoditas beras, ikan gabus, bawang merah dan telur ayam ras. Berikutnya kelompok rekreasi, olahraga dan budaya (0,91 persen). Sedangkan untuk inflasi tahunan, kontributor terbesar diantaranya tarif angkutan udara, bensin, beras, bahan bakar rumah tangga, rokok kretek filter dan telur ayam ras.
Adanya penyesuaian harga BBM masih menjadi pemicu utama kenaikan inflasi Nopember, terlebih pada kelompok pengeluaran transportasi. Namun, dampak lanjutan (second-round effects) juga terjadi di sejumlah sektor, terutama pertanian. Hal itu terlihat dari meningkatnya harga beras karena harga gabah dan biaya produksi pertanian juga meningkat. Dalam empat bulan terakhir, kenaikan harga gabah tidak hanya dipengaruhi oleh efek musiman atau penurunan produksi padi karena sebagian petani mengalami gagal panen, tetapi juga adanya penyesuaian harga BBM. BPS Kalsel mencatat, harga gabah ditingkat petani dan penggilingan pada Nopember 2022 di Kalsel dibanding bulan sebelumnya mengalami kenaikan 11,5 persen, yaitu dari Rp 7.238,7/Kg di bulan Oktober menjadi Rp 8.070,85/Kg di Nopember 2022.
Kenaikan inflasi diperkirakan masih berlanjut pada Desember 2022. Berdasarkan histori, efek musiman di akhir tahun berupa natal dan tahun baru akan mendorong peningkatan permintaan berbagai barang kebutuhan pokok dan juga tarif angkutan udara. Sehingga inflasi Kalsel selama tahun ini diperkirakan akan mencapai lebih dua setengah kali lipat dibandingkan 2021 yang hanya 2,55 persen dan bahkan berpotensi berada di atas level pertumbuhan ekonomi.
Tingginya inflasi akan berdampak tergerusnya daya beli masyarakat dan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Hingga saat ini, kontribusi rumah tangga masih mendominasi komponen pembentuk produk domestik bruto baik nasional maupun regional. Dengan kata lain, daya beli masyarakat memegang peran kunci dalam menopang pertumbuhan ekonomi. Selain itu, yang lebih mengkhawatirkan, tingginya inflasi khususnya pada kelompok bahan makanan akan berpotensi meningkatnya angka kemiskinan, karena kontribusi komponen makanan terhadap garis kemiskinan cukup besar, secara nasional sekitar 74 persen. Oleh karenanya, diperlukan berbagai langkah antisipatif dalam rangka meredam gejolak kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok agar inflasi di 2023 lebih stabil dan terkendali.
Langkah kolaborasi dan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi suatu keharusan karena penyebab kenaikan harga pangan di daerah berbeda-beda. Karakteristik inflasi nasional termasuk di Kalsel secara umum lebih dipengaruhi pada sisi suplai utamanya pada komoditas bahan makanan komponen harga yang bergejolak (volatile foods). Untuk itu, upaya yang selama ini dilakukan melalui tim pengendali inflasi daerah (TPID) untuk menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok dan meningkatkan ketahanan pangan agar lebih di optimalkan.
Selain memperluas kerjasama antar daerah dalam rangka mendukung ketahanan pangan wilayah sekaligus disparitas pasokan dan harga antar wilayah, yang juga penting dilakukan adanya dukungan terhadap pengendalian inflasi di tingkat desa melalui upaya peningkatan pemberdayaan ekonomi dan ketahanan pangan desa. Adanya Kepmendesa Nomor 97 Tahun 2022 tentang Pengendalian dan Mitigasi Dampak Inflasi Daerah pada Tingkat Desa bisa menjadi acuan. Melalui ketentuan tersebut, desa dapat merencanakan, menganggarkan dan melaksanakan program kegiatan pengendalian inflasi dan mitigasi dampak inflasi di desa melalui Dana Desa.
Pengendalian inflasi di tingkat desa, diantaranya penyediaan data dan informasi hasil produksi dan harga komoditas terutama pangan di desa. Bersama TPID setempat, pemerintah desa dapat mencermati berbagai komoditas pangan yang menjadi penyebab inflasi. Dengan adanya koordinasi yang baik, maka adanya komoditas yang melimpah di suatu desa dapat didistribusikan ke desa lain yang sedang mengalami peningkatan harga.
Kemudian, berbagai program pemberdayaan ketahanan pangan untuk meningkatkan ketersediaan pangan bagi masyarakat desa bisa dilakukan. Diantaranya berupa pembangunan infrastruktur di lokasi ketahanan pangan, bantuan sosial kepada kelompok tani, pemberdayaan kelompok tani serta penambahan modal usaha BUMDes unit usaha ketahanan pangan. Dengan demikian, desa tidak lagi sebagai obyek, melainkan dapat ditempatkan sebagai subyek dan ujung tombak dalam pengendalian inflasi.
Semoga adanya komitmen dan ikhtiar bersama yang dilakukan secara terpadu oleh berbagai pihak terkait untuk mengantisipasi gejolak kenaikan harga, maka diharapkan inflasi di 2023 akan lebih terkendali sehingga dapat terjaga daya beli masyarakat serta dapat mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi Banua.