Kita semua tentu masih sangat berduka. Pasalnya, sudah lebih dua pekan sebagian warga Cianjur dan sekitarnya terdampak gempa. Gempa pertama, yang bermagnitudo 5.6, terjadi pada Senin, 21 November 2022 lalu. Gempa susulan sampai saat ini pun masih terus terjadi. Sampai hari ini, sudah lebih dari 350 warga meninggal dunia karena tertimpa reruntuhan bangunan. Ribuan bangunan, khususnya rumah tinggal, hancur. Banyak warga terpaksa tinggal/tidur di tenda-tenda pengungsian hingga saat ini. Berbagai fasilitas publik juga banyak yang rusak.
Sungguh tragis, kematian massal berulang di tengah panjangnya catatan sejarah gempa, juga berlimpahnya ilmu pengetahuan dan teknologi infrastruktur tahan gempa, serta para ahlinya bagi upaya mitigasi struktural dan nonstruktural. Kematian massal dan cedera serius ini bukanlah karena gempa, melainkan akibat tertimpa reruntuhan rumah dan infrastruktur lain yang berkonstruksi tidak tahan gempa.
Hal ini ditegaskan pihak pemerintah sendiri, yakni Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), “Gempa itu sebenarnya tidak membunuh dan melukai, tapi bangunan yang tidak standar aman gempa yang kemudian roboh yang menimpa penghuninya itu menjadi penyebab jatuhnya korban jiwa dan luka.” Terkait desain bangunan yang tidak tahan gempa, ditegaskan ahli konstruksi bangunan sekaligus Ketua Umum Himpunan Ahli Konstruksi (HAKI).
“Saya lihat kalau dari pola-polanya, kebanyakan yang runtuh itu yang unconfined, atau confined, tetapi tidak sempurna. Itu yang banyak runtuh kemarin akibat gempa di Cianjur,” ujarnya. Ahli desain konstruksi tahan gempa anak negeri juga turut bersuara. Ahli dari LIPI menegaskan bahwa berdasarkan peta zona gempa, seorang ahli sipil bisa mendesain struktur tahan gempa yang cocok untuk seluruh wilayah Indonesia.
Para ahli sangat mengkhawatirkan berulangnya kerusakan bangunan akibat gempa sebab berujung kematian massal yang sebenarnya bisa dicegah. Pengetahuan kaidah konstruksi bangunan tahan gempa yang begitu maju sudah tersedia dan bukanlah hal baru. Bahkan, tata konstruksi tahan gempa adalah bagian dari sejarah konstruksi Indonesia. Pasalnya, gempa adalah bagian dari kehidupan Indonesia sebagai konsekuensi geografisnya berada di rangkaian ring of fire (cincin api) atau circum-pacific belt. Dengan demikian, butuh paradigma baru tentang politik tata kelola perumahan agar tragedi seperti di Cianjur tidak kembali terjadi.
Gempa adalah suatu fenomena yang tidak bisa kita hindari dan belum ada teknologi yang memadai di Indonesia untuk menghindarkan kita dari bahaya gempa. Padahal, Indonesia berada di lokasi tektonik aktif, memiliki zona subduksi dan sesar yang bisa menimbulkan gempa bumi. Oleh karena itu, sebelum gempa bumi terjadi, semestinya ada pelaksanaan mitigasi atau upaya-upaya tertentu untuk mengurangi dampak dari gempa. Analoginya, seperti halnya kita mau berperang, kita harus tahu dahulu senjata seperti apa yang musuh miliki.
Dalam Pasal 1 ayat (6) PP 21/2008, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Melansir situs Kementerian Sosial, mitigasi bencana memiliki tiga tujuan utama, yaitu pertama, mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti korban jiwa, kerugian ekonomi, dan kerusakan sumber daya alam.
Kedua, digunakan sebagai landasan perencanaan pembangunan. Ketiga, peningkatan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi serta mengurangi risiko bencana. Di bawah ini adalah mitigasi bencana yang bisa dilakukan untuk mengurangi risiko kerusakan karena gempa bumi. Di antaranya ialah
1. memastikan menggunakan konstruksi bangunan tahan getaran atau gempa;
2. memastikan kekuatan bangunan sesuai dengan standar kualitas bangunan;
3. membangun fasilitas umum dengan standar kualitas yang tinggi;
4. memastikan kekuatan bangunan-bangunan vital yang sudah ada;
5. merencanakan penempatan permukiman untuk mengurangi tingkat kepadatan hunian di daerah rawan bencana.
Namun, problemnya, yang telah tertuang di atas seolah belum berkorelasi dengan implementasi yang ada. Melihat definisi dan tujuannya, mitigasi adalah kegiatan yang seharusnya ada sebelum bencana terjadi. Pemerintah mengakui masih menghadapi persoalan dalam implementasi penanggulangan bencana, mulai dari prabencana, mitigasi, early warning, saat bencana, emergency, pascabencana, recovery dan rehabilitasi. Lemahnya implementasi mitigasi bencana ini akan memperburuk dampak dari bencana, mengingat posisi Indonesia rawan bencana gempa.
Jelas perlu upaya untuk belajar melakukan langkah-langkah antisipasi gempa, serta pentingnya melihat karakteristik gempa. Belajar dari persiapan Kota Tokyo di Jepang dalam menghadapi gempa, misalnya. Antisipasi ancaman gempa di Jepang sangat jelas, yakni pengulangan dari gempa Great Kanto Earthquake yang sudah sangat well studied dengan estimasi kekuatan M 7,9—8,2. Upaya mitigasinya pun sangat jelas.
Mulai dari penguatan standar bangunan, jalur evakuasi, jalur air untuk antisipasi kebakaran pascagempa, hingga waktu pemulihan infrastruktur dasar dengan hitungan pasti. Tanpa mengetahui karakteristik gempa yang akan terjadi, mustahil rencana mitigasi bisa tersusun dengan baik. Sejatinya, banyak peran yang bisa diambil dan dilakukan oleh setiap pihak-pihak terkait, terutama pemerintah. Untuk fase prabencana (mitigasi dan kesiapsiagaan), peran pemerintah adalah membuat dan memastikan regulasi mengenai standar bangunan, tata ruang, dan edukasi berjalan dengan baik.
Perencanaan gedung atau bangunan di kawasan rawan gempa pun diperlukan supaya ketika bencana gempa itu terjadi, tidak ada korban jiwa yang berjatuhan akibat tertimpa bahan bangunan yang retak akibat guncangan gempa. Para ahli selalu mengingatkan, gempa bumi pada dasarnya tidak akan langsung menelan korban jiwa. Namun, bangunan yang retak atau rusak akibat guncangan gempa dan jatuh menimpa tubuh seseoranglah yang akan menyebabkan adanya korban jiwa saat bencana itu terjadi.
Banyaknya korban akibat bangunan tidak tahan gempa ini, dinilai ahli kegempaan Prof. Ir. H. Sarwidi MSCE. Ph.D. IP-U. perlu antisipasi bangunan yang tahan gempa. Sebagaimana yang pernah terjadi di NTB, ia mengatakan agar konstruksi bangunan, termasuk bangunan baru harus memenuhi standar tahan gempa. Untuk itu, dari peristiwa yang berulang ini, seyogianya pemegang kebijakan bisa belajar. Rasulullah saw. telah menegaskan, “Imam (khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya.” (HR Bukhari)
Bencana ekologis ini telah merugikan masyarakat, baik kerugian kesehatan, kerugian ekonomi. Musibah ini merupakan kehendak Allah langsung, sedang bencana lingkungan seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan merupakan akibat ulah manusia. Namun kedua bentuk bencana ini memiliki titik kesamaan pada sumber penyebabnya, yakni manusia. Hal ini ditegaskan Allah dalam al Qur’an,
“Telah nampak kerusakan (fasad) di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS Ar Ruum: 41).
Dalam pandangan Islam, fenomena ekologis erat kaitannya dengan perspektif teologis. Maknanya bahwa segala musibah yang menimpa manusia adalah kehendak Allah karena akibat ulah manusia yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip nilai yang dikehendakiNya, baik berkaitan dengan pelanggaran sunah kehidupan maupun sunah lingkungan. Para mufassir memaknai kerusakan atau fasad bermacam-macam arti.
Diantaranya, segala sesuatu yang tidak tergategori sebagai kebaikan, kekurangan hujan dan sedikitnya tanaman, kelaparan dan banyaknya kemudaratan yang terjadi. Hal ini diakibatkan oleh ulah dan perbuatan manusia yang melanggar hukum dan aturan yang telah Allah tetapkan. Berbagai pelanggaran dan penyimpangan manusia dari hukum Allah dinamakan kemaksiatan. Teologi lingkungan dengan demikian adalah kesadaran hubungan positif antara manusia, lingkungan dan Tuhan melalui kesyukuran ekologis dan menjauhi kekufuran ekologis.
Kesyukuran ekologis diwujudkan dengan pola pengelolaan lingkungan berdasarkan prinsip-prinsip aturan Allah. Menjauhi kekufuran ekologis adalah dengan tidak merusak dan mengekploitasi sumber daya lingkungan secara berlebihan. Kesyukuran ekologis akan mendatangkan kasih sayang dan keberkahan hidup. Kekufuran ekologis akan mendatangkan bencana dan musibah.
Dengan demikian berbagai kerusakan di muka bumi tidaklah terjadi tanpa sebab. Semua ini disebabkan oleh cara berfikir, bertindak, bersikap dalam mengelola lingkungan alam maupun lingkungan perilaku. Allah menciptakan manusia dengan bentuk yang sempurna adalah untuk menjadi seorang hamba sekaligus seorang khalifah. Fungsi kehambaan manusia mengacu kepada dimensi transendental manusia kepada sang Pencipta.
Islam memandang lingkungan sebagai anugerah Allah yang mesti dijaga, dipelihara, dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Islam mengharamkan sumber daya alam diprivatisasi dan dieksploitasi secara berlebihan dengan tujuan pragmatisme dan materialisme. Menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada pihak asing yang kapitalistik adalah sebuah bentuk kemaksiatan. Pola fikir sekuler dan materialis yang abai terhadap aspek teologis dalam mengelola lingkungan berdampak kepada kerusakan lingkungan dan kemurkaan Tuhan.
Dengan demikian jelas bagi kita bahwa pangkal penyebab terjadinya seluruh kerusakan di muka bumi adalah adanya pelanggaran dan penyimpangan manusia terhadap ketentuan dan aturan Allah. Tujuan Allah menimpakan bencana sebagai akibat dari perbuatan manusia. Jikapun telah memahami belum tentu menguasai ilmu lingkungan yang baik. Bisa jadi masih banyak kaum muslimin yang belum memiliki ilmu tentang pola pengelolaan sampah, konservasi air, konservasi hutan, konservasi lahan pertanian dan aspek ekologis lainnya.
Karena itu penggalian terhadap khasanah sumber-sumber klasik dan modern bidang lingkungan perspektif Islam mendesak untuk dilakukan sebagai kerangka menyusun fiqih lingkungan. Setidaknya ada tiga dimensi dasar dalam upaya penyusunan fiqih lingkungan ini.
Pertama adalah dimensi teologis, artinya penyusunan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan diorientasikan sebagai cara untuk merefleksikan dan menjalankan perintah Allah yang bernilai ibadah, bukan semata-mata berorientasi pragmatisme.
Kedua dimensi saintifik, artinya pentingnya penguata basis epistemologis yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Diperlukan riset-riset lingkungan yang ilmiah dan rasional bidang lingkungan hidup pada umumnya. Sebab Islam melalui lisan Rasulullah memberikan ruang yang luas bagi riset dan inovasi ekologis, selama hal itu diorientasikan bagi terpeliharanya lingkungan. Bahkan Islam menganjurkan umatnya untuk menuntut ilmu (sains) ke segala penjuru dunia. Meski demikian, langkah islamisasi sains tetap dibutuhkan. Sebab pengelolaan lingkungan yang sekuleristik, terbukti melahirkan kerusakan dan musibah ekologis.
Ketiga dimensi praktis, artinya fiqih lingkungan bukan hanya kajian normatif, melainkan praktis yang langsung bisa diamalkan. Karena itu, fiqih lingkungan juga berkait erat dengan ilmu-ilmu lain seperti biologi, geografi, sosiologi, matematika, kimia, serta ilmu lainnya. dengan demikian, fikih lingkungan memiliki tiga dimensi utama yakni iman, ilmu dan amal. Islam sangat menghargai orang-orang yang bersungguh-sungguh menutut ilmu dengan landasan keimanan kepada Allah.
Penghargaan Allah hanya ditujukan kepada orang berilmu yang beriman. Tentu kebalikannya, Allah tidak menghargai ilmuwan sekuler. Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dalam perspektif sejarah, banyak ilmuwan muslim yang telah menguasai ilmu lingkungan hidup dalam arti yang lebih luas. Salah satunya adalah ilmu geografi.
Geografi dianggap ilmu yang menghubungkan langit (yakni pengamatan astronomi dan meteorologi) dan bumi (geodesi dan geologi). Juga ilmu yang menghubungkan dunia hidup (biotik) dan mati (abiotik) yang mencakup flora, fauna dan manusia beserta interaksinya. Dan yang lebih penting: geografi tidak cuma ilmu untuk memetakan dan memahami alam semesta di sekitar kita, namun juga untuk merubahnya sesuai kebutuhan kita.
“Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs Al A’raf : 96).