Oleh : Afifah Balqis
Tikus berdasi memang semakin ke sini semakin berani menunjukkan eksistensi diri. Rasa malu seolah telah mati, apalagi kehadiran mereka di perkuat oleh undang-undang negeri ini. Bagaimana tidak, pengesahan RKHUP terbaru sangat mengejutkan masyarakat, dimana hukuman bagi para korup di negeri ini tidak lah sama sekali membuat mereka lari dan tidak mengulangi.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) tahun ini layak disikapi dengan rasa berkabung atas runtuhnya komitmen negara dan robohnya harapan masyarakat. ICW kemudian menyoroti sejumlah aspek yang dinilai turut berkontribusi dalam meruntuhkan komitmen negara terkait pemberantasan korupsi. Salah satu aspek yang turut disorot ICW adalah tingginya angka korupsi di kalangan politisi. “Berdasarkan data penindakan KPK, sepertiga pelaku korupsi yang diungkap selama 18 tahun terakhir berasal dari lingkup politik, baik legislatif (DPRD maupun DPR RI) dan kepala daerah dengan jumlah 496 orang,” ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dikutip dari keterangan tertulisnya di laman resmi ICW. (tirto.id/11/12/2022)
Kabar terbaru membuat masyarakat lagi-lagi geleng kepala. Penetapan R. Abdul Latif Amin Imron sebagai tersangka kasus korupsi menambah daftar panjang kepala daerah yang menjadi pesakitan komisi antirasuah. Bupati Bangkalan itu terseret kasus pemberian dan penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara atau yang mewakili terkait lelang jabatan. Penyidik pun langsung menahan Abdul Latif bersama 5 tersangka lain usai pemeriksaan yang digelar di Polda Jawa Timur. “Penyidik menahan para tersangka masing-masing selama 20 hari ke depan terhitung mulai 7 Desember 2022 sampai dengan 26 Desember 2022,” kata Ketua KPK, Firli Bahuri dalam keterangan pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan. (tirto.id/9/12/2022)
Di Indonesia, Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia makin terasa sekedar seremoni tanpa makna. Apalagi pengesahan RKUHP yang justru mengurangi hukuman bagi koruptor di tengah maraknya korupsi di kalangan politisi. Korupsi tidak lagi menjadi kejahatan serius, apalagi kepercayaan publik makin lemah terhadap KPK yang merupakan lembaga khusus untuk meberantas korupsi. Inilah fakta buruk keseriusan pemberantasan korupsi di tengah sistem demokrasi.
Selama sistem demokrasi tegak, negeri ini akan tetap digerogoti tikus berdasi. Karena dalam sistem demokrasi, para kapitalis bisa membeli apa saja, termasuk kedaulatan negeri. Kekuasaan yang bersih hanya menjadi mimpi dalam sistem demokrasi. Jika kita menginginkan Indonesia bebas dari korupsi, perubahan sistem merupakan kebutuhan yang tak terelakkan lagi. Tinggalkan demokrasi dan terapkan sistem Islam yang bersumber dari wahyu Ilahi.
Sistem Islam akan mewujudkan sapu (penguasa) yang bersih, karena asas kekuasaan adalah akidah Islam dan tujuannya adalah rida Ilahi. Proses pemilihan pemimpin dalam Islam sederhana, efektif, dan efisien sehingga kepentingan korporasi tak akan mampu menyusupi. Dalam sistem Islam, rakyat hanya memilih khalifah dan anggota majelis umat, sehingga pemilu hanya butuh dana sedikit. Khalifah yang kemudian memilih kepala daerah, seperti amil dan wali. Khalifah memilih para pejabat berdasarkan ketakwaan dan kemampuan mengemban amanah, bukan karena kepentingan oligarki.
Harta pejabat dihitung sebelum dan sesudah berkuasa, jika ada kenaikan yang tak lumrah, negara melakukan audit secara adil. Pejabat yang terbukti bertindak korup, siap-siap mendapat sanksi. Hukuman ta’zir akan diberlakukan, bisa berupa bui atau bahkan hukuman mati. Para pejabat korup juga akan mengalami pemiskinan diri. Negara akan menyita harta ghulul (tidak sah) dan memasukkannya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda,
“Siapa saja yang kami beri tugas melakukan sesuatu pekerjaan dan kepada dia telah kami berikan rezeki (gaji), maka yang diambil oleh dia selain itu adalah kecurangan (ghulul).” (HR Abu Dawud)
Negara juga melakukan tasyhir (publikasi) pejabat korup, sehingga menjadi sanksi sosial dan kejahatan serupa tak terulang lagi. Dalam sistem Islam pula, politik uang tak akan menjadi tradisi. Para penguasa layaknya sapu yang bersih, sehingga mampu membersihkan negara dari tindak korupsi. Mereka adalah pejabat yang jujur, karena yakin adanya penghisaban di akhirat nanti. Demikianlah, sistem Islam yang sahih, dan penguasa yang bersih menjadi perpaduan sempurna untuk mewujudkan negara yang bebas dari korupsi. Rakyat pun bisa menikmati kesejahteraan dari semua kepemilikan yang mereka miliki. Gemah ripah loh jinawi bukan lagi mimpi, tetapi terwujud nyata di muka bumi.
Sebagaimana dulu Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayah mampu mewujudkan kesejahteraan, hingga mustahik zakat tak ada lagi. Demikian hati-hatinya Sang Khalifah, hingga beliau menutup hidungnya saat membagi minyak wangi kesturi kepada kaum muslimin (Al-lhya’, Al-Ghazali).
Inilah keberkahan hidup dalam sistem Islam, korupsi hilang dan kesejahteraan terwujud secara hakiki. Tinggal butuh kesungguhan kita untuk menegakkan sistem ini. Insyaallah tak lama lagi. Wallahu a’lam bishowab.